...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Polisi Wanita (Polwan) (Jakarta, 1 September 2021)

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Memperingati Hari Polisi Wanita (Polwan)

“Dukung Polwan Menjadi Garda Terdepan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan”

Jakarta, 1 September 2021

 

 

 

Komnas Perempuan menyampaikan “Dirgahayu Polwan ke 73”, sekaligus apresiasi atas peran Polisi Wanita (Polwan) yang telah terdepan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Polwan terutama yang bekerja di UPPA (Unit Pengaduan Perempuan dan Anak) adalah mitra Komnas Perempuan dalam penanganan kasus dan penyediaan data tahunan terkait kekerasan terhadap perempuan. Meski demikian, Komnas Perempuan menilai masih terdapat sejumlah permasalahan terkait peran dan posisi Polwan yang  perlu mendapatkan perhatian dari Kapolri. Permasalahan tersebut antara lain masih terbatasnya jumlah, belum tersedianya pedoman teknis komprehensif dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dukungan sarana prasarana dan peningkatan kapasitas Polwan serta minimnya kepemimpinan Polwan pada posisi pengambilan keputusan.

 

Polwan didirikan menjawab kesulitan-kesulitan pada pemeriksaan korban, tersangka ataupun saksi perempuan terutama ketika membutuhkan pemeriksaan fisik. Pada awal pembentukannya di tahun 1948, Polwan berjumlah 6 (enam) orang yang direkut oleh Kepolisian Cabang Sumatera di Bukit Tinggi atas usulan organisasi perempuan dan organisasi perempuan Islam di sana. Setelah lebih satu dasawarsa tanpa rekrutmen, pelembagaan Polwan kemudian tertuang dalam UU No. 13 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Pada 2020 menurut POLRI, Polwan telah berjumlah 24.506 personel, terdiri dari tiga perwira tinggi, 1.567 perwira menengah, 355 perwira pertama dan 19.581 bintara dari total 470.391 personel Polri di seluruh Indonesia. Jumlah ini masih jauh dari  angka minimal 30% jumlah perempuan sebagai upaya mempercepat kesetaraan gender di tubuh kepolisian dan mengakibatkan Polwan yang mencapai pangkat perwira tinggi menjadi sangat terbatas. Jabatan tertinggi perempuan dan satu-satunya sampai saat ini adalah menjadi Kapolda yaitu Kombes Rumiah Kartoredjo sebagai Kapolda Banten (2008).

 

Peran Polwan untuk menyikapi kebutuhan khas dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan semakin mencuat dalam Tragedi Mei 1998. Kesulitan untuk mendapatkan perlindungan menjadikan korban dan saksi perkosaan di dalam tragedi itu membungkam. Kondisi ini mendorong Derap Warapsari, organisasi yang dibentuk oleh sejumlah Polwan senior, menggagas Ruang Pelayanan Khusus (RPK), cikal dari UPPPA. Unit ini kemudian memegang peranan penting dalam pengembangan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya untuk mencegah terjadinya reviktimisasi perempuan korban kekerasan dan memenuhi hak-hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan.

 

Pelayanan khusus kepada perempuan dilembagakan ketika UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) memerintahkan penyediaan Ruang Pelayanan Khusus di Kantor Kepolisian. Melalui Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia, terbentuk Unit PPA berkedudukan di bawah Dir I / Kam dan Trannas Bareskrim Polri, Kasat Opsnal Dit Reskrim Um Polda Metro Jaya, Kasat Opsnal Dit Reskrim Polda dan Kasat Reskrim Polres dengan tugas untuk memberikan layanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Kini telah terbentuk 528 Unit PPA di berbagai tingkatan di lingkungan Kepolisian.

 

Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2020 terjadi 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan yang menunjukkan semakin beragam dan kompleksnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk yang dibuat, melalui dan/atau diperburuk dengan kekerasan terhadap perempuan siber (online). Kondisi ini memerlukan tambahan daya dukung APH agar perlindungan terhadap perempuan korban berjalan optimal. Diantaranya meliputi ketersediaan panduan teknis yang komprehensif bagi penyelidik dan penyidik dalam memeriksa kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, sistem rujukan dan koordinasi dengan lembaga pemulihan korban, maupun institusi penegak hukum lainnya, sarana dan prasarana Unit PPA dan peningkatan jumlah dan kualitas Polwan. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, harus menyesuaikan dengan perkembangan peraturan dan kebijakan, juga seirama dengan Peraturan Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang  Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Penanganan Perkara Pidana dan Perma 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

 

Pada konteks anggaran, tercatat bahwa anggaran Polri pada 2020 sebesar 104.7 trilyun merupakan terbesar ketiga setelah Kementerian Pertahanan (131.2T) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (120.2T)[1]. Sayangnya, jumlah anggaran untuk penguatan UPPA dan kapasitas Polwan tampaknya masih minim padahal kompleksitas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta penanganannya mensyaratkan tingginya kapasitas UPPA dan para Polwan. Jumlah Polwan, terutama yang bekerja di UPPA juga penting diprioritaskan agar layanan terhadap perempuan korban semakin kuat.

 

Maka dalam rangka ulang tahun Polwan, Komnas Perempuan memberikan saran dan rekomendasi kepada Kapolri untuk:

 

  1. Meningkatkan jumlah personel Polwan dan meningkatkan jumlah kepemimpinan perempuan secara gradual sampai mendekati jumlah 30% dari keseluruhan jumlah Polri;
  2. Menyusun dan memperbaharui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana menjadi lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan berbagai kebijakan;
  3. Meningkatkan status Unit PPA menjadi setingkat Direktorat untuk memperkuat daya dukung layanan korban kekerasan;
  4. Meningkatkan kompetensi spesialis Penyidik PPA, dan lebih berperspektif korban dengan melibatkan profesi dan lembaga pemulihan korban dalam pemeriksaan perempuan yang berhadapan dengan hukum;
  5. Meningkatkan anggaran untuk penguatan kapasitas Polwan dan kuantitasnya serta memperkuat kapasitas anggota Polri laki-laki agar lebih berperspektif gender. Penguatan kapasitas ini juga sejalan dengan salah satu program prioritas Polri yaitu Program Profesionalisme Sumber Daya Manusia Polri.

 

  

Narasumber

Siti Aminah Tardi

Theresia Iswarini

Andy Yentriyani

Olivia Ch. Salampessy

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)



Pertanyaan / Komentar: