“Menagih Tanggung Jawab Pemerintah dan DPR Lindungi
Perempuan Masyarakat Adat, Sahkah RUU-MHA”
Jakarta, 9 Agustus 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencermati bahwa hingga saat ini pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut RUU-MHA) masih terus tertunda. Lebih dari 20 tahun RUU-MHA hanya dicatatkan dalam agenda program legislasi nasional, yang merupakan salah satu mandat dari Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sejak amandemen UUD 1945 dilakukan pada masa reformasi. Penundaan ini merupakan salah satu bentuk pengabaian negara pada langkah afirmasi yang seharusnya diberikan kepada masyarakat adat, termasuk perempuan adat di dalamnya. Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU-MHA ini berdampak pula pada terus berlanjutnya diskriminasi, kriminalisasi dan tercerabutnya hak-hak Masyarakat.
Di Indonesia berdasarkan data Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN), pada juni 2024 tercatat ada 2.161 komunitas masyarakat adat?di Indonesia, dengan 4,57 juta masyarakat adat, dan hampir setengahnya 2,23 juta jiwa adalah perempuan. Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa pengabaian afirmasi perlindungan pada perempuan adat terekam dalam berbagai kerentanan yang dihadapi.
“Mereka menghadapi kerentanan dalam konflik sumber daya alam, dan tata ruang dengan durasi waktu yang cukup panjang sebagai dampak dari pembangunan,” ungkap Veryanto.
Selama 20 tahun (2001 - 2021) Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan di ranah negara berjumlah 2.292 kasus. Di antaranya adalah konflik sumber daya alam berjumlah 115 kasus. Komnas Perempuan telah menerima pengaduan keberatan masyarakat adat khususnya perempuan adat terhadap perusahaan pertambangan atau perkebunan yang menghancurkan sumber-sumber penghidupan perempuan masyarakat adat.
Dewi Kanti menyatakan bahwa masyarakat adat dan pendamping komunitas mengalami kerentanan kriminalisasi seperti yang dialami oleh Komunitas Masyarakat Adat Desa Sihaporas Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun Sumatera Utara, termasuk kasus Sorbatua Siallagan yang sedang berproses di Pengadilan Negeri Simalungun. Dari temuan dokumentasi perempuan pembela HAM (WHRD), Komnas Perempuan mencatat sebanyak 1.054 orang yang terdiri dari 1.019 laki-laki, 28 perempuan, dan 11 anak-anak diduga mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan perlindungan terhadap sumber daya alam dan lingkungan tinggalnya.
Di tengah langkah pengabaian, Komnas Perempuan mengapreasiasi langkah afirmasi yang terus diupayakan oleh masyarakat sipil untuk terus mendesak pembahasan RUU masyarakat adat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Perkara Nomor: 542/G/TF/2023/PTUN-JKT.
Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia turut memberikan amicus currie(sahabat peradilan) dalam perkara tersebut, untuk menguatkan perspektif dan langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat sipil khususnya Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Langkah afirmasi ini tentu perlu terus mendapatkan dukungan dari negara, sehingga warga masyarakat adat dapat memainkan peran dan hak konstitusionalnya agar pemerintah tidak abai pada mandat pasal 18B. Komnas Perempuan melihat bahwa nomenklatur masyarakat adat telah dimiliki berbagai kementerian dengan tugas dan kewenangan sesuai bidangnya. Mandat itu seharusnya menjadi modalitas dan tanggung jawab untuk langkah perlindungan dan afirmasi masyarakat adat, termasuk dalam mendorong pembahasan RUU-MA.
Dewi Kanti kembali menegaskan bahwa peringatan masyarakat adat sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Agustus yang telah dimulai sejak tahun 1994 melalui Resolusi PBB Nomor 49/214, seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak, khususnya negara untuk mengasah kepekaan kebangsaan dan komitmen konstitusionalnya. Resolusi ini hadir dilatarbelakangi hasil pertemuan pertama kelompok kerja PBB untuk masyarakat adat pada tahun 1982 yang menunjukkan temuan terus berlangsungnya marginalisasi terhadap masyarakat adat serta adanya pengakuan bahwa masyarakat adat memiliki peran penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, yang didasarkan pada kekayaan pengetahuan yang bersumber dari tradisi dan budayanya.
Menyambut peringatan hari masyarakat adat tahun ini, Komnas Perempuan berkepentingan untuk Kembali mengingatkan dan mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan tindakan afirmasi perlindungan pada masyarakat adat dalam berbagai sektor, serta mendesak pembahasan dan segera mengesahkan RUU-MHA. Situasi ini mendapat perhatian internasional, sebagaimana disampaikan oleh Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 14 Maret 2024 yang meminta secara khusus Pemerintah Indonesia untuk segera membahas regulasi untuk perlindungan masyarakat adat. Situasi kerentanan dan rekomendasi afirmasi perlindungan juga disampaikan oleh Komite HAM Ekosob (2024), Komite HAM CEDAW, dan Pelapor Khusus PBB untuk makanan.
Berdasarkan urgensi tindakan afirmasi perlindungan terhadap perempuan masyarakat adat tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan:
- Pemerintah dan DPR RI segera melakukan pembahasan RUU MHA pada periode akhir jabatan, sebagai wujud tindakan afirmasi pada perlindungan perempuan masyarakat adat.
- Presiden agar membentuk tim khusus lintas kementerian/lembaga guna melakukan percepatan pembahasan RUU MHA.
- Presiden memfasilitasi langkah-langkah pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat di daerah.
- Mendesak aparat penegak hukum menghentikan kriminalisasi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dan menggunakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus-kasus hukum yang dialami masyarakat adat.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)