Siaran Pers Komnas Perempuan Menyikapi Masa Akhir Tugas Anggota DPR RI Periode 2014–2019 dan Pelantikan Anggota DPR RI Periode 2019–2024
“DPR RI Berkewajiban Menghadirkan Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual Lewat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”
Jakarta, 1 Oktober 2019
Pidato Ketua DPRI-RI pada Penutupan Rapat Paripurna Masa Bakti Keanggotaan DPR RI Periode 2014-2019 tanggal 30 September 2019 yang menyebutkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu RUU Prioritas yang belum dapat diselesaikan, menegaskan bahwa regulasi untuk pemenuhan hak korban kekerasan seksual bukanlah hal prioritas bagi DPR RI Periode 2014 - 2019, meski RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk dalam Daftar Prolegnas Prioritas sejak tahun 2016.
Jika dibandingkan dengan RUU KPK yang juga merupakan inisiatif DPR dan dapat diselesaikan pembahasannya dalam waktu kurang dari 2 minggu, sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditunda-tunda pembahasannya hingga hampir 3 tahun, memperlihatkan kecenderungan keberpihakan Anggota DPR RI Periode 2014-2019, sesungguhnya bukan pada kelompok rentan, tetapi pada kepentingan politik Anggota DPR RI sendiri.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan permintaan maaf kepada korban kekerasan seksual dan keluarganya, para pendamping dan seluruh elemen masyarakat yang sudah melewati perjalanan panjang bersama Komnas Perempuan memperjuangkan hadirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun harus menelan kekecewaan karena Negara yang terus abai dan menunda-nunda pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sehingga berdampak pada berlanjutnya kerentanan masyarakat terhadap kekerasan seksual, terhambatnya pemulihan dan pemenuhan rasa adil korban, dan menguatnya impunitas pelaku kekerasan seksual.
Menyambut Pelantikan Anggota DPR RI Periode 2019 – 2024 yang berlangsung hari ini, penting bagi Komnas Perempuan mengingatkan upaya yang telah dibangun oleh Komnas Perempuan bersama jaringan organisasi masyarakat pendamping korban, Forum Pengada Layanan (FPL), untuk membantu Negara menjalankan tanggungjawab memajukan, memenuhi dan melindungi hak konstitusional warga untuk mendapatkan rasa aman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi serta persamaan kedudukan di hadapan hukum.
Proses menemukenali kekerasan seksual sebagai embrio dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah dimulai sejak tahun 2010 melalui kasus-kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan. Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilakukan sejak tahun 2014 melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog dan penyelarasan dengan berbagai fakta dan teori. Tercatat 313 kali konsultasi yang telah dilakukan dengan berbagai pihak untuk menyusun Naskah Akademik dan Draft RUU, antara lain: akademisi dari berbagai universitas di Indonesia, lembaga bantuan hukum dan lembaga pendamping korban, para Ahli Hukum Pidana, HAM dan Gender, para Psikolog, Aparatur Penegak Hukum, Pemerintah Daerah, Tokoh Agama dan Adat, Lembaga HAM, dan juga institusi pemerintah yang relevan. Diskusi penentuan judul dan pengaturan sebagai hukum yang khusus (lex specialist) merujuk pada pembelajaran dari pelaksanaan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembelajaran yang pada akhirnya menemukan beberapa hal pokok yang harus diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yaitu:
- Pentingnya perubahan cara pandang, pola pikir dan perilaku negara dan masyarakat terhadap kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, bukan tindak kesusilaan;
- Pencegahan kekerasan seksual harus dimulai dari penelusuran akar masalah kekerasan seksual, yakni adanya ketimpangan relasi antara korban dan pelaku;
- Perubahan konstruksi hukum penting menempatkan pengalaman korban sebagai basis mengenali kekerasan seksual, pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak korban, serta pemidanaan terhadap pelaku;
- Perubahan sistem hukum khususnya Hukum Acara termasuk pembuktian yang memberikan kemudahan bagi korban mendapatkan akses keadilan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah diupayakan masuk dalam Daftar Penambahan Prolegnas 2015-2019, dan kemudian ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas pada tahun 2016 bertepatan dengan tragedi yang menimpa seorang anak perempuan di Desa Rejang Lebong Bengkulu yang mengalami perkosaan oleh 14 orang dan berakhir dengan kematian.
Draft RUU telah selesai diharmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 31 Januari 2017 dan ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada April 2017. Pada Juni 2017, Presiden mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU ini, dan pada bulan yang sama pimpinan DPR RI memutuskan bahwa RUU ini dibahas oleh Komisi VIII.
Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah disampaikan Pemerintah kepada Komisi VIII DPR RI pada bulan Mei tahun 2017, dan pada tahun 2019 Pemerintah melakukan penyempurnaan pada DIM tersebut.
Sepanjang tahun 2018 Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR RI telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah pakar, ormas agama, organisasi masyarakat sipil dan juga Komnas Perempuan, melakukan jaring aspirasi daerah, dan studi banding ke Negara Kanada dan Perancis. Namun, hingga berakhirnya masa tugas DPR RI Priode 2014 – 2019 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tidak dibahas dan disahkan. Meski demikian, secara khusus Komnas Perempuan menyampaikan apresiasi kepada 3 Anggota Legislatif Perempuan Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada Komisi VIII yang telah bekerja keras mendorong terjadinya pembahasan RUU ini di Komisi VIII.
Berangkat dari pengalaman kinerja Anggota DPR RI Periode 2014 – 2019 khususnya Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan mengingatkan Anggota DPR RI Periode 2019 – 2024 yang akan segera memasuki masa tugas, tentang tanggungjawab menghadirkan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia dari kekerasan seksual yang belum ditunaikan oleh Anggota DPR RI Periode 2014 – 2019.
Untuk itu Komnas Perempuan meminta kepada:
- Pimpinan Partai Politik dan Pimpinan Fraksi agar menugaskan Anggota DPR RI Periode 2019 - 2024 yang memiliki kepakaran tentang Hukum, HAM dan Gender, sebagai Anggota Panja/Pansus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual;
- Badan Legislasi DPR RI Periode 2019 – 2024 agar menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU yang akan di-carryover untuk masa persidangan tahun 2020;
- Badan Musyawarah DPR RI Periode 2019 – 2024 agar menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas oleh Pansus Lintas Komisi, karena isu kekerasan seksual bukan semata isu perempuan tetapi isu lintas sejumlah komisi terkait. Namun jika tidak memungkinkan dibahas lintas komisi, maka RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebaiknya dibahas oleh Komisi yang membidangi hukum dan HAM;
Komnas Perempuan juga mengajak organisasi masyarakat sipil dan komunitas korban untuk terus menguatkan konsolidasi mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan mendesak DPR RI untuk menetapkannya sebagai RUU yang akan di-carryover untuk masa persidangan tahun 2020 atau masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020.
Narasumber Komisioner:
Azriana
Sri Nurherwati
Mariana Amiruddin
Masruchah
Narahubung
Elwi (+62-21-3903963)
Link unduh dokumen :
https://drive.google.com/file/d/14IxpGQLyzWYe5YVrZrLh1riO0tzRr7yg/view?usp=sharing