”Negara Wajib Tegakkan Penuhi Hak atas Layanan Kesehatan tanpa Diskriminasi”
Jakarta, 28 November 2025
Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan menyampaikan duka cita mendalam dan solidaritas kepada keluarga Irene Sokoy, seorang perempuan yang meninggal bersama bayi dalam kandungannya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Jayapura, Papua. Komnas Perempuan menegaskan bahwa peristiwa ini tidak dapat dipandang sekadar sebagai kegagalan layanan kesehatan, melainkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem, yang masuk dalam kategori femisida tidak langsung (indirect femicide).
”Kematian Irene Sokoy adalah tragedi yang seharusnya dapat dicegah. Ini mencerminkan bagaimana pengabaian, diskriminasi, dan kegagalan sistemik layanan kesehatan yang berujung pada hilangnya nyawa perempuan,” tegas Komisioner Yuni Asriyanti.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa layanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi, sesuai amanat Pasal 28I ayat (2). Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemenuhan hak ini masih jauh dari memadai. Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab utama kematian ibu meliputi perdarahan (28%), preeklampsia/eklampsia (24%), dan infeksi (11%). Akan tetapi, di balik faktor medis tersebut terdapat persoalan mendasar yang terus berulang yaitu keterlambatan diagnosis dan keterlambatan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memiliki layanan obstetri lengkap. Kedua penyebab struktural ini bukan persoalan teknis semata, melainkan cerminan ketimpangan layanan, diskriminasi akses kesehatan dan sistem rujukan, serta lemahnya perlindungan negara terhadap keselamatan perempuan, terutama perempuan hamil.
Dalam banyak kasus, termasuk yang dialami perempuan korban kekerasan, keterlambatan tersebut dipicu oleh penolakan layanan, hambatan administratif, stigma, atau syarat biaya yang seharusnya tidak pernah menghalangi penanganan gawat darurat maternal. Dampaknya, kondisi medis yang sebenarnya dapat dicegah berubah menjadi kematian maternal yang bersifat struktural, diskriminatif, dan dapat dikategorikan sebagai femisida tidak langsung yang melanggar hak paling mendasar manusia yaitu hak untuk hidup.
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor menegaskan bahwa peristiwa yang menimpa Irene Sokoy sepatutnya menjadi catatan penting perlunya pembenahan menyeluruh pada sistem layanan kesehatan, termasuk life saving fundselain BPJS yang dapat diakses oleh perempuan dalam situasi krisis, khususnya pada layanan maternal dan neonatal perempuan dalam menjalani proses reproduksinya.
”Penolakan layanan dalam kondisi gawat darurat bukan hanya melanggar hak konstitusional warga negara, tetapi juga memperlihatkan bagaimana hambatan administratif, syarat biaya, dan lemahnya manajemen rujukan dapat berubah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan perempuan. Tragedi ini memperlihatkan bahwa pemenuhan hak atas kesehatan tidak dapat dipisahkan dari upaya menghapus diskriminasi berbasis gender dalam tata kelola layanan publik,” ujar Maria.
Komisioner Dahlia Madanih menyatakan peristiwa ini harus menjadi momentum untuk memastikan bahwa keselamatan perempuan ketika menjalani proses reproduksi menjadi prioritas utama dalam kebijakan kesehatan nasional dan daerah. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan setiap fasilitas kesehatan memberikan layanan yang setara, responsif, dan berperspektif HAM.
”Reformasi pelayananan maternal tidak dapat ditunda, dan harus mencakup penegakan standar, tidak boleh ada penolakan layanan (zero refusal), peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, penguatan sistem rujukan, serta mekanisme akuntabilitas yang memastikan tidak ada lagi perempuan yang kehilangan nyawanya akibat penolakan layanan yang seharusnya dapat menyelamatkan hidup mereka,” tegas Dahlia.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa perhatian dunia terhadap isu kesehatan di Indonesia perlu ditanggapi secara serius. Pada tahun 2024, Komite HAM Hak Sipol dan Politik serta Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menyampaikan rekomendasi yang menyoroti keprihatinan atas disparitas kualitas dan ketersediaan layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan pedesaan atau daerah terpencil. Mereka juga menyoroti infrastruktur layanan kesehatan yang tidak memadai serta tingginya angka kematian ibu.
Termasuk dalam laporan tersebut adalah kondisi sistem pelayanan kesehatan di Papua Barat yang ditandai oleh fasilitas kesehatan yang terbengkalai atau rusak, serta penurunan signifikan jumlah fasilitas medis. Komite HAM PBB meminta Pemerintah Indonesia untuk mengurangi kesenjangan tersebut dan menyoroti ketimpangan mencolok dalam ketersediaan layanan publik, khususnya layanan kesehatan, antar wilayah dan provinsi. Pemerintah dinilai penting untuk memprioritaskan mekanisme alokasi sumber daya yang kuat guna meningkatkan penyediaan dan kualitas layanan publik dasar, terutama layanan kesehatan di daerah pedesaan.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)
