...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Merespons Putusan DKPP RI tentang Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di KPU Kabupaten Manggarai Barat

"Pentingnya Perbaikan Aturan, Sanksi Tegas pada Pelaku dan Jaminan Hak Korban"

 

Jakarta, 4 Juni 2024

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI untuk menguatkan upayanya dalam memastikan pemenuhan hak korban atas keadilan, pelindungan dan pemulihan. Upaya ini termasuk dengan menjatuhkan sanksi yang tegas pada pelaku atas perkara tindak kekerasan seksual yang telah diperiksa dan dibuktikan di dalam persidangannya. Juga, dengan menguatkan larangan tindak kekerasan seksual dalam tata kerja penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu). Hal ini disampaikan Komnas Perempuan dalam menyikapi sanksi berupa peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua terhadap Krispianus Bheda Somerpes dari jabatan sebagai ketua KPU Manggarai Barat, 28 Mei 2024, melalui keputusan no. 5-PKE-DKPP/I/2024.

“Pemberian sanksi yang tegas akan menguatkan proses pemulihan korban, meneguhkan keberanian korban-korban lain pada peristiwa serupa untuk melaporkan kasusnya, dan juga menjadi pencegah kekerasan seksual berulang,” ungkap Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan.

Sanksi tegas yang dimaksud adalah pemberhentian tetap. Penyikapan tegas DKPP ini terutama penting mengingat pelaporan kasus kekerasan seksual masih merupakan fenomena gunung es, yang sebenarnya lebih banyak yang tidak dilaporkan atau diadukan.

“Kita perlu mengapresiasi dan mendukung korban yang telah berani bersuara dengan merespon optimal bagi kepentingan korban,” ujarnya.

Kasus di Manggarai Barat adalah satu dari tiga kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Setelah menerima pengaduan dari korban, Komnas Perempuan merujuk korban ke lembaga pendamping,  yaitu oleh LRC KJHAM dan LBH APIK NTT. Dengan dukungan tersebut, korban kemudian mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya kepada DKPP sebagai tindak pelanggaran prinsip integritas. Komnas Perempuan juga hadir sebagai pihak terkait untuk menjelaskan kebenaran pengaduan dan proses pendampingan yang dilakukan lembaga penyedia layanan.

Menjelaskan pentingnya sanksi tegas pada pelaku, Komisioner Siti Aminah Tardi mengingatkan bahwa Undang-Undang No. 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menitikberatkan pada relasi kuasa antara pelaku dan korban dalam menilai kekerasan seksual, dan karenanya, memberikan pemberatan pidana bagi pelaku kekerasan seksual ketika ia adalah penyelenggara negara. Dalam kasus ini, relasi kuasa sangat kuat dimana pelakunya adalah Ketua KPU dan korbannya adalah staff sekretariat yang seharusnya mendapatkan pelindungan dari KPU dan DKPP untuk mendapatkan lingkungan kerja yang aman dari kekerasan seksual.  

“Pejabat penyelenggara pemilu harus menjadi contoh, baik bagi masyarakat umum, rekan kerja maupun bawahan, juga sebagai bagian untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas,” ujarnya.

Selain sanksi tegas, Dewi Kanti selaku Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan perlu ada perbaikan pada aturan tata kerja penyelenggara Pemilu karena aturan saat ini justru melemahkan komitmen institusi pada penghapusan kekerasan seksual dan perkawinan tidak dicatatkan.

Sampai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) Nomor 21 Tahun 2020 terdapat aturan eksplisit untuk mewajibkan semua penyelenggara Pemilu, termasuk anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota untuk menjaga sikap dan tindakan agar tidak merendahkan integritas pribadi dengan menjauhkan diri dari di antaranya perselingkuhan, tindak kekerasan, dan tindakan kekerasan seksual, serta dari kawin siri. PKPU No. 4 Tahun 2021 menghapus aturan eksplisit tersebut dengan menyebutkannya hanya sebagai “perbuatan tercela, dilarang, atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku di masyarakat”, meski memperluas larangan kawin siri dan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan. Pengaturan tersebut kemudian dihapus melalui PKPU No. 5 Tahun 2022 dan  No. 12 Tahun 2023, yang ditandatangani oleh Hasyim Asy’ari, ketua KPU saat ini.

Dari data DKPP diketahui bahwa pada periode 2017 – 2022, sebanyak 25 kasus kekerasan seksual telah disidangkan oleh DKPP, dan 23 di antaranya diputuskan dengan penghentian tetap. Kekerasan seksual pada situasi ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam pemilihan umum (violence against women in election) yang hadir dalam banyak bentuk, mulai dari kekerasan fisik, seksual, pembatasan hak dan gerak perempuan dalam politik, hingga pemecatan kandidat perempuan. Para perempuan yang berpotensi menjadi sasaran kekerasan seksual adalah politisi dan kandidat perempuan dalam pemilu, perempuan yang mendukung atau juru kampanye kandidat tertentu dalam Pemilu, Perempuan Pembela HAM, perempuan tenaga administrasi dalam pelaksanaan Pemilu, jurnalis perempuan yang meliput pelaksanaan Pemilu dan perempuan yang tengah menjabat sebagai Pejabat Publik.

Mengingat kekhasan pengalaman kekerasan seksual, tata cara pemeriksaan DKPP juga perlu disinkronisasi dengan UU TPKS. Untuk itu, Majelis DKPP perlu memastikan dalam memeriksa Saksi dan/atau Korban menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan martabatnya tanpa intimidasi, tidak menjustifikasi kesalahan, cara hidup, dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang tidak berhubungan dengan kasus yang dilaporkan.

“DKPP juga perlu mengupayakan penyediaan fasilitas dan pelindungan yang dibutuhkan agar saksi atau korban dapat memberikan kesaksian secara bebas, dan tidak menimbulkan trauma berulang. Tidak kalah penting putusan atau penetapan wajib merahasiakan identitas saksi dan/atau korban dan mempertimbangkan pemulihan korban dalam putusannya,” ujar Dewi Kanti.

Berkaitan dengan usulan-usulan tersebut di atas, ketua Komnas Perempuan menyampaikan bahwa Komnas Perempuan akan melanjutkan dialog dengan institusi-institusi terkait penyelenggaraan pemilu.

“Saat ini kami sedang dalam proses merampungkan nota kesepahaman dengan Bawaslu. Salah satu aspek kerjasama adalah dalam pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Komnas perempuan juga akan memantau kasus-kasus yang sedang berproses, termasuk pengaduan dugaan kekerasan seksual oleh ketua KPU,” pungkas Andy Yentriyani. 

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: