Siaran Pers Penyikapan pada Usulan Revisi UU ITE
Revisi UU
ITE Untuk Cegah Kriminalisasi dan Reviktimisasi Perempuan Korban Kekerasan
Seksual
Jakarta, 10 Maret 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan
bahwa revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan kebutuhan
genting dalam memastikan upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap
perempuan. Berbagai kajian dan data menunjukkan bahwa UU ITE tidak memiliki kemampuan untuk melindungi
perempuan dari kekerasan seksual
dan eksploitasi terutama melalui penyebaran materi bermuatan seksual. Sebaliknya, justru membuat perempuan
korban kekerasan seksual (KS) rentan mengalami reviktimisasi, bahkan kriminalisasi. Hal ini merisikokan pelaksanaan tanggung
jawab konstitusional negara pada pemenuhan hak, terutama atas jaminan dan
kepastian hukum, rasa aman, bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Catatan Tahunan 2021 menunjukkan lonjakan tajam angka pelaporan kasus
kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di ruang daring (atau yang juga
kerap disebut Kekerasan Berbasis Gender Siber/KBGS). Pengaduan langsung ke
Komnas Perempuan mengenai KBGS meningkat hampir 4 kali lipat, yaitu dari 281
menjadi 942 kasus. Sebanyak 454 kasus adalah KBGS di ranah publik, yang artinya 397 kasus lainnya merupakan KBGS di ranah personal, yaitu
dilakukan oleh orang yang memiliki berhubungan perkawinan atau pertalian darah dan juga oleh mantan
suami/pacar. Fakta bahwa mantan
suami/pacar melanjutkan kekerasan terhadap mantan pasangannya di ruang siber,
menunjukkan bahwa perceraian atau perpisahan pun tidak menjamin perempuan bebas
dari kekerasan. Tubuh dan seksualitas perempuan menjadi alat kontrol dan balas
dendam mantan suami/pacar. Paling banyak kasus yang
dilaporkan adalah ancaman dan dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual, yang mengakibatkan korban dipermalukan bahkan
berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU
ITE dan UU Pornografi. Bertambahnya jumlah
perempuan yang berhadapan dengan hukum juga tampak dalam laporan kepolisian,
sebagaimana dihimpun oleh SAFENET, di mana dalam rentang 2017 hingga 2020 terdapat 1.050 kasus
terkait penyebaran kesusilaan (pornografi). Organisasi masyarakat sipil
tersebut juga mencatat bahwa 31,5% dari kasus yang mereka advokasi adalah terkait kasus kesusilaan.
Dalam konteks kriminalisasi pada korban melalui penggunaan UU ITE, hasil
pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa bukan saja melibatkan perempuan korban kekerasan
seksual ketika muatan seksual menyangkut yang melibatkan dirinya disebarkan melalui media sosial siber. Korban kekerasan dalam
rumah tangga atau kekerasan di ranah personal lainnya juga berpotensi
dikriminalkan ketika mereka menggunggah menuliskan kisah dan/atau aspirasinya tentang kasus yang dialaminya di media sosial. Sulit bagi perempuan korban untuk
keluar dari jerat kriminalisasi, terutama ketika
suami/pasangannya adalah pejabat publik
atau elit sehingga dapat mengambil keuntungan sepihak dari relasi timpang antar
mereka akibat kedudukan sosial dan konstruksi gender mengenai posisi perempuan
dalam relasi personal.
Kriminalisasi perempuan korban kekerasan dengan menggunakan UU ITE
dimungkinkan karena muatan UU ITE mengenai pasal terkait kesusilaan bersifat
sumir dan perspektif penegak hukum serta
masyarakat dalam kasus terkait kesusilaan
cenderung memojokkan perempuan. Kondisi ini secara khusus merugikan perempuan yang oleh masyarakat dikonstruksikan sebagai simbol moralitas. Selain berhadapan
dengan hukum, perempuan yang terjerat dengan UU ITE kerap harus menghadapi penghakiman masyarakat, bahkan keluarganya, terhadap dirinya.
Menyikapi situasi di atas, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
Penghapusan KS) diharapkan dapat mengoreksi persoalan hukum ini selain menjadi payung hukum yang
mengenali keragaman pengalaman kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang
siber. RUU Penghapusan KS telah
ditetapkan bersama oleh Badan Legislasi
DPR RI dan Pemerintah pada 9 Maret 2021 sebagai salah satu
RUU yang masuk dalam Prolegnas 2021. Namun,
hingga rilis ini disusun, belum ada keputusan hasil paripurna DPR RI. Padahal, pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dibutuhkan sesegera mungkin demi pemenuhan hak-hak korban.
Di dalam kesepakatan Baleg DPR RI dan
pemerintah, revisi UU ITE tidak menjadi bagian dari
daftar yang diusulkan untuk Prolegnas 2021. Hal ini dikuatirkan akan mengakibatkan jumlah perempuan yang menjadi
korban Kekerasan Seksual (KS) dengan menggunakan media online, serta reviktimisasi dan
kriminalisasi perempuan korban Kekerasan
Seksual (KS) dengan menggunakan UU ITE terus bertambah.
Bertolak dari pemikiran di atas, Komnas
Perempuan mendukung upaya masyarakat sipil agar Pemerintah dan DPR RI
mengadopsi revisi UU ITE menjadi bagian dalam program legislasi prioritas nasional
2021.
Narasumber:
1. Veryanto Sitohang
2. Rainy M. Hutabarat
3. Andy Yentriyani
4. Mariana Amiruddin
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)