Siaran Pers Komnas Perempuan
Penyikapan terhadap Pengesahan Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Pidana Tambahan Kebiri Kimia:
Pada 7 Desember 2020, Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. PP ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU ini, kebiri kimia diadopsi sebagai pidana tambahan, yang sebelumnya diatur di dalam Perpu No. 1 Tahun 2016.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memahami bahwa dorongan untuk memberikan tambahan pidana berupa kebiri kimia didasarkan pada keprihatinan atas terus meningkatnya kekerasan seksual, khususnya perkosaan, terhadap anak. Namun, Komnas Perempuan berpendapat bahwa pidana tambahan ini bermasalah karena mengurangi daya Negara dalam pemenuhan hak konstitusional. Saat bersamaan, pidana kebiri kimia mengalihkan perhatian dari persoalan laten dan kronis yang ada dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, termasuk pada anak. Pendapat ini telah disampaikan Komnas Perempuan sejak dikembangkannya ide mengenai tindak pidana tambahan ini di tahun 2015.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2011- 2019 terjadi 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal dan rumah tangga, dan ranah publik. Dari jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa perkosaan (9.039 kasus), pelecehan seksual (2.861 kasus), kejahatan siber (cyber crime) bernuansa seksual (91 kasus). Data terhimpun ini diyakini masih merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya. Setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan (KtP) meningkat. Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) berbentuk kekerasan seksual terhadap anak perempuan mengalami lonjakan 65% yaitu 2.341 kasus pada 2019, meningkat dari tahun 2018 berjumlah 1.417 kasus. Meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat. Anak perempuan memiliki kerentanan berlapis karena ia berusia anak dan juga perempuan.
Di dalam situasi penanganan kasus yang masih sangat terbatas, penambahan pidana kebiri kimia tidak akan secara substantif mengatasi persoalan akses keadilan yang dihadapi oleh korban. Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2016 hingga 2019, kurang dari 30% dari jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan korban kepada lembaga layanan akhirnya dapat diproses hukum dan diputuskan di pengadilan. Korban yang melaporkan masih kerap disalahkan atau dicurigai memiliki hubungan suka-sama suka. Situasi ini kerap dihadapi oleh korban yang masih berusia remaja putri dan perempuan muda. Banyak juga yang dihentikan prosesnya karena dianggap kurang bukti. Biaya visum dan tes DNA, yang kerap dijadikan bukti utama perkosaan, masih sering harus ditanggung oleh pihak korban. Masalah infrastruktur, anggaran dan SDM dalam segala bentuk layanan bagi korban untuk mencari keadilan dan pemulihan terus-menerus mengemuka. Korban juga kesulitan untuk memperoleh pelindungan, termasuk dalam bentuk rumah aman, apalagi dukungan pemulihan. Dalam diskusi dengan berbagai pihak pada akhir tahun 2020 mengenai penanganan kasus perkosaan, Komnas Perempuan mencatat bahwa tidak banyak kasus yang mendapatkan pidana maksimum. Rata-rata kasus perkosaan pada perempuan dewasa hanya dipidana 5 tahun. Meski pemidanaan anak relatif lebih tinggi daripada untuk perempuan dewasa, namun kerap ditemukan kasus dimana pelaku dihukum tidak dengan ancaman maksimum, bahkan sejumlahnya hanya di pidana mimimum, yaitu 5 tahun penjara.
Penambahan pidana kebiri kimia juga tidak didukung dengan data yang cukup komprehensif dalam hal efektivitas mencegah kekerasan seksual, termasuk untuk mengurangi residivisme atau berulang kembali tindak kekerasan seksual oleh pelaku yang sama. Data menunjukkan bahwa sebagai cara mengurangi residivisme pelaku kekerasan seksual kebiri kimia efektif ketika tindakan ini merupakan bagian dari program pengobatan (treatment) yang diikuti secara sukarela oleh orang bermasalah dalam mengendalikan hasrat libidinal dan diikuti dengan pendampingan psikologis yang melekat. Ada beberapa alasan kebiri kimia sebagai hukuman menjadi tidak efektif. Pertama, kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau demi kepuasan seksual.
Mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual karena tidak akan mengoreksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, termasuk relasi antara orang dewasa dan anak. Kedua, kekerasan seksual memiliki rupa yang tidak terbatas pada persetubuhan dan pencabulan yang melibatkan penggunaan alat genital laki-laki. Kebiri kimia hanya bersifat anti-libido, sementara penaklukan, kontrol, balas dendam dapat dilakukan dengan penetrasi non penis. Ketiga, masalah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan penanganan yang komprehensif, tidak sebatas aspek penghukuman, melainkan juga melibatkan pendidikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta kesehatan reproduksi, pelayanan sosial yang inklusif dan efektif termasuk untuk kelompok rentan.
Komnas Perempuan perlu mengingatkan bahwa upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan. Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, pemidanaan terhadap pelaku yang memuat pembatasan atau pengurangan hak dapat dilakukan tetapi perlu dirumuskan dengan uji cermat tuntas terhadap terpenuhinya asas legalitas, kebutuhan, ketercukupan dan proporsionalitas. Di dalam Konstitusi, UUD NRI 1945, pembatasan hak diatur di dalam Pasal 28 J Ayat 2. Pembatasan ini juga dikenali dalam pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diadopsi dalam hukum nasional melalui UU No. 12 tahun 2005.
Kajian di berbagai negara yang juga menerapkan hukuman maupun program pengobatan kebiri kimia menunjukkan bahwa jenis obat yang digunakan dalam proses kebiri kimia dapat menimbulkan efek samping tertentu, di antaranya depresi, otot melemah, osteoporosis dan gangguan metabolisme lemak yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. Pada sejumlah orang, dampak kebiri kimia dapat bersifat permanen, meskipun sebagian besarnya bersifat temporer selama tindakan itu berlangsung. Efek samping ini secara langsung mengurangi hak atas kesehatan dan dapat memicu berkurangnya hak yang lain, misalnya hak atas penghidupan akibat kondisi kesehatan yang terganggu.
Dalam perkembangan pemikiran hukum, pemidanaan pelaku tidak hanya dilakukan untuk memberikan hukuman yang setimpal atas tindakan dan kerugian korban. Pemidanaan juga dimaksudkan untuk memulihkan manusia [pelaku] kepada nilai-nilai kemanusiaannya, termasuk dalam memperlakukan anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya. Pemidanaan menjadi proses untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga mengubah pola pikir dan perilaku terpidana agar sejalan dengan norma-norma kemanusiaan dan dapat kembali berguna bagi masyarakatnya. Arah pembinaan ini tidak tampak dalam pidana tambahan kebiri kimia.
Pidana tambahan kebiri kimia, karenanya, merupakan hukuman badan yang memiliki dampak langsung pada pengurangan hak, tetapi dengan daya efek jera maupun efek pencegahan yang masih dipertanyakan, berpotensi mendistraksi perhatian dari persoalan substantif akses keadilan korban dan upaya komprehensif mencegah kekerasan seksual, termasuk pada anak, maupun dari upaya pembinaan kembali warga. Akibatnya, penerapan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak memenuhi asas kebutuhan, ketercukupan dan proporsional untuk kejahatannya sendiri. Sebaliknya, pidana kebiri kimia menjadi langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia dalam menjalankan mandat konstitusional untuk pemenuhan HAM, terutama hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Hal ini juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, karena berpotensi mendistraksi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, langkah kebijakan ini dapat mengurangi pemenuhan hak konstitusional atas perlindungan hukum dan rasa aman pada warga, khususnya perempuan dan anak, serta hak atas kehidupan yang bermartabat pada korban.
Guna membangun langkah yang efektif untuk penghapusan kekerasan seksual, termasuk pada anak, dan untuk pemajuan hak perempuan untuk bebas dari segala bentuk kekerasan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 7 Tahun 1984 mengenai pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Komnas Perempuan merekomendasikan:
1. Mengoptimalkan upaya pencegahan, antara lain, dengan pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif untuk seluruh warga negara baik lelaki dan perempuan termasuk penyandang disabilitas, yang di dalamnya terdapat materi anti kekerasan seksual;
2. Menguatkan pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan korban kekerasan seksual dengan mengintegrasikan perspektif korban dan disabilitas;
3. Meningkatkan dukungan, termasuk anggaran dan ketersediaan SDM berkualitas dan berkelanjutan, untuk proses pemulihan korban;
4. Mengefektifkan pidana maksimal pada pelaku tindak kekerasan seksual termasuk penjara seumur hidup bagi yang melanggar Pasal 81 dan Pasal 82 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagai RUU yang komprehensif dalam hal penanganan korban maupun pelaku kekerasan seksual yang sudah dibangun sejak tahun 2014, yang juga memuat perumusan tindak pidana kekerasan seksual yang tidak terbatas pada pemerkosaan dan pencabulan;
6. Menjadikan kebiri kimia sebagai bagian dari tindakan rehabilitasi yang menjadi pilihan berbasis kesukarelaan dan didasarkan pada informasi utuh mengenai proses dan dampak kepada terpidana, guna mengoptimalkan efektivitas tindakan ini dalam mengurangi residivisme.
Narasumber Komisioner:
Retty Ratnawati
Satyawanti Mashudi
Siti Aminah Tardi
Rainy Hutabarat
Andy Yentriyani
Mariana Amiruddin
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)