Siaran Pers Komnas Perempuan
Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 Mereduksi Kebijakan Afirmasi dan Tidak Mendorong Tata Pemerintahan Bebas dari Kekerasan terhadap Perempuan
Jakarta, 12 Mei 2023
Komnas Perempuan mencermati Peraturan PKPU No. 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mereduksi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dan tidak mendorong tata kelola pemerintahan dan kelembagaan yang bebas dari kekerasan seksual.
“PKPU No. 10 Tahun 2023 akan mempersempit ruang politik perempuan yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD, di mana penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan kurang dari 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Peraturan ini merugikan caleg perempuan, sehingga kuota 30% semakin sulit dipenuhi. Padahal, keterwakilan perempuan dalam demokrasi adalah strategi untuk mempercepat terpenuhinya kesetaraan gender,” ujar Olivia Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan yang juga pernah menjadi Wakil Walikota Ambon dalam Konferensi Pers yang dilaksanakan di Jakarta pada 12 Mei 2023.
“Kebijakan afirmasi ini adalah pendekatan substantif dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagai suatu koreksi, asistensi dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif yang dialami perempuan selama berabad-abad. Sehingga tindakan afirmasi ini bukan diskriminasi. Kami akan memantau janji KPU untuk merevisi PKPU No. 10 ini dan merekomendasikan agar KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tidak mereduksi jaminan untuk perlakuan khusus yang telah dijamin dalam konstitusi, juga Bawaslu harus benar-benar mengawasi bagaimana peraturan KPU berdampak terhadap perempuan,” sambung Olivia terkait tanggapan KPU yang berencana merevisi PKPU No. 10 setelah mendapatkan kritik dan desakan dari berbagai organisasi perempuan dan pemantau pemilu. Komnas Perempuan juga menerima pengaduan dari AMPERA, terkait KPU yang melalui PKPU No.10 telah melanggar hak politik perempuan.
Selain mereduksi kebijakan afirmasi perempuan, Komnas Perempuan mempertanyakan perubahan persyaratan bakal calon dalam pasal 11 (ayat )1) huruf g yang menghilangkan kejahatan seksual pada anak dalam PKPU No.20 tahun 2018. Syarat bahwa bakal calon tidak pernah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak secara khusus menyebut kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual akan berkontribusi terhadap tata pemerintahan dan tata kelola kelembagaan yang akan dihasilkan.
“UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memandatkan pemerintah melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk di bidang pemerintahan dan tata kelola kelembagaan. Ini artinya sejak proses recruitment harus dipastikan calon pejabat publik tidak memiliki riwayat sebagai pelaku kekerasan seksual. Perumusan dalam PKPU 10 tahun 2023 hanya melarang seseorang dengan ancaman lima tahun atau lebih yang akan menyebabkan kasus-kasus yang diancam dibawahnya seperti pelecehan seksual non fisik, kekerasan seksual berbasis elektronik atau perbuatan asusila di muka umum tidak akan terkena larangan ini. Jabatan politik menjadi salah satu sumber kuasa, jika pelaku kekerasan seksual tidak dibatasi akses pada kekuasaan, bisa jadi ia akan mengulangi perbuatannya. Mengingat, Komnas Perempuan menerima laporan kekerasan seksual yang dilakukan politisi yang kemudian terjadi impunitas. Karenanya perlu ditegaskan syarat administrasi dalam revisi PKPU No. 10 adalah tidak pernah diadukan atau dilaporkan dengan sangkaan tindak pidana kekerasan seksual,” tegas Komisioner Siti Aminah Tardi, menyampaikan penilaian terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf g, sekaligus mengingatkan kewajiban KPU untuk membangun ruang aman dari kekerasan seksual.
Dalam konferensi pers yang dilakukan di Ruang Persahabatan ini, Komnas Perempuan juga mencermati minimnya keterwakilan perempuan sebagai panitia seleksi KPU di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Padahal peran KPU menjadi penting dalam melakukan pengawasan, termasuk jika terjadi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Juga disampaikan bahwa setiap tahapan penyelenggaraan pemilu akan rentan terjadinya kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, baik kepada kandidat calon pengawas pemilu maupun pencalonan perempuan sebagai bakal calon.
“Komnas Perempuan telah menerima pengaduan terkait tahapan seleksi penyelenggara Pemilu yang di beberapa wilayah tidak ada perwakilan perempuannya. Juga ada pengaduan dalam hal ini seleksi terhadap calon anggota badan pengawas pemilu provinsi yang menyasar tubuh perempuan pada saat pemeriksaan kesehatan, di mana pengadu merasa dipermalukan dan diperlakukan tidak manusiawi. Kami sungguh berharap Bawaslu RI untuk melakukan penyelidikan terkait hal ini dan membangun ketentuan penggunaan jasa pihak ketiga yang sensitive gender, agar perempuan tidak khawatir dengan proses seleksi yang tidak nyaman dan menyebabkan urung untuk berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu” ujar Komisioner Veryanto Sitohang yang pernah menjadi pejabat KPU Daerah di Provinsi Sumatera Utara, menyampaikan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan dibandingkan pengalamannya ketika mengikuti seleksi serupa pada 2014.
Narahubung: Elsa (081389371400)