Siaran Pers Komnas Perempuan
Sahkan RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
yang Memuat Perlindungan Bagi Korban dan Pemidanaan terhadap Pelaku
Jakarta, 30 Agustus 2019
RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdaftar sebagai Prolegnas Prioritas 2016. Kemudian RUU ini selesai diharmonisasi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 31 Januari 2017 dan ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada April 2017. Pada Juni 2017, Presiden mengeluarkan Surat Presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU ini. Pada bulan yang sama pimpinan DPR RI memutuskan bahwa RUU ini dibahas oleh Komisi 8 DPR RI.
Berdasarkan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan, tugas dan fungsi Baleg DPR RI diantaranya adalah melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan Rancangan Undang-Undang berdasarkan arah kebijakan yang ditetapkan1, sehingga posisi Komisi VIII DPR RI adalah memperkuat RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disusun oleh Baleg.
Salah satu Agenda Pembangunan Nasional dalam RPMJN 2015-2019 adalah memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas, korupsi, bermartabat dan terpercaya. Agenda khususnya adalah melindungi anak, perempuan, dan Kelompok Marjinal antara lain dengan memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan dari berbagai tindak kekerasan. Adapun Strategi Nasional Akses pada Keadilan bidang reformasi hukum dan peradilan berfokus pada kelompok masyarakat miskin atau terpinggirkan, yaitu masyarakat, anak-anak, dan perempuan yang: 1) Hidup dalam kemiskinan dan/atau daerah terpencil; 2) Dengan disabilitas; dan 3) Memerlukan perlindungan khusus seperti korban kekerasan, kelompok minoritas, masyarakat hukum adat, buruh tani, buruh perkebunan dan nelayan.2
RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual memuat mandat dari RPJMN tersebut, dan sebagai bentuk hadirnya Negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, mengingat korban kekerasan seksual tertinggi adalah perempuan. Dengan kehadiran RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan dapat melakukan perubahan paradigma masyarakat sehingga terjadi zero tolerance bagi kekerasan seksual.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sepanjang tahun 2018 Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR RI telah menghadirkan sejumlah ahli hukum pidana. Salah satu ahli hukum pidana terkemuka menyatakan dukungan akademis keilmuan bahwa RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual memuat delik pidana khusus yang bertujuan untuk menegakkan pemidanaan kepada pelaku dan perlindungan terhadap korban kekerasan.
Berdasarkan jadwal yang tercatat di Komisi VIII DPR RI, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual berlangsung sejak 26 Agustus - 19 September 2019. Kemudian RUU ini akan disahkan pada 25 September 2019. Sedangkan pada 30 September 2019, diagendakan penutupan Masa Sidang DPR RI. Menghormati proses pembahasan DIM yang tengah berjalan, Komnas Perempuan tetap memberikan dukungan kepada para Anggota DPR RI yang tetap berkomitmen membahas RUU Penghapusan Tindak Pidanan Kekerasan Seksual yang memenuhi perspektif perlindungan korban. Selain itu, Komnas Perempuan juga mengapresiasi Pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai leading sector, yang telah membahas dan menyempurnakan DIM Tanggapan terhadap Naskah RUU DPR RI dengan mengundang sejumlah ahli hukum pidana dalam upaya mengakomodir aspirasi masyarakat.
Namun, berdasarkan hasil pemantauan perkembangan pembahasan DIM pada 27 Agustus 2019 dan juga pernyataan publik salah satu anggota Panja, diketahui ada kecenderungan RUU ini akan diarahkan untuk mengatur hal-hal yang bersifat administratif, sehingga tidak akan mengatur kekhususan jenis kekerasan seksual dan kekhususan hukum acara penanganan korban kekerasan seksual, yang keduanya merupakan inti RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini, dan tidak dapat diatur di RUU Hukum Pidana.
Melihat perkembangan ini, Komnas Perempuan mendukung perbaikan DIM Pemerintah dengan judul RUU Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, karena materi inti muatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual berupa: (1) Ragam tindak pidana kekerasan seksual dan pemidanaannya; (2) Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; (3) Pencegahan; (4) Koordinasi Pemantauan; (5) Perlindungan; dan (6) Pemulihan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan mencirikan RUU ini bukan bersifat administratif. Tanpa muatan jenis delik kekerasan seksual, pemidanaan dan hukum acara khusus, RUU ini akan menjadi Undang-Undang yang tidak memiliki kedayagunaan melawan kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan.
Pengaturan khusus jenis kekerasan seksual membantu korban dan aparatur penegak hukum dalam RUU ini untuk memproses kasus yang selama ini tidak diakomodasi dalam hukum positif. Kemudian pengaturan khusus terkait penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan, akan menjamin korban tidak direviktimisasi dan membuat korban dapat memberikan keterangan dengan jelas, hingga akhirnya membantu negara menyelesaikan kekerasan seksual yang dialaminya. Sementara itu Bagian Pencegahan berisi arah pengaturan kebijakan nasional untuk memberikan edukasi masyarakat tentang akar masalah kekerasan seksual dan strategi pencegahannya. Perlindungan menyangkut hak korban dan sistem layanan terpadu pemenuhan hak korban. Muatan pemulihan nantinya akan membantu korban pulih dari dampak traumatis mendalam dan kerugian materiil serta immateriil. Pemidanaan yang menganut double track system dalam RUU ini ditujukan sebagai alat pencegah terjadinya kekerasan seksual dalam jangka panjang dan alat untuk menjerakan pelaku kekerasan seksual dengan mempertimbangkan hukuman yang tepat dan proporsional. Mengubah arah muatan RUU menjadi hukum administratif tidak akan mampu menjawab akar persoalan yang melatarbelakangi perumusan RUU dan tidak akan mampu mencapai tujuan perumusan RUU ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:
- Presiden RI :
- Memperkuat dukungan terhadap pembahasan RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan seksual; dan
- Bersama DPR RI mengesahkan RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai undang-undang yang memiliki daya guna yang kuat dalam memberikan akses keadilan bagi perempuan dan anak, pada tahun 2019.
- Ketua DPR RI :
- Menghimbau seluruh anggota DPR RI untuk memberikan dukungan bagi pengesahan RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai UU yang mampu mencegah orang melakukan kekerasan seksual, memberikan hak pelindungan korban melalui layanan yang memadai, memperjelas hukum acara yang memudahkan korban, dan menghukum pelaku guna mencegah keberulangan
- Panitia Kerja RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual DPR RI :
- Mempertahankan muatan pengaturan Pemidanaan Pelaku dan Pengaturan Pelindungan terhadap Korban (melalui pengaturan perlindungan hak dan hukum acara khusus), dengan mempertimbangkan kerentanan perempuan dan anak sebagai korban sehingga membangun politik hukum yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, sebagaimana mandat CEDAW.
- Segera membahas DIM dan membentuk Tim Perumus, termasuk Tim Sinkronisasi dengan hukum positif dan RUU Hukum Pidana, dan memastikan pembahasan RUU ini dapat berakhir dengan pengesahan pada 25 September sesuai jadwal.
- Lembaga Pendamping Korban dan Penyintas (survivor):
- Terus memberikan masukan yang konstruktif kepada Tim Panja RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Komisi 8 DPR RI .
- Pemerintah:
- Terus memperkuat kerjasama lintas sektor dalam pembahasan RUU Penghapusan Tindak Pidana
Narasumber:
Azriana (Ketua dan Komisioner)
Masruchah (Komisioner)
Sri Nurherwati (Komisioner)
Narahubung:
Elwi (0812-8799-6922)
Link unduh dokumen :
Siaran Pers Komnas Perempuan_RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual_30 Agustus 2019
https://drive.google.com/file/d/1YR23Iav85kaOZ8umvYkLDGEjhqXGd89f/view?usp=sharing