...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Tantangan Kepemimpinan Jokowi – Ma’ruf Amin Setelah 1 Tahun (21 Oktober 2020)

Siaran Pers Komnas Perempuan

Tantangan Kepemimpinan Jokowi – Ma’ruf Amin Setelah 1 Tahun :

Meretas Kontradiksi Kebijakan dan Hambatan Lainnya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

 Jakarta, 21 Oktober 2020

 

Dalam 1 tahun terakhir, kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menghadapi tantangan berat dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga, termasuk hak atas rasa aman. Tantangan yang dimaksud di antaranya adalah dampak sistemik berskala global akibat pandemi Covid-19 dan konsolidasi politik akibat residu pemilu 2019 dan perkembangan paham yang merongrong pondasi konstitusi. Dalam kondisi ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya sejumlah kemajuan kebijakan yang perlu dipastikan implementasinya untuk menguatkan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Saat bersamaan, terdapat pula kebijakan dan perkembangan situasi yang berkontradiksi dan dapat menghambat upaya mengatasi akar masalah dari kekerasan terhadap perempuan.

Sekurangnya ada 4 kebijakan yang diterbitkan dalam 1 tahun kepemimpinan Presiden-Wakil Presiden, Jokowi dan Ma’ruf Amin. yang memiliki kontribusi langsung maupun tidak langsung secara positif pada pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pertama, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2020 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.  Perpres ini meneguhkan kewenangan KPPPA untuk menyelenggarakan koordinasi pengada layanan terpadu di tingkat daerah dan menjadi rujukan akhir di tingkat nasional untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Daya penanganan KPPPA diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 460/812/SJ kepada kepala daerah untuk mendukung program penanganan kekerasan terhadap perempuan. Perpres ini menjadi dasar untuk meningkatkan sinergi pendataan yang penting sebagai rujukan informasi dalam menyusun kebijakan. Dengan kewenangan yang diteguhkan ini, KPPPA dapat mengambil kiprah lebih proaktif, seperti dalam hal pembentukan protokol penanganan kekerasan terhadap perempuan dalam situasi pandemi Covid-19.

Kedua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban. Selain membuka akses lebih luas bagi perempuan korban terorisme masa lalu, PP ini menegaskan lingkup penyediaan pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan juga pada kasus kekerasan seksual melalui layanan yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, Komnas Perempuan juga mencatatkan bahwa perlu ada kebijakan lanjutan untuk menyikapi hambatan struktural bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk dapat mengakses layanan ini, terutama terkait syarat pelaporan dan penetapan di pengadilan.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. PP ini menyesuaikan dengan perintah UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang berupaya untuk mengatasi kerentanan pekerja migran Indonesia, terutama perempuan, dari eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan. Keempat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan. PP ini penting untuk memperbesar peluang akses keadilan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan. PP ini dapat diperkuat dengan perhatian lebih khusus pada kerentanan perempuan disabilitas, terutama terkait kekerasan seksual, sehingga memungkinkan adanya jaminan fasilitas tidak berbayar dalam hal pengumpulan bukti, seperti tes visum maupun DNA.

Selain mengapresiasi langkah maju di bidang kebijakan yang telah dilakukan di dalam masa 1 tahun kepemimpinan Presiden-Wakil Presiden, Jokowi dan Ma’ruf Amin, Komnas Perempuan juga menyesalkan adanya kontradiksi dalam kebijakan, terutama melalui UU Cipta Kerja yang merupakan inisiatif pemerintah. Pengaturan di dalam kebijakan ini berpotensi mengurangi perlindungan hak perempuan pekerja, baik di dalam maupun luar negeri. Belum lagi risiko dampak yang tidak proporsional yang ditanggung oleh perempuan disabilitas, termasuk yang menjadi disabilitas akibat kecelakaan kerja. Pengaturan di dalam UU Cipta Kerja juga dikuatirkan dapat menyebabkan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan menjadi tidak efektif, terutama terkait dengan kerentanan pada konflik sumber daya alam dan konflik agraria yang muncul akibat proyek pembangunan yang ambisius yang menghalangi partisipasi substantif warga. Sepanjang tahun 2020 saja, Komnas Perempuan telah menerima 7 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan konflik sumber daya alam dan agraria yang berhadapan dengan kepentingan usaha atau kebijakan pembangunan. Lebih lanjut tentang telaah cepat Komnas Perempuan pada UU Cipta kerja dapat dibaca di https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-komnas-perempuan-uu-cipta-kerja-risiko-kemunduran-perlindungan-substantif-perempuan-pekerja-9-oktober-2020

Komnas Perempuan juga mengamati bahwa implementasi kebijakan yang memuat pendekatan kesetaraan gender yang substantif masih menjadi persoalan. Hal ini tampak dari sejumlah kegiatan di tingkat kementerian yang diisi oleh seluruhnya narasumber laki-laki. Juga, minimnya jumlah perempuan dalam proses seleksi sejumlah lembaga independen oleh panitia seleksi, yang keanggotaan dari panitia tersebut ditunjuk oleh Presiden. Juga, dalam lambannya penanganan pandemi Covid-19 dalam menyikapi kerentanan perempuan, seperti dalam hal kebijakan terkait layanan kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan, melahirkan, dan keluarga berencana. Kajian Komnas Perempuan mengenai dinamika keluarga di masa pandemi menunjukkan bahwa beban perempuan berlipat daripada laki-laki selama masa pandemi. Hal ini berkaitan dengan relasi di dalam keluarga yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengonstruksikan peran pengasuhan dan subordinasi pada perempuan. Upaya mengoreksi konstruksi ini tampaknya masih kurang masif dan efektif; a.l. yang dilakukan melalui program di KPPPA, bimbingan pra nikah di Kementerian Agama, dan integrasi pemahaman HAM dan gender di dalam pendidikan nasional dalam bimbingan Kementerian Pendidikan. Seluruh situasi ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan mengenai langkah afirmasi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan, sebagaimana dimandatkan dalam Konstitusi.

Hambatan lain dari upaya pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden-Wakil Presiden, Jokowi dan Ma’ruf Amin, adalah sejumlah persoalan dari periode lalu yang juga belum memperoleh ruang untuk diatasi segera. Salah satunya adalah upaya optimal dalam mengatasi kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah yang menghadirkan kerugian tidak proporsional pada perempuan. Belum lagi, perihal kondisi perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu yang terkesan terkatung-katung. Kondisi serupa dihadapi oleh perempuan korban intoleransi agama, yang dalam pantauan Komnas Perempuan jumlah komunitas terdampak terus bertambah di tahun 2020.

Mengatasi kontradiksi kebijakan dan hambatan lainnya dalam implementasi kebijakan yang kondusif untuk menghapus kekerasan dan diskriminasi pada perempuan, Komnas Perempuan merekomendasikan agar pemerintah dalam kepemimpinan Presiden-Wakil Presiden, Jokowi dan Ma’ruf Amin: 

  1. Memperkuat implementasi protokol penanganan kekerasan terhadap perempuan dalam kondisi pandemi Covid19, termasuk dengan memastikan dukungan infrastruktur bagi lembaga pengada layanan dalam menyelenggarakan layanan daring maupun luring dengan menepati protokol kesehatan;
  2. Menyusun kebijakan yang mengatasi hambatan struktural dan kultural dari perempuan korban kekerasan seksual dalam mengakses layanan perlindungan dan dukungan, dengan perhatian khusus pada kerentanan khas perempuan dalam kondisi tertentu, seperti disabilitas, lansia, hidup dengan HIV/AIDS, dan di kepulauan dan daerah terpencil;
  3. Mengambil langkah proaktif untuk melakukan koreksi pada muatan UU Cipta Kerja dan pada proses perumusan kebijakan selanjutnya agar lebih dapat memastikan dan memajukan jaminan perlindungan hak-hak konstitusional, dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan pekerja dan efektivitas pencegahan kekerasan terhadap perempuan;
  4. Mempercepat pelaksanaan agenda harmonisasi peraturan perundang-undangan, termasuk dengan menggunakan kewenangan pengawasan ekskutif untuk  pembatalan kebijakan Kepala Daerah yang diskriminatif;
  5. Menyegerakan penuntasan persoalan pelanggaran HAM masa lalu, dengan perhatian khusus pada kerentanan dan kebutuhan pemulihan perempuan korban;
  6. Mencegah dan mengatasi dengan lebih tegas pemahaman, sikap dan perilaku intoleran berbasis agama, dan suku/ras;
  7. Menguatkan sinergi kementerian/lembaga dan masyarakat dalam mendukung implementasi kebijakan yang mengatasi ketimpangan gender yang disebabkan oleh budaya misoginisyang kerap dijustifikasi dengan pemahaman agama yang tidak ramah perempuan;
  8. Mengembangkan kebijakan-kebijakan afirmasi guna mencapai kesetaraan dan keadilan dalam hal kepemimpinan perempuan dan layanan dasar dengan perhatian pada kerentanan-kerentanan khusus perempuan yang menghadapi diskriminasi berlapis

 

 Narasumber

  1. Alimatul Qibtiyah
  2. Andy Yentriyani
  3. Bahrul Fuad
  4. Satyawanti Mashudi
  5. Olivia C. Salampessy

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)

 

Silahkan mengunduh 

Siaran Pers Komnas Perempuan Tantangan Kepemimpinan Jokowi – Ma’ruf Amin Setelah 1 Tahun (21 Oktober 2020)

 

Sumber ilustrasi:

https://kaltim.tribunnews.com/2019/10/16/beredar-di-whatsapp-81-nama-calon-menteri-kabinet-jokowi-maruf-amin-lihat-profil-fotonya?page=all


Pertanyaan / Komentar: