Jakarta, 10 Oktober 2023
Komnas Perempuan berbelasungkawa atas kematian D (inisial) korban tindakan kekerasan dalam relasi personal kekerasan dalam pacaran (sering disebut juga pasangan intim). Komnas Perempuan mendukung upaya polisi untuk menyegerakan proses hukum terhadap tersangka utama maupun yang terkait, mendorong pusat layanan terpadu untuk mendukung keluarga korban mendapatkan pemulihan, dan mengajak semua pihak untuk turut mencegah peristiwa serupa berulang.
Kekerasan dalam pacaran adalah jenis kekerasan terhadap perempuan di ruang personal berada di urutan kedua sebagai kasus terbanyak setelah kekerasan terhadap istri, yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan dalam 5 tahun terakhir. Bahkan di tahun 2022 dilaporkan 3.950 kasus, naik lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Bentuk kekerasan dalam pacaran termasuk kekerasan fisik dalam berbagai tindak penganiayaan; kekerasan psikis seperti larangan dan atau pembatasan berteman dengan pihak lain, penguntitan, pengancaman, pelecehan dan pengerdilan kepercayaan diri, kekerasan seksual seperti eksploitasi seksual, perkosaan dan pemerasan untuk tujuan seksual.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyatakan, “Kami belum mendapatkan laporan secara utuh tentang situasi yang dihadapi korban. Namun dalam pemberitaan di berbagai media, terdapat hal-hal yang penting diperhatikan. Pertama, terdapat indikasi penganiayaan berulang kali oleh pelaku terhadap korban, yang berujung pada kematian.”
Menurutnya lagi, pemberitaan tentang peristiwa terakhir menunjukkan proses yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa terhadap korban yaitu pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit. Rangkaian penganiayaan ini menunjukkan bahwa ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya.
Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan femisida (femicide) sejak tahun 2017 melalui pemberitaan media yang dilakukan karena minimnya pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan. Terdapat anggapan bahwa korban yang telah meninggal dalam kasus serupa ini telah selesai urusannya dan selanjutnya hanya menjadi urusan aparat penegak hukum. Indonesia sendiri belum memiliki pemilahan data pembunuhan berdasarkan statistik femisida yang baru dibangun oleh UNODC PBB pada 2022.
“Hasil pemantauan menunjukkan bahwa terdapat pola-pola femisida yang berbeda dengan pembunuhan biasa atau homicide. Yaitu, disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau yang berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindari tanggungjawab karena menghamili, prostitusi terselubung, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam pacaran. Pelaku adalah orang-orang yang dikenal, orang dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, atau pelanggan dan perlakuan sadistis baik saat membunuh atau perlakuan terhadap jenazah korban. Dengan demikian femisida adalah eskalasi dari kekerasan berbasis gender yang berpotensi femisida,” ujar Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan.
Komnas Perempuan menganalisa putusan tentang kasus kematian yang terjadi pada perempuan. Dari 100 putusan pengadilan terkait kematian istri terdapat 15 kasus yang dikategorikan menjadi kasus femisida pasangan intim. Hasil analisa putusan pengadilan kasus pembunuhan terhadap perempuan menunjukkan 60% lokasi pembunuhan berada di rumah. Sedangkan pemantauan media daring terkait kasus pembunuhan perempuan pada Juni 2021-Juni 2022, ditemukan 307 kasus. Dari 307 total kasus yang ditemukan, terdapat 84 kasus femisida pasangan intim baik oleh suami atau mantan pasangan. Dari kajian dan pantauan ini Komnas Perempuan telah berhasilkan mendefinisikan dan mengkategorikan femisida sesuai dengan konteks Indonesia menjadi 9 (Sembilan) kategori.
Komisioner Rainy Hutabarat menyampaikan bahwa kekerasan berulang dan berkelanjutan dalam relasi personal berpotensi sebagai silent killer. Rainy menambahkan bahwa femisida merupakan bentuk tindak kekerasan yang paling ekstrim, oleh karena itu femisida umumnya didahului serangkaian kekerasan terhadap perempuan, baik menggunakan alat-alat tertentu maupun dengan kekuatan fisik seperti tangan dan kaki.
“Femisida belum dikenal secara umum, dan karena itu belum ada mekanisme upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban dan keluarganya. Oleh karena itu untuk mengenalkan femisida, Komnas Perempuan telah menyusun indikator potensi femisida dalam relasi intim yaitu adanya peningkatan ragam kekerasan, intensitas kekerasan fisik, peningkatan muatan kekerasan fisik dan kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, adanya penelantaran ekonomi, dan tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban,” jelas Rainy.
Dalam kasus femisida, khususnya berangkat dari kasus ini, Komnas Perempuan mendorong pihak kepolisian untuk: (i) Dengan sungguh-sungguh memastikan proses hukum pada tersangka utama berlangsung dengan akuntabel, juga kepada pihak-pihak lain yang mengetahui, membiarkan dan/atau turut dalam penganiayaan tersebut; (ii) Menggali fakta pengalaman kekerasan berbasis gender yang dialami korban harus dilakukan untuk menjadi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan secara proporsional dan (iii) Merujuk keluarga korban ke pusat layanan terpadu bagi perempuan dan anak yang saat ini tersedia di berbagai provinsi, kota dan kabupaten, untuk mendapatkan dukungan pemulihan. Pada tahapan jangka panjang, Komnas Perempuan mendorong POLRI dan BPS untuk membangun sistem data femisida sesuai dengan standar HAM agar femisida lebih dikenali, dapat dicegah dan ditangani. Sedangkan pada tatanan peraturan, adalah menjamin hak keluarga korban untuk mendapatkan restitusi.
Sementara untuk mengenali kondisi kekerasan dalam pacaran, Komnas Perempuan menghimbau agar pemerintah membangun kampanye-kampanye yang dapat mendorong warga turut mengambil langkah proaktif untuk mengenali adanya tindak penganiayaan. Juga, memastikan informasi mengenai kontak yang bisa dihubungi untuk mengakses pendampingan atau melaporkan kasus sehingga akibat-akibat fatal dapat dicegah.
Narahubung: Elsa (0813-8937-1400)