“Namai, Kenali dan
Akhiri Femisida”
Jakarta,07 Mei
2024
Komnas Perempuan menyampaikan
keprihatinan yang mendalam atas tewasnya perempuan pada sejumlah kasus
pembunuhan belakangan ini yang diberitakan media massa, di antaranya kasus
‘wanita dalam koper’ di Cikarang, ‘mutilasi Perempuan’ di Ciamis, dan ‘dibunuh
karena mengingau’ di Minahasa Selatan yang dikategorikan sebagai femisida.
Femisida sendiri adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau
gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender sebelumnya.
Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk menamainya sebagai femisida, dan merekomendasikan pemerintah membentuk femisida watch
untuk mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan
terhadap keluarga korban.
Retty Ratnawati, Komisioner Komnas
Perempuan, menyampaikan bahwa untuk mengatasi ketiadaan data nasional tentang
femisida Komnas Perempuan telah melakukan pantauan pemberitaan media online.
Hasilnya diinformasikan dalam CATAHU dan Laporan Femisida setiap 25 November
dengan tujuan menyebarluaskan pengetahuan tentang femisida dan mendorong para
pemangku kepentingan untuk mengambil berbagai tindakan untuk mendokumentasikan,
mencegah, menangani dan memulihkan keluarga korban femisida.
“Pantauan melalui pemberitaan memiliki
keterbatasan, karena femisida bisa tidak terdeteksi melalui kata kunci yang
digunakan, perbedaan waktu pemberitaan dengan waktu terjadinya femisida serta
tidak mendapatkan kontruksi kasus secara utuh, hanya didasarkan pada indikasi
dari informasi yang dituliskan oleh wartawan. Oleh karena itu, pemerintah harus
segera mengumpulkan, menganalisis dan mempublikasikan data statistik tentang
femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun
2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch,” jelasnya terkait pentingnya
femisida watch di Indonesia.
Kasus indikasi femisida yang kuat pada
2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 terpantau 237 kasus, pada 2022 terpantau 307
kasus dan pada 2023 terpantau 159 kasus yang indikator berkembang seiring
perkembangan pengetahuan tentang femisida. Pantauan setiap tahunnya menempatkan
femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami,
pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
Komisioner Rainy M Hutabarat
menambahkan selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida
juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna
jasanya dan mucikari, transpuan dan perempuan dengan orientasi seksual
minoritas. Karakteristik femisida intim bercirikan dengan adanya peningkatan
intensitas dan muatan kekerasan fisik, kekerasan psikis berupa ancaman
pembunuhan, penelantaran ekonomi dan tidak adanya lingkungan yang mendukung
untuk melindungi korban.
“Pembeda utama femisida dengan
pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi
oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan
maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian
atau pemutusan hubungan. Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas,
dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa
memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan.
Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi beberapa hari ini,” ujar Komisioner
Rainy Hutabarat.
Mengingat femisida intim menjadi jenis
femisida tertinggi, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengingatkan bahwa
relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi
Perempuan. Negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar
kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian. Secara
hukum, penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana
penghilangan nyawa atau tindak pidana yang menyebabkan kematian maka penting
pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motifnya dilakukan oleh kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan.
“Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi femisida dan membangun penilaian tingkat bahaya bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diperlukan. Agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan KDRT, ancaman dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual. Sehingga dalam menerapkan pasal-pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang mengakibatkan kematian pada perempuan korban, hukumannya diperberat,” pungkasnya.
Narahubung: Elsa Faturahmah
(081389371400)