...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Hari Bahasa Isyarat Internasional 2024

“Akses Layanan Bahasa Isyarat dan Perlindungan Hak Perempuan Tuli”

 

Jakarta, 23 September 2024

 

Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional yang diperingati setiap tanggal 23 September kembali menegaskan urgensi aksesibilitas layanan bahasa isyarat bagi komunitas Tuli. Peringatan tahun ini mengambil tema "Sign up for Sign Language Rights", menekankan pentingnya pemenuhan hak-hak komunitas Tuli, termasuk perempuan Tuli, dalam mengakses berbagai layanan bahasa isyarat sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang kritis, khususnya dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender.

 

Layanan bahasa isyarat merupakan kebutuhan dasar penyandang tuli dan pada konteks pemenuhan hak-hak asasi manusia, layanan bahasa isyarat berkait-paut langsung maupun tak langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar yang wajib dipenuhi pemerintah, di antaranya akses pada informasi dan pengetahuan, hak atas pendidikan, hak partisipasi sosial dan politik, hak atas sosial budaya, dan hak bebas dari diskriminasi. 

 

Bahasa isyarat merupakan salah satu temuan memperkaya ragam bahasa yang turut membangun peradaban yang inklusif termasuk pengetahuan berbasis kondisi ketulian. Bahasa ini  tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi internal di antara komunitas Tuli, tetapi juga berperan penting dalam menjembatani mereka dengan masyarakat luas, mampu terlibat secara signifikan dalam kehidupan sosial yang luas, mengembangkan diri dan penghidupan yang layak. Dalam konteks pencegahan kekerasan berbasis gender, keterbatasan akses pada layanan bahasa isyarat dapat menghambat kesempatan perempuan Tuli memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk perlindungan dari berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan dan berbagai perlakuan tak manusiawi. 

 

Dewasa ini, secara global adanya bahasa-bahasa isyarat relatif telah diketahui publik karena sebagian siaran berita televisi swasta maupun pemerintah di Indonesia maupun mancanegara telah menyediakannya. Sayangnya, pemenuhan layanan bahasa isyarat masih terbatas atau tidak tersedia pada bidang-bidang layanan publik lainnya termasuk lembaga pendidikan, organisasi penyedia layanan yang dikelola pemerintah maupun masyarakat sipil di daerah-daerah. Juga di kanal-kanal informasi media sosial.

 

Komisioner Ketua Bidang Advokasi Internasional Komnas Perempuan, Rainy M. Hutabarat, menegaskan bahwa penyandang Tuli memiliki kerentanan khusus di antaranya kondisi disabilitas “tidak terlihat” sehingga berpotensi mengalami diskriminasi berupa  isolasi  dan kekerasan. 

 

“Tanpa bahasa isyarat, terlebih tanpa “live/closed caption” termasuk di media sosial seperti youtube dan media virtual lainnya,   perempuan tuli mengalami hambatan dalam menerima pesan khususnya pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi dan mengenali ragam bentuk kekerasan untuk pencegahannya. Di sisi lain, minimnya akses  pada pengetahuan dan informasi mengakibatkan perempuan Tuli lebih rentan menjadi pihak yang tertinggal dan mengalami kekerasan dan perlakuan tak manusiawi. Tanpa bahasa isyarat, rekan Tuli juga menjadi pihak yang pasif atau tampak tidak peduli, selain semakin rentan mengalami pelecehan. Ketersediaan layanan bahasa isyarat yang layak  memungkinkan rekan Tuli memperoleh informasi dan pengetahuan lebih baik tentang hak-hak mereka dan menguatkan langkah-langkah pencegahan terhadap kekerasan berbasis gender," jelas Rainy.

 

Komisioner Komnas Perempuan Ketua Sub Komisi Pemantauan, Bahrul Fuad, menyoroti peran pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam mengembangkan sistem pembelajaran bahasa isyarat yang mudah diakses oleh masyarakat luas. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya regulasi yang mengatur standarisasi dan biaya layanan Juru Bahasa Isyarat (JBI). 

 

"Selama ini, biaya jasa Juru Bahasa Isyarat masih tergolong tinggi, sehingga banyak kegiatan publik seperti seminar atau webinar tidak mampu menyediakan layanan ini. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk menstandarkan biaya dan memastikan layanan ini terjangkau, sebagai wujud komitmen terhadap prinsip 'Nothing About Us without Us'," ujar Bahrul.

 

Sebagai salah satu amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, layanan bahasa isyarat merupakan hak yang harus dijamin oleh negara. Pemenuhan hak ini sangat penting, terutama bagi perempuan Tuli, untuk memastikan mereka tidak hanya memiliki akses terhadap informasi yang relevan, tetapi juga terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan.

 

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, juga menggarisbawahi bahwa bahasa isyarat harus diakui setara dengan bahasa lisan. 

 

"Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) mengharuskan negara untuk mempromosikan identitas linguistik komunitas Tuli serta memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak mereka," ujar Andy. 

 

Hal ini, menurutnya, menjadi langkah penting dalam memperkuat posisi komunitas Tuli, khususnya perempuan tuli dalam masyarakat.

 

Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional ini kembali mengingatkan semua pihak bahwa pemenuhan hak atas layanan bahasa isyarat bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga merupakan bagian integral dari upaya negara dalam mencegah kekerasan berbasis gender dan melindungi hak-hak perempuan Tuli di Indonesia.

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: