...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Hari Bhayangkara, 1 Juli 2022

Siaran Pers  Komnas Perempuan

Tentang Hari Bhayangkara, 1 Juli 2022



PENTINGNYA PENGUATAN KELEMBAGAAN POLRI UNTUK PELAKSANAAN UU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL (UU TPKS)



Dalam memperingati Hari Bhayangkara, 1 Juli 2022, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi sejumlah upaya maju yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam memberikan layanan, khususnya terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya pembentukan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA) yang kini tengah berproses menuju tingkat direktorat, dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informatika (SPPT-TI). 


Komnas Perempuan memandang penting penguatan kelembagaan Polri terutama untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang dimandatkan melalui UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) melalui (a) penguatan kapasitas polisi, khususnya menyangkut perspektif perempuan dan penyandang disabilitas dan penanganan perempuan korban kekerasan seksual, (b) afirmasi peningkatan jumlah polisi wanita (polwan) dan (c) penerbitan kebijakan-kebijakan internal sebagai pedoman pelaksanaan UU TPKS di institusi Kepolisian.


Komitmen Polri dalam upaya menjamin akses keadilan bagi perempuan korban, termasuk penyandang disabilitas, tampak pada penguatan pemberian layanan perlindungan hukum kepada  perempuan korban tindak pidana serta penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana terhadap perempuan melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Komnas Perempuan mencatat, pada 2020  telah tersedia 528 Unit PPA di seluruh Indonesia. Untuk lebih memperkuat daya kerjanya, Jenderal Kapolri Listyo Sigit Prabowo telah memutuskan Unit PPA dikembangkan menjadi Direktorat Khusus di tingkat Bareskrim dan Polda sebagai bagian dari program transformasi organisasi Polri. Komnas Perempuan mendukung langkah tersebut, untuk penguatan pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan juga membuka lebih banyak kesempatan bagi kepemimpinan perempuan di internal Polri. Berkait dengan ini, Komnas Perempuan juga mengapresiasi langkah kebijakan Kapolri dalam memberikan promosi kepada lebih banyak polisi wanita. 


Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, Polri bersama dengan tujuh Kementerian dan Lembaga Negara juga telah menandatangani Nota Kesepahaman Pedoman Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informatika (SPPT-TI) yang sejalan dengan bangunan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Konversi proses penanganan perkara ini diharapkan tidak hanya dapat mengoptimalkan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (APH), namun juga memudahkan perempuan korban kekerasan dalam mengakses keadilan melalui sistem peradilan pidana sekaligus memperluas penjangkauan.


Namun Komnas Perempuan juga mencatat, (1) sumber daya polisi yang tersedia saat ini sebagai awak UPPA masih belum dapat mengimbangi lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai ranah dan  kebutuhan penanganannya. CATAHU 2022 merekam, tahun 2021 terdapat 454.772 kasus kekerasan terhadap perempuan, di antaranya 4.660 kasus kekerasan seksual. CATAHU 2022 mencatat pada 2021, terdapat 10 kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari 6 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan dan 4 kasus dari lembaga layanan. Kondisi ini menjadi tantangan bagi Polri dalam melaksanakan UU TPKS. (2) Komnas Perempuan juga mencatat belum adanya data pilah kasus femisida atau pembunuhan perempuan berbasis gender. Karena femisida tak tampak dan tidak dikenal, maka korban dan keluarganya tidak mendapat keadilan dan langkah pencegahannya tak dapat dilakukan secara komprehensif dan (3) masih terdapat aparat penegak hukum yang belum berperspektif korban dan disabilitas.   


UU TPKS yang diundangkan pada 9 Mei 2022 menjadi hukum pidana khusus, baik pidana materiil maupun hukum acara pidananya. Pasal 4 Ayat (1) UU TPKS telah menjadikan 9 perbuatan seksual yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Perbuatan-perbuatan tersebut wajib diperiksa dan tidak dapat lagi menyatakan tidak adanya dasar hukum. Sedangkan Pasal 4 Ayat (2) UU TPKS telah menyatakan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di luar UU TPKS, hukum acara pidana dan perlindungan hak-hak korban tunduk pada hukum acara pidana penanganan TPKS yang bersifat khusus dari kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Kekhususan hukum acara khusus meliputi perluasan sistem pembuktian, tata cara pelaporan, penyelidikan dan penanganan serta mekanisme kerja terpadu bersama dengan lembaga layanan pemulihan korban. 


Hadirnya UU TPKS dengan mandat baru untuk institusi Kepolisian sebagai penyidik memerlukan sejumlah tindak lanjut. Selain penguatan kapasitas polisi khususnya dalam perspektif perempuan dan penyandang disabilitas serta penanganan perempuan korban kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS, juga dibutuhkan penambahan jumlah polisi wanita (polwan) dan peningkatan status unit PPA menjadi Direktorat. Seturut mandat UU TPKS, dalam waktu tak terlalu lama perlu dilakukan  sosialisasi UU TPKS dan menerbitkan pedoman penerapan UU TPKS di lingkungan Polri. 

Berdasarkan hal tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut:


  1. KemenPANRB untuk segera menyetujui pembentukan Direktorat PPA di Bareskrim Polri
  2. Kapolri untuk:
    • Mempercepat proses pembentukan direktorat PPA, penambahan jumlah polwan, dan penguatan kepemimpinan perempuan di kepolisian;  
    • Mengembangkan kebijakan pedoman penyelidikan untuk kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum;
    • Mensosialisasikan UU TPKS kepada penyelidik dan penyidik di seluruh Indonesia;
    • Memerintahkan penggunaan UU TPKS sebagai dasar pemeriksaan terhadap perbuatan seksual yang dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual;
    • Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi hukum dan menerbitkan pedoman Polri tentang penyelidikan dan penyidikan perkara TPKS dalam bentuk Peraturan Kapolri;
    • Meningkatkan koordinasi lintas APH (jaksa dan hakim) dan lembaga pemangku kepentingan terkait lainnya (UPTD PPA, Rumah Sakit, Lembaga Pengada Layanan berbasis masyarakat) dalam penguatan sinergi multi-stakeholder penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan;
    • Mengambil peran aktif dalam advokasi penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS khususnya yang terkait dengan tugas dan fungsi polisi sebagai  penyidik dalam penanganan perkara TPKS; dan
    • Meningkatkan kolaborasi dengan Komnas Perempuan, Akademisi, dan Lembaga Pengada Layanan dalam program-program peningkatan kapasitas polisi dalam perspektif perempuan dalam penanganan perkara PBH khususnya perkara kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan berbasis gender siber dan perempuan disabilitas.
  3. Kementerian PPA untuk bersama-sama membangun peningkatan kapasitas Polri tentang UU TPKS dan mekanisme kerja dengan lembaga pengada layanan korban.


Narasumber:

  1. Siti Aminah Tardi
  2. Rainy M Hutabarat
  3. Andy Yentriyani 

Narahubung: 0813-8937-1400


Pertanyaan / Komentar: