Siaran Pers Komnas Perempuan
Tentang Hari Lanjut Usia Internasional
Memperkuat Daya Lenting Perempuan Lansia dan Memastikan Hidup Bebas dari Diskrimnasi dan Kekerasan
1 Oktober 2022
Hari Lanjut Usia (Lansia) Internasional diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Pada tahun ini (2022), Komnas Perempuan merekomendasikan pentingnya baik negara maupun masyarakat memberikan perhatian khusus, terutama pada perempuan lansia agar bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Peringatan ini ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 46/106 pada 14 Desember 1990. WHO menetapkan bahwa lansia adalah warga yang telah berusia 60 tahun ke atas yang juga diadopsi Undang-Undang No, 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Kerentanan perempuan lansia terhadap kekerasan berbasis gender pada rentang usia 61-80 direkam dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 Komnas Perempuan. Tercatat pengaduan 127 perempuan lansia korban yang mengalami kekerasan di ranah domestik (100 orang), ranah publik (24 orang) dan ranah negara (2 orang). Sedangkan pengaduan ke lembaga layanan mencatat 47 perempuan lansia korban kekerasan, terdiri dari 42 orang di ranah domestik, 5 orang di ranah publik. Data ini menunjukkan bahwa bagi perempuan lansia, rumah tidak selalu menjadi ruang aman dalam kehidupannya. Padahal menurut Kementerian Sosial RI, mayoritas lansia tinggal bersama keluarga atau bersama tiga generasi dalam satu rumah. Rinciannya, 40,64% lansia tinggal bersama tiga generasi dalam satu rumah, 27,3% tinggal bersama keluarga, 20,03% tinggal bersama pasangan, kemudian 9,38 tinggal sendiri. Selain terjadi di ranah rumah tangga, kekerasan dapat terjadi di ranah publik dan negara. Bentuk kekerasan yang dialami diantaranya fisik, psikis, seksual dan ekonomi; baik penelantaran, eksploitasi finansial dan perampasan aset atau properti. Kemunduran kemampuan fisik dan psikis menyebabkan lansia tergantung terhadap keluarga untuk merawatnya. Kondisi ini berkelindan dengan bentuk diskriminasi lainnya seperti diskriminasi gender dan kondisi disabilitas. Perempuan lansia penyandang disabilitas menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan kekerasan.
Mitos bahwa perempuan menoupause – termasuk lansia – tidak menjadi sasaran kekerasan seksual mengakibatkan korban perempuan lansia dalam hal ini tidak mendapatkan perhatian khusus. Pemantauan media massa pada 2020 memberitakan 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan lansia, dengan usia tertinggi adalah 76 tahun. Pelaku kekerasan seksual adalah cucu, tetangga, orang asing dan suami dalam bentuk pemerkosaan dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Pada ranah negara, lansia rentan mengalami diskriminasi dalam hal berbagai akses layanan dan mengalami hambatan administrasi terutama dalam sistem digital. Bahkan terdapat hambatan dalam hal pendataan lansia dalam sistem BPJS.
Pada ranah negara, digitalisasi administrasi belum berperspektif lansia dan gender. Perempuan terlebih kelas ekonomi bawah umumnya belum melek teknologi digital karena beban kerja berlapis dalam rumah tangga. Masih terdapat perempuan lansia pensiunan yang terhambat dalam mengakses hak atas keuangan dan hak atas kesehatan karena kebijakan pemblokiran bila dalam waktu 3 bulan berturut-turut ia tidak melakukan transaksi pada rekening banknya atau tidak melakukan otentifikasi. Di sisi lain, BPJS juga perlu mengintegrasikan data pilah berperspektif lansia dan gender untuk mempermudah perempuan lansia mengakses layanan kesehatan. Komnas Perempuan mencatat, masih terdapat perempuan lansia peserta BPJS Kesehatan dengan penyakit kronis (hipertensi) yang datanya “sempat tidak ditemukan” padahal ia telah membayar rutin iuran BPJS.
Komnas Perempuan memandang, terdapat tantangan-tantangan berlanjut terkait perempuan lansia pada proses pemulihan pasca pandemi Covid-19 di Indonesia, yakni memperkuat daya lenting perempuan lansia serta hidup bebas dari diskriminasi dan kekerasan. Pemenuhan hak-hak lansia sebagaimana dimandatkan UU Kesejahteraan lanjut Usia dapat memperkuat daya lenting mereka untuk dapat hidup mandiri, mewujudkan potensi-potensi pribadinya dan bermartabat serta memastikan hidup bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Di sisi lain, UU No 13. Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang diperbarui dari UU sebelumnya No 4 Tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo, pada Bab II tentang Hak dan Kewajiban Pasal 5 dengan tegas dinyatakan (1) Lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi: a. pelayanan keagamaan dan mental spiritual; b. pelayanan kesehatan; c. pelayanan kesempatan kerja; d. pelayanan pendidikan dan pelatihan; e. kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum. f. kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; g. perlindungan sosial; h. bantuan sosial. Namun dalam pandangan Komnas Perempuan, UU Kesejahteraan Lansia perlu ditinjau-ulang dengan mengintegrasikan perspektif gender dan lansia dalam menyikapi tantangan-tantangan era digital dan kemiskinan.
Komnas Perempuan juga mendokumentasikan perempuan-perempuan korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah lansia dan ada yang menjadi disabilitas, di antaranya korban Tragedi 1965, yang perlu mendapat perhatian khusus.
Bertolak dari fakta di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:
- Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, BPS dan Lembaga Layanan Masyarakat melakukan pendokumentasian kekerasan berbasis gender terhadap perempuan lansia untuk menemu-kenali pola, pelaku dan bentuk kekerasannya
- Kementerian PPPA, agar mengintegrasikan perspektif lansia terhadap perempuan lansia dalam kebijakan pencegahan, penanganan dan pemulihan tindak pidana kekerasan seksual
- Mendorong Pemerintah membangun sistem administrasi khusus dan mudah diakses dan dipergunakan oleh lansia agar lansia tidak kehilangan hak-haknya karena digitalisasi administrasi.
- Mendorong DPR dan Pemerintah agar meninjau-ulang UU Kesejahteraan Lansia seturut tantangan-tantangan era digital khususnya kemiskinan dengan perspektif gender dan lansia.
- Pemerintah RI melalui Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (Tim PPHAM) agar memenuhi hak-hak perempuan lansia korban pelanggaran HAM masa lalu termasuk hak atas kebenaran, hak atas penanganan dan hak atas pemulihan yang komprehensif;
- Pemerintah Daerah agar mengintegrasikan perspektif lansia untuk memenuhi hak-hak lansia dalam anggaran belanja daerah, program dan regulasi serta kebijakan.
- Kementerian Kesehatan RI agar memperluas posyandu lansia dan aksesibilitas lansia ke layanan kesehatan termasuk kesehatan mental (puskemas, rumah sakit) dan melakukan intervensi kepada caregiver lansia dalam melakukan perawatan terhadap lansia
- Organisasi-organisasi agama dan organisasi masyarakat agar memperkuat layanan bagi para lansia di lingkungannya, membekali warganya dengan perspektif lansia dan membangun infrastruktur ramah lansia.
Narasumber:
1. Rainy M Hutabarat
2. Retty Ratnawati
3. Siti Aminah Tardi
4. Mariana Amiruddin
Narahubung: +62 813-8937-1400