Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Tentang Hari Penyandang Disabilitas Internasional, 3 Desember 2020
URGENSI MENGINTEGRASIKAN PERSPEKTIF DISABILITAS DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN DENGAN DISABILITAS
Jakarta, 3 Desember 2020
Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis terhadap kekerasan dan diskriminasi terutama karena gendernya dan kondisi disabilitas yang dipandang negatif. Kerentanan ini kerap dilapisi lagi dengan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang menempatkan perempuan penyandang disabilitas dalam posisi ketergantungan kepada orang lain. Kerentanan berlapis ini juga mempengaruhi perempuan dengan disabilitas korban kekerasan ketika berhadapan dengan hukum.
Sejak September hingga November 2020, Komnas Perempuan telah menyelenggarakan kajian cepat bertajuk Pemenuhan Hak Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual: Capaian dan Tantangan. Empat Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan lembaga-lembaga penyedia layanan/organisasi-organisasi disabilitas dan Kementerian/Lembaga negara telah diselenggarakan dalam rentang waktu tersebut untuk memetakan kekerasan yang dialami perempuan penyandang disabilitas, pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, hambatan-hambatan perempuan disabilitas korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan, capaian-capaian instrumen hak-hak asasi internasional, perundang-undangan serta peratuan-peraturan terkait perlindungan khusus perempuan dengan disabilitas dan pemenuhan hak dalam mengakses keadilan.
Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, tampak bahwa data kekerasan pada 2019 mengalami penurunan satu kasus dari tahun 2018, tetapi khusus untuk kekerasan seksual mengalami kenaikan secara konsisten sejak 2017. Dari data yang sama diketahui bahwa ragam disabilitas paling rentan mengalami kekerasan pada 2018 dan 2019 adalah ragam disabilitas intelektual, disusul disabilitas tuli wicara dan disabilitas psikososial. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa ketiga ragam disabilitas itu memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan ragam lainnya. Meski dasarnya setiap ragam disabilitas rentan menjadi korban kekerasan sehingga penting membangun skema pelindungannya namun perlu mengembangkan kebijakan pelindungan yang lebih ketat dan kuat bagi penyandang disabilitas intelektual, tuli wicara, dan psikososial agar terhindar dari kekerasan di lingkungannya.
Komnas Perempuan juga memetakan hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses keadilan yang bersumber dari keluarga, masyarakat, aparat penegak hukum bahkan petugas pengada layanan maupun keterbatasan payung hukum sendiri: (1) Keluarga dan masyarakat tak memandang penting kekerasan seksual yang dialami perempuan penyandang disabilitas. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa penyandang disabilitas adalah aseksual (tak memiliki hasrat seksual); Di samping itu, keluarga juga merasa malu melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dengan disabilitas dan pesimis aparat penegak hukum akan menangani kasusnya; (2) Masih banyak petugas layanan dan aparat penegak hukum yang belum memahami keragaman disabilitas dan kebutuhan-kebutuhan khususnya; (3) Keterbatasan payung hukum yang mengenali berbagai kasus kekerasan seksual dan sistem pembuktian, seperti metode pengambilan kesaksian dan kekuatan pembuktian dari disabilitas intelektual dan psikososial yang diragukan ingatannya; (4) Tidak terintegrasinya sistem peradilan pidana dengan sistem pemulihan korban untuk penyandang disabilitas.
Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) melalui Undang-Undang No 19 Tahun 2011 disusul pengesahan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas merupakan tonggak penting dalam pemenuhan, pelindungan dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya perempuan dengan disabilitas. Kedua instrumen hak asasi penyandang disabilitas ini telah mengubah istilah penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas yang menekankan aspek berbagai hambatan serta pemenuhan berbasis hak yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus seturut jenis disabilitasnya.
Terkait perlindungan dan akses keadilan bagi perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual, Pasal 5 ayat (2) huruf d UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur bahwa perempuan dengan disabilitas berhak untuk mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Ketentuan UU Penyandang Disabilitas ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan, yang memberikan kewajiban dan panduan bagaimana pengadilan menyediakan akomodasi layak yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Selain melalui PP Akomodasi Layak, dalam memeriksa perempuan yang berhadapan dengan hukum, Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma 3/No. 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang memberikan panduan hakim untuk melakukan asesmen kebutuhan PBH penyandang disabilitas dan Perma 4 No. Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik merupakan bagian dari perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dengan disabilitas korban kekerasan. Namun, langkah maju yang telah tersedia tersebut masih harus didorong implementasinya di seluruh Tanah Air.
Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2020 bertema “Building Back Better: toward a disability-inclusive, accessible and sustainable post COVID-19 World” berkait-paut dengan kondisi perempuan dengan disabilitas yang semakin rentan mengalami kekerasan karena situasi pandemi berkepanjangan. Komnas Perempuan memberikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada individu, keluarga dan organisasi penyedia layanan yang telah dan terus mendorong pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Bertolak dari rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan lembaga-lembaga penyedia layanan/organisasi-organisasi disabilitas dalam diskusi-diskusi kelompok terfokus, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:
- DPR RI untuk menjadikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas Prolegnas 2021 yang mengintegrasikan hak-hak korban kekerasan seksual penyandang disabilitas;
- Institusi Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan dan Mahkamah Agung) untuk melaksanakan UU Penyandang Disabilitas dan PP Akomodasi yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan, termasuk peningkatan kapasitas tentang keragaman disabilitas dan kebutuhan-kebutuhan khususnya;
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengeluarkan kebijakan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga-lembaga pendidikan dengan mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan khusus penyandang disabilitas korban kekerasan;
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) untuk mengarusutamakan perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan keragaman disabilitas serta kebutuhan-kebutuhan khususnya kepada P2TP2A dan organisasi-organisasi penyedia layanan;
- Kementerian Sosial (Kemensos) mendorong mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya bagi disabilitas psikososial di rumah sakit jiwa dan panti rehabilitasi;
- Organisasi masyarakat sipil untuk giat mendorong sosialisasi dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Narasumber Komisioner:
Rainy Hutabarat
Bahrul Fuad
Siti Aminah Tardi
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)
Silahkan mengunduh
Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Hari Penyandang Disabilitas Internasional (3 Desember 2020)
Sumber ilustrasi