...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja Kemenkop UKM

Siaran Pers Komnas Perempuan

Tentang Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja Kemenkop UKM

 

Jakarta, 30 Oktober 2022

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan berulangnya praktik pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan dan dihentikannya  proses hukum atas tindak pidana perkosaan di lingkungan kerja Kemenkop UKM oleh pihak kepolisian. Penyelesaian perkosaan yang menimpa pegawai honorer Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa kekerasan berlapis yang dialami korban  yaitu  perkosaan, pemaksaan perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan di dunia kerja. Pemaksaan perkawinan yang kemudian menjadi alasan dilakukannya penyelesaian melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) justru menjauhkan  korban dari akses atas keadilan dan pemulihan, menempatkan korban pada situasi kekerasan, menyebabkan impunitas pada pelaku dan menormalkan kekerasan seksual.

 

Pemaksaan perkawinan adalah jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan. Kasus pemaksaan perkawinan juga sering dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual yang tujuannya adalah untuk menutupi aib kedua keluarga, agar anak yang dilahirkan korban memiliki ayah, atau untuk menghindari tanggungjawab pidana/hukuman pidana. Modus perkawinan ini karena korban dan keluarga korban terpojokkan dengan beban menanggung stigma aib akibat perkosaan itu.   

 

Disisi lain, korban karena posisinya yang subordinat sebagai perempuan maupun anak perempuan terpaksa mengikuti keputusan yang diambil oleh keluarga dengan alasan nama baik atau harapan bahwa pelaku mau bertanggung jawab pada diri korban ataupun anak yang akan dilahirkan. Padahal, pasca pemaksaan perkawinan korban justru beresiko kembali mendapatkan kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran dalam lingkup rumah tangga. Dengan demikian, tindakan mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan selain hanya meneguhkan impunitas pelaku juga menjerumuskan perempuan korban perkosaan dalam rantai kekerasan. 

 

Situasi inilah yang mendorong Komnas Perempuan bersama masyarakat sipil mendesakkan agar tindakan mengawinkan perempuan korban dengan pelaku kekerasan sebagai sebuah tindak pidana. Desakan ini telah diakomodir dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada Pasal 10 yang menyatakan:

 

(l) Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.00O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah). 

 

(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. perkawinan anak; b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.

 

Walau UU TPKS berlaku per 09 Mei 2022, dan tidak dapat menjangkau peristiwa pemaksaan perkawinan dalam kasus ini. Namun, hak kosntitusional perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi tetap melekat, sehingga pemulihan yang menyeluruh atas tindak pemaksaan perkawinan itu harus dipenuhi oleh negara.

 

Terkait dengan perkosaan terhadap korban yang dilakukan oleh 4 orang dengan dibantu 3 orang lainnya, maka perkosaan ini dapat dikategorikan sebagai gang rape, merupakan bentuk perkosaan dengan dampak psikologis panjang pada korban. Terlebih hal ini terjadi di lingkungan kerja yang menunjukkan perempuan di dunia kerja memiliki kerentanan, karena jenis kelaminnya sebagai perempuan dan posisinya sebagai pegawai honorer. Jika merujuk pada Pasal 285 KUHP, di mana perkosaan dikategorikan sebagai delik biasa dengan ancaman paling lama 12 tahun, maka penyelesaiannya haruslah melalui sistem peradilan pidana dan secara administratif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, menurut informasi keluarga korban penyidik justru memfasilitasi pemaksaaan perkawinan dan karenanya tindak pidan ini dinilai selesai dan diterbitkan SP3 atau dinyatakan sebagai restorative justice.

 

Sesungguhnya tindakan mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan tidak dapat menjadi bagian dari restorative justice. Secara konseptual restorative justice dimaksudkan bukan untuk menghilangkan pertanggungjawaban hukum dari pelaku, bahkan menuntut agar pelaku betul-betul menyadari dan mempertanggungjawabkan kejahatannya itu, tetapi tidak dengan bentuk penghukuman penjara semata dan tidak menghentikan proses hukumnya. Pengalaman penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan cara ini pula yang kemudian mendorong adanya pengaturan Pasal 23 dalam UU TPKS bahwa untuk tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukannya penyelesaian di luar proses peradilan.

 

Dengan mendasarkan situasi yang telah dipaparkan di atas, maka Komnas Perempuan menyatakan:

  1. Mendukung dan menyampaikan solidaritas terhadap Korban dan Keluarga Korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan
  2. Menghormati langkah Kementerian Koperasi dan UKM yang membentuk Tim Independen untuk menyelidiki kasus ini dan merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan  menyeluruh kemungkinan peristiwa serupa terjadi dalam kegiatan lainnya dan menyusun kebijakan internal untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan Kemenkop UKM sebagai bagian dari pelaksanaan UU TPKS untuk membentuk lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual
  3. Mendukung upaya hukum praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan untuk memberikan ruang dibukanya kembali proses penyidikan kasus ini.
  4. Merekomendasikan kepada Kapolri untuk melakukan kaji ulang pada kebijakan Penyelesaian Perkara Melalui Keadilan Restoratif yang tidak mempertimbangkan kekhusuan kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan melengkapinya dengan pedoman untuk penyelidikan dan penyidikan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dengan mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sehingga lebih memampukan akses keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban, khususnya korban perkosaan. 
  5. Menghimbau media dan masyarakat untuk terus mendukung korban dan keluarga korban, di antaranya dengan tidak membebani korban dengan stigma aib. 

 

Narasumber:

1.     Siti Aminah Tardi

2.     Alimatul Qibtiyah

3.     Theresia Iswarini

4.     Olivia C. Salampessy

 

Narahubung: 0813-8937-1400


Pertanyaan / Komentar: