Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Kekerasan terhadap Transpuan
Tegakkan Hak untuk Hidup dan Bebas dari Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Transpuan
Jakarta, 6 Mei 2020
Diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan terus berlanjut di masa pandemi COVID-19. Setelah kasus Mira yang dibakar atas tuduhan mencuri (4 April 2020) beredar video prank oleh Ferdian Paleka yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Di masa normal, transpuan mengalami berbagai diskriminasi, persekusi dan kekerasan yang membatasi ruang-ruang hidupnya. Di masa pandemi COVID-19 dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Tanah Air, ruang-ruang hidup mereka yang sempit itu, semakin sempit.
Angka kekerasan terhadap transpuan meningkat dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2018 tercatat 5 kasus pembunuhan terhadap transpuan dan sepanjang tahun 2019 sebanyak 6 transpuan dibunuh (Arus Pelangi 2019). Pada 2019 terdapat 45 perda diskriminatif terhadap transpuan (GWL INA, 2019). Data ini menggambarkan bahwa transpuan tak memiliki hak hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan praktik-praktik diskriminasi yang terus dialami oleh kelompok transpuan dan mengingatkan agar seluruh pihak menghormati, memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan perlindungan yang setara kepada transpuan, termasuk penghapusan kekerasan terhadap transpuan.
Komnas Perempuan mengingatkan kembali bahwa Konstitusi Republik Indonesia telah menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM dalam satu bab khusus tentang HAM yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Terkait dengan hak transpuan, UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Pasal; 28A). Pasal 28I menyatakan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Selain hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945, Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Pengesahan konvensi tersebut mewajibkan Negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap transpuan. Masuknya transpuan dalam lingkup pelaksanaan Konvensi ini ditegaskan dalam rekomendasi Komite CEDAW PBB No.28 yang mengakui bahwa “diskriminasi perempuan berdasarkan jenis kelamin dan gender terkait erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perempuan, seperti ras, etnis, agama atau kepercayaan, kesehatan, status, usia, kelas, kasta, dan orientasi seksual serta identitas gender.” Dengan demikian, kelompok transpuan berhak atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasinya dalam perundang-undangan maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Komnas Perempuan mencatat bahwa kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mendapatkan diskriminasi dan kekerasan, karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasi kelompok transpuan dari ekspresi gendernya dan orientasi seksualnya yang dilegitimasi dengan ajaran-ajaran agama menurut tafsir mereka. Bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan diantaranya adalah: (i) Pengusiran transpuan dari rumah, atau komunitas sekitarnya; (ii) Sulit dalam akses administrasi kependudukan, baik dalam birokrasi kepengurusannya maupun pilihan gender mereka; (iii) Stereotype bahwa transpuan adalah sampah masyarakat dan penyakit sosial; (iv) Perundungan (bullying) dengan menjuluki mereka dengan olok-olok yang berkonotasi melecehkan seperti “bencong” atau “banci”. Kondisi tersebut menyebabkan ruang hidup untuk berkembang mencapai kehidupan yang layak menjadi sangat menjadi sempit, sehingga mengalami pemiskinan yang pada akhirnya berujung dengan kehidupan jalanan. Dalam situasi pandemic COVID-19 ruang hidup transpuan bukan hanya semakin sempit tetapi kualitas hidup mereka sebagai bagian dari kelompok rentan juga menurun.
Komnas Perempuan menilai konten video prank dengan menjadikan transpuan sebagai sasaran olok-olok adalah bentuk kekerasan psikis terhadap mereka sekaligus diskriminasi. Prank tersebut juga tidak menunjukkan empati sekaligus memanfaatkan kebutuhan situasi dan kondisi kelompok rentan yang membutuhkan bantuan sosial untuk mempertahankan hidup. Rasa keadilan masyarakat terusik oleh konten video prank tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, Komnas Perempuan menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendukung Poltabes Bandung untuk mengusut video prank tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Mendorong pemerintah agar menghapus perda-perda dan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap transpuan di semua lembaga pemerintahan untuk mengukuhkan hak-hak konstitusional transpuan;
- Memberikan apresiasi kepada masyarakat atas solidaritasnya kepada kelompok transpuan dan berharap menjadi awal untuk terus memberikan perlindungan, dan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan;
- Mengimbau para youtuber untuk membangun konten kreatif berperspektif kemanusiaan dan perdamaian yang berkontribusi terhadap penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk transpuan.
Narasumber Komisioner:
Siti Aminah Tardi
Rainy Hutabarat
Dewi Kanti
Narahubung:
Yulita (08562951873)
link unduh dokumen