...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Kongres Perempuan Nasional 2023

"Dorong Kebijakan Adil Gender dan Bebas Kekerasan terhadap Perempuan"

 

Semarang, 26 Agustus 2003

 

 

Komnas Perempuan menyambut baik dan mengapresiasi hasil rekomendasi Kongres Perempuan Nasional terkait dorongan diterbitkannya kebijakan yang adil gender dan bebas kekerasan terhadap perempuan sebagai syarat penting pengembangan kepemimpinan perempuan. Mengangkat tema Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan Menuju Satu Abad Indonesia, Kongres Perempuan dilaksanakan pada 24-26 Agustus 2023 di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

 

Kongres Perempuan mendorong diterbitkannya kebijakan dan aturan pelaksanaan yang melindungi dan mengakomodir hak-hak dasar perempuan berbasis pada pengalaman dan kebutuhan perempuan, termasuk melalui percepatan perumusan aturan pelaksana Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan pembentukan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian, serta pengesahan Rancangan Undang Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga.

 

“Percepatan aturan pelaksana UU TPKS sangat penting dan perlu juga ada harmonisasi peraturan daerah untuk lembaga layanan. Hal ini mengingat data Komnas Perempuan dari 128 pengada layanan, hanya 30% yang memfasilitasi rumah aman dan pemulihan psikis, sementara hanya ada 10% yang memiliki afirmasi pada kondisi khusus baik disabilitas, lansia, perempuan HIV/AIDS, dan lain-lain,” jelas Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat mengisi Sidang Komisi III Kongres Perempuan (24/8).

 

Rekomendasi yang ditegaskan oleh semua pihak adalah kebutuhan untuk penguatan layanan bagi perempuan korban kekerasan dalam berbagai lapis persoalan yang dihadapi. Penguatan yang dimaksud termasuk infrastruktur layanan, alat kerjanya, standar prinsip, Standar Operasional Prosedur (SOP) dan monitoring-evaluasi.

 

“Kegelisahan peserta Kongres tentang maraknya kekerasan seksual di lingkungan pesantren atau Pendidikan keagamaan serta kerja Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual (Satgas PPKS) di lingkungan pedidikan tinggi menunjukkan urgensi dari penguatan monitoring dan evaluasi. Komnas Perempuan akan menggunakan MoU dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama untuk mengatasi hal ini,” pungkasnya.

 

Adapun aturan pelaksana UU TPKS yang tengah dirancang adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RPP tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan di Pusat, RPerpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, RPerpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan RPerpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.

 

“Terkait penguatan payung hukum, seperti soal perempuan pekerja, harus dipastikan adanya penguatan kapasitas terkait pengetahuan interseksionalitas, termasuk terkait perempuan disabilitas lansia yang tinggal di pedesaan. Untuk itu perlu dipastikan bahwa hukum menjadi alat transformasi sosial, memastikan perubahan budaya di dalam masyarakat, termasuk dalam memasukkan materi dalam bahan ajar, serta perlu memastikan tidak adanya kultur yang menyalahkan korban dan adanya ruang akuntabilitas sosial. Peran masyarakat dalam pencegahan, penanganan, pemulihan dan pengawasan dalam implementasi UU TPKS perlu diperkuat,” jelas komisioner Maria Ulfah Anshor.

 

Komnas Perempuan juga memandang penting pembentukan Direktorat PPA untuk daya jangkau penanganan yang lebih luas, serta diikuti dengan ditambahnya kuota perekrutan polisi wanita dengan pelatihan yang baik. Hal ini penting mengingat UU TPKS mensyaratkan bahwa pemeriksaan dilakukan oleh petugas yang berjenis kelamin sama dengan korban.

 

“Kita juga perlu memberikan perhatian lebih pada jaminan untuk Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) dan memperhatikan kebutuhan pendamping. Termasuk di dalam amanat UU TPKS bahwa mereka tidak boleh digugat baik perdata maupun pidana atas kasus yang didampinginya,” tegas Maria.

 

Narahubung: Elsa (0813-8937-1400)


Pertanyaan / Komentar: