...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Laporan Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian (FEMISIDA)

"Namai, Hitung-Pilah dan Akhiri Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian (FEMISIDA)"

 

 

Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2023, Komnas Perempuan menyampaikan Laporan Femisida 2023 dan mengajak semua pihak untuk menamai pembunuhan dan kematian perempuan berlatar belakang kekerasan berbasis gender sebagai femisida. Juga, menghitungnya melalui pendokumentasian pilah gender dan motif pembunuhan femisida, meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan korban dalam mengidentifikasi potensi femisida dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, serta  mengembangkan penelitian agar isu femisida semakin dikenali dan dapat berkontribusi pada upaya-upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan dampak femisida pada keluarga yang ditinggalkan. 

 

Pesan mengenai femisida ini disampaikan Komnas Perempuan secara khusus dalam diskusi publik pada hari Selasa, 5 Desember 2023. Diskusi ini diselenggarakan dalam kerja sama dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), Bareskrim Polri Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Uni Eropa melalui Program Spotlight Initiative. 

 

Dalam sambutannya, Jamshed M. Kazi, UN Women Indonesia Representative and Liaison to ASEANmenyatakan bahwa pembunuhan terhadap perempuan berdasarkan gender dipengaruhi oleh ideologi yang menganggap perempuan tidak berharga hanya karena mereka tidak mematuhi norma sosial yang berlaku di masyarakat, norma-norma mengenai maskulinitas, dan relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

 

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengakhiri femisida dengan mengubah peran gender tradisional dan ketidaksetaraan yang dapat mendorong kekerasan terhadap perempuan, tuturnya.

 

Sementara Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyatakan bahwa meski istilah femisida secara khusus baru menjadi bagian dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2017, isu femisida bagi Komnas Perempuan tidaklah asing. Hal ini  karena pembunuhan perempuan menjadi seolah tidak terelakkan dalam situasi konflik, termasuk dalam Tragedi Mei 1998 yang menjadi latar kelahiran Komnas Perempuan. Dalam konteks femisida, pembunuhan terhadap perempuan tidak bisa dilihat sebagai satu pembunuhan biasa, pun juga tidak semua pembunuhan terhadap perempuan dapat kita kategorisasikan sebagai femisida. 

 

“Oleh karenanya Komnas Perempuan terus mengembangkan pengetahuan tentang femisida, termasukdengan mengenali femisida tidak langsung, seperti bunuh diri yang dilakukan oleh korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban kekerasan seksual,” jelasnya.

 

Melanjutkan upaya kajian tentang femisida sejak 2021, laporan Femisida 2023 masih didasarkan pada pantauan pemberitaan media daring. Hal ini karena data terpilah tidak tersedia di institusi hukum.  Ini salah satu indikasi bahwa femisida belum dikenali oleh penyelenggara negara, maupun publik luas.

 

Dari proses penyaringan pemberitaan sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023, terdapat 159 pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida, di antaranya adanya eskalasi kekerasan, kekerasan berulang dan berlapis, maskulinitas yang toksik, dan relasi kekuasaan yang berkekerasan. Pantauan juga mengikutsertakan pantauan terhadap bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan sebagai akibat kekerasan berbasis gender terhadapnya.

 

“Femisida terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jenis femisida intim menempati pemberitaan tertinggi yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi yang mencapai 67% dari keseluruhan kasus femisida diberitakan,” papar Komisioner Siti Aminah Tardi. 

 

Lebih lanjut Siti menjabarkan bahwa femisida kedua yang tinggi yaitu Femisida Non Intim, yang dilakukan oleh tetangga, orang tidak dikenal, teman, kakak kelas dan sopir angkot terkait dengan motivasi untuk melakukan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) pelaku kepada korban, di mana korban menyatakan penolakan atau melakukan perlawanan. Femisida jenis lainnya yang terjadi yaitu Femisida oleh Anggota KeluargaFemisida di Industri Seks, Femisida terhadap Penyandang DisabilitasFemisida di Wilayah Konflik dan Femisida dengan Tuduhan Guna-Guna. Paparan ini juga mengingatkan bentuk-bentuk KBG khususnya KDRT berpotensi femisida, yang harus dicegah sebelumnya terjadi.

 

Laporan  2023 juga memasukkan Bunuh Diri Akibat Kekerasan Berbasis Gender (gender base violenceinstigated suicide), sebagai bentuk femisida tidak langsung. Pantauan terhadap bunuh diri akibat KBG ini menjadi penting sebagai upaya refleksi atas pencegahan, penanganan dan pemulihan korban. Dalam kasus tertentu, korban dimungkinkan telah melaporkan kekerasan yang dialaminya institusi penegak hukum  atau layanan korban sebelum bunuh diri. 

 

Komisioner Rainy Hutabarat menyampaikan bahwa pada tahun 2023, dari 136 pemberitaan bunuh diri, terdapat 12 kasus yang mengindikasikan perempuan yang bersangkutan adalah korban KBG, yaitu 9 kasus kekerasan terhadap istri, 1 kasus korban kehamilan yang tidak diinginkan, 1 kasus penelantaran terhadap pekerja rumah tangga yang sakit, dan 2 korban dari penyebaran konten intim non konsensual. 

 

“Dalam kasus bunuh diri secara umum, para korban tidak memiliki support system dan  keluhannya bahwa ia ingin bunuh diri, tidak ditanggapi sebagai  kebutuhan untuk pemulihan mental. Beberapa di antaranya bahkan pernah mencoba bunuh diri beberapa kali namun berhasil dicegah. Ini menunjukkan adanya pengabaian atau ketidaktahuan dalam konteks rumah tangga.” jelasnya(Laporan selengkapnya di tautan ini).

 

Dalam tanggapan, Yuniyanti Chudzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2009-2014 mengingatkan adanya kerentanan khusus perempuan pekerja migran pada femisida berupa interseksi antara gender, kelas sosial dan identitas kewargaan. 

 

“Kerentanan perempuan pekerja migran terhadap kekerasan berbasis gender dan femisida di tempat kerjanya, bersifat khas dan perlu dikenali,” ungkapnya.  


Sementara Emma Rahmawati, Ketua UPPA Bareskrim Polri melalui saluran zoom menyampaikan pentingnya kolaborasi antar berbagai pihak untuk mencegah agar femisida sebagai puncak KDRT, termasuk oleh penyidik di UPPA. Di antaranya melalui mengefektifkan mekanisme perlindungan sementara yang telah dijamin dalam UU PKDRT dan UU TPKS. Mekanisme ini dapat berjalan optimal, jika prasyarat penting seperti  ketersediaan rumah aman, pendamping korban serta mekanisme kolaborasi tersedia di setiap kota. Sedangkan Kemen-PPPA melalui analis kebijakan Agus Wiryanto, menyampaikan mekanisme pencatatan dan sejumlah layanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang telah tersedia dan dikelola oleh Kemen-PPPA yang dimungkinkan di kemudian hari menyasar pula pada kasus-kasus femisida.

 

Narahubung: Elsa (+62 813-8937-1400)


Pertanyaan / Komentar: