”Perlindungan Terhadap Penyampaian Pendapat, Ekspresi dan Kritik yang Dilakukan Secara Konstitusional Merupakan Kewajiban Negara”
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah membentuk tim respon cepat untuk melakukan penyikapan mendesak terhadap peristiwa kekerasan yang terjadi dalam rangkaian aksi unjuk rasa dan pasca unjuk rasa yang terjadi pada 25 Agustus-11 September 2025. Hal tersebut dilakukan dalam kerangka menjalankan 2 dari 5 mandat Komnas Perempuan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 65/2005 yang diperbarui Perpres 8 tahun 2024 untuk Komnas Perempuan yaitu 1) Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan; 2) Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan. Tim Respon Cepat Komnas Perempuan menjalankan tugas yang meliputi pemantauan lapangan, pemantauan dan verifikasi media, penerimaan pengaduan, dukungan pemulihan awal, serta koordinasi dengan lembaga HAM negara dan jaringan masyarakat sipil.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa seluruh langkah respon cepat yang dijalankan berpijak pada kerangka konstitusi UUD 1945 telah menetapkan hak-hak dasar, seperti hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, kebebasan berpikir, beragama, serta pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum (Pasal 28I ayat 1). Konstitusi juga menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat (Pasal 28E ayat 3), serta hak atas perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan rasa aman (Pasal 28G ayat 1).
Lebih jauh, negara terutama pemerintah berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM (Pasal 28I ayat 4), yang harus dijalankan dalam kerangka negara hukum yang demokratis melalui peraturan perundang-undangan (Pasal 28I ayat 5). Dalam kerangka inilah Komnas Perempuan bekerja, memastikan hak-hak konstitusional warga, terutama perempuan yang menghadapi kekerasan dan diskriminasi, benar-benar dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.
Temuan sementara mengindikasikan adanya pola berulang berupa penggunaan kekuatan berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, serta intimidasi termasuk yang secara khusus menyasar perempuan melalui kekerasan berbasis gender. Perempuan yang ditangkap juga menghadapi stigma dan kesulitan dalam memperoleh pendampingan. Selain itu, Komnas Perempuan menemukan adanya penyebaran hoaks kekerasan seksual yang digunakan sebagai alat teror untuk menciptakan ketakutan di ruang publik dan pada saat yang sama membungkam suara perempuan.
Komnas Perempuan menyampaikan duka mendalam kepada keluarga korban yang kehilangan nyawa dalam rangkaian peristiwa kekerasan ini, serta keprihatinan dan solidaritas bagi mereka yang mengalami luka, baik dari kalangan warga maupun aparat kepolisian. Di saat yang sama, Komnas Perempuan juga menyayangkan terjadinya perusakan fasilitas umum dan penjarahan yang semakin menambah penderitaan masyarakat.
Komnas Perempuan menekankan bahwa Indonesia, sebagai negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984, memiliki kewajiban internasional untuk melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk dalam ruang publik dan politik. Kewajiban ini dipertegas dalam Rekomendasi Umum CEDAW No. 30 yang menyoroti perlindungan perempuan dalam situasi konflik dan keamanan publik, serta Rekomendasi Umum No. 35 yang menegaskan bahwa kekerasan berbasis gender adalah bentuk diskriminasi serius yang wajib dicegah, ditindak, dan dipulihkan oleh negara.
Secara khusus Komnas Perempuan mengapresiasi kepemimpinan perempuan dalam aksi demonstrasi damai, baik sebagai mahasiswa, pekerja, ibu-ibu penyokong logistik, maupun perempuan pembela HAM, yang menunjukkan keteguhan dan solidaritas di tengah represi. Perempuan hadir di garis depan dalam mengorganisir dan memastikan suara rakyat terus menggema, sebagai bukti nyata kontribusi mereka dalam memperkuat demokrasi. Pada saat yang sama, Komnas Perempuan menegaskan keprihatinan atas praktik penangkapan sewenang-wenang yang menyasar warga sipil maupun pembela HAM hanya karena menyuarakan pendapatnya, dengan alasan penghasutan atau provokasi yang kerap digunakan untuk membungkam kritik.
Untuk itu Komnas Perempuan mendesak:
Hentikan praktik represif - Negara perlu segera mengakhiri penangkapan sewenang-wenang, sweeping yang meresahkan, termasuk segala bentuk teror ancaman kekerasan seksual.
Lindungi hak warga dalam menyampaikan pendapat - Negara wajib menjamin setiap orang dapat berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat secara damai tanpa rasa takut, termasuk di ruang-ruang digital sesuai mandat konstitusi dan standar HAM.
Jamin hak atas informasi - Akses publik terhadap informasi harus tetap dijamin, tanpa pembatasan akses internet dan sosial media yang justru menghambat informasi dan memperparah kerentanan korban.
Pastikan kepatuhan pada prinsip HAM - Kapolri perlu memastikan seluruh jajaran kepolisian bekerja sesuai dengan standar HAM, sementara TNI dikembalikan pada fungsi utamanya di bidang pertahanan tanpa mencampuri urusan sipil.
Lindungi pembela HAM - Negara harus membebaskan pembela HAM yang ditahan dan menghentikan kriminalisasi mereka, termasuk perempuan pembela HAM, yang kerap dituduh dengan dalih penghasutan atau provokasi.
Sediakan pemulihan yang berperspektif korban - Negara wajib menyediakan layanan pemulihan bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan terdampak, mencakup aspek fisik, psikologis, hukum, dan sosial-ekonomi dengan pendekatan yang responsif gender.
Perkuat akuntabilitas dan transparansi - Penting dibentuk tim independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, termasuk kekerasan berbasis gender, dengan jaminan hasilnya ditindaklanjuti secara terbuka.
Perbaikan tata kelola pemerintahan - Pemerintah bersama DPR RI harus menjawab tuntutan publik dengan langkah nyata yang menunjukkan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran, pelaksanaan program, dan integritas pejabat negara, demi memulihkan kepercayaan masyarakat.
Penggunaan kekuatan oleh aparat kepolisian haruslah terukur dan proporsional sejalan dengan prinsip-prinsip legalitas, nesesitas atau kebutuhan, dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Mendorong Kepolisian untuk mempertimbangkan pembebasan tiga perempuan berinisial L, F, dan G yang masih ditahan. Kondisi mereka menunjukkan kerentanan yang dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum, mulai dari keterbatasan pemahaman hukum, posisi ketergantungan dalam keluarga, hingga peran sebagai ibu yang harus meninggalkan anak. Situasi ini juga menimbulkan dampak psikologis dan sosial berupa trauma, stigma, doxing, serta ancaman terhadap keamanan keluarga, yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam mencari penyelesaian yang adil dan manusiawi.
Polri agar segera membebaskan para tahanan yang belum ditetapkan sebagai tersangka dan /atau melakukan penangguhan penahanan bagi tersangka secepatnya, serta melindungi dan menegakkan KUHAP dan aturan perundang-undangan lainnya.
Baca juga: Lembar Fakta Temuan dan Laporan Komnas Perempuan atas Penanganan Negara dalam Aksi Demonstrasi Massa