...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Memperingati Hari Internasional Menentang Hukuman Mati, 10 Oktober (Jakarta, 11 Oktober 2021)

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Memperingati Hari Internasional Menentang Hukuman Mati, 10 Oktober

 

HUKUMAN MATI PUNCAK TERTINGGI KEKERASAN BERBASIS GENDER TERHADAP PEREMPUAN: HAPUSKAN DEMI KEADILAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN!

 

Jakarta, 11 Oktober 2021

 

                                                                                                                  

 

Praktik hukuman mati merupakan puncak tertinggi dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berlapis terhadap perempuan yang berkelit-kelindan dengan sejumlah isu lain, seperti feminisasi kemiskinan, feminisasi migrasi, stigma sosial, perdagangan orang, kejahatan narkotika, sistem hukum yang tidak berpihak pada perempuan korban, pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Catatan Komnas Perempuan memperlihatkan hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan, sebagaimana yang dialami oleh MJV, MU dan sejumlah perempuan pekerja migran terpidana mati di negara tujuan bekerja. Hal ini sangat sesuai dengan tema Perempuan dan Pidana Mati, sebuah kenyataan yang tak terlihat (Women and the death penalty, an invisible reality), yang merupakan tema peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati  tanggal 10 Oktober 2021.

 

Berdasarkan laporan pemantauan Komnas Perempuan, ditemukan fakta bahwa hukuman mati yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran, baik karena pembunuhan maupun perdagangan narkotika, berawal dari jejak panjang feminisasi kemiskinan dan lapisan kekerasan berbasis gender yang dialami sejak dari rumah hingga terus berakumulasi ke dunia kerja dan ruang-ruang sosial lainnya. Perempuan pekerja migran mengalami kondisi kerja yang eksploitatif dan tidak manusiawi serta relasi kuasa yang meletakkan perempuan dalam posisi subordinat. Akumulasi kondisi kerja yang buruk dan pengalaman menjadi korban kekerasan seksual serta tindak pidana perdagangan orang mendorong perempuan untuk melakukan tindak pidana sehingga berujung pada ancaman hukuman mati. Kemudian pada proses hukum, proses peradilan yang tidak adil, diskriminatif dan nihil pemahaman terkait analisis gender mengakibatkan korban mengalami kriminalisasi dan didakwa hukuman mati.

 

Selain itu, didapati adanya bentuk eksploitasi baru dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu untuk tujuan penyelundupan narkotika. Namun, fenomena pertautan antara tindak pidana perdagangan orang dan kejahatan narkotika sering tidak dilihat. Juga, tampaknya belum dikenali oleh sistem hukum Indonesia. Akibatnya, sejumlah perempuan yang sesungguhnya adalah korban perdagangan orang harus malah berhadapan dengan hukuman mati. Dalam kondisi ini, aparat penegak hukum sudah saatnya menanggalkan dan meninggalkan pendekatan visi terowongan (tunnel vision) dalam proses hukum kasus-kasus penyelundupan narkotika.

 

Penantian menunggu kepastian untuk lolos dari hukuman mati juga merupakan sebuah kondisi yang mendera kemanusian. Komnas Perempuan mengingatkan dua kasus perempuan terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) yang telah terlalu lama menanti dalam ketidakpastian. MJV merupakan korban tindak pidana perdagangan orang telah menjalani pidana penjara selama 11 tahun sedangkan MU telah menjalaninya selama 20 tahun. Situasi ini tidak hanya mendera terpidana perempuan melainkan juga anggota keluarganya, hingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Menjadi penting bagi Presiden RI untuk mengabulkan grasi sebagai upaya komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun.

 

Komnas Perempuan menegaskan selain bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights), hukuman mati juga merupakan bentuk penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat manusia. Penegasannya telah dinyatakan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2). Pasal 28A yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sejalan juga dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT), dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Oleh karenanya, hukuman mati tidak dibenarkan karena merenggut hak paling mendasar yang tanpanya hak-hak asasi manusia lainnya tidak dapat dinikmati.

 

Perayaan hari menantang hukuman mati telah ditetapkan secara global sejak 2003, dengan tujuan meningkatkan  kesadaran umum dan kesadaran politik yang lebih luas, serta membangun gerakan di seluruh dunia untuk melawan hukuman mati. Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide memperkirakan setidaknya 500 perempuan terpidana mati di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 perempuan telah dieksekusi mati di tahun 2008 sampai 2018. Angka yang tentu saja menunjukkan fenomena gunung es, bahwa sesungguhnya potensial melebihi sejumlah angka tersebut.

 

Di Indonesia, data yang bersumber dari Sistem Database Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 7 Oktober 2021 mencatat terdapat 400 orang terpidana mati, 11 orang di antaranya adalah perempuan. Sementara itu, di luar negeri, data Kementerian Luar Negeri per September 2021 memaparkan sejumlah 201 warga negara Indonesia di luar negeri terancam hukuman mati, 40 orang diantaranya adalah perempuan. Penerapan hukuman mati di Indonesia tentu saja menjadi batu ganjalan bagi Indonesia dalam upaya diplomasi pembebasan terhadap warganegaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri.

 

Berkaitan dengan situasi dan kondisi di atas, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Pemerintah RI dan DPR RI perlu melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia serta meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan adil;
  2. Presiden RI segera memberikan grasi kepada perempuan yang terpidana mati, diantaranya Mary Jane Veloso dan Merri Utami yang merupakan korban dari sindikat perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi perdagangan narkotika;
  3. Pemerintah dan DPR RI perlu melakukan reformasi kebijakan anti hukuman mati sebagai bentuk komitmen negara dalam melaksanakan ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, termasuk melalui upaya komutasi bagi terpidana mati yang sudah lama duduk dalam deret tunggu eksekusi dan revisi UU KUHP yang menghapuskan hukuman mati.
  4. Kementerian Luar Negeri terus meningkatkan layanan bantuan hukum dan psikososial terhadap perempuan pekerja migran Indonesia yang berhadapan dengan hukuman mati di luar negeri.
  5. Jaksa Agung RI dan aparat terkait perlu mendukung dan memfasilitasi pengambilan kesaksian MJV sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini juga menjadi wujud komitmen Indonesia pada perjanjian internasional Protokol Palermo yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 2009 serta Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2017;
  6. Organisasi masyarakat sipil terus menyuarakan dan mendukung penghapusan hukuman mati di Indonesia seturut mandat Konstitusi UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia.

 

 

Kontak Narasumber:

Tiasri Wiandani

Theresia Iswarini

Satyawanti Mashudi

Andy Yentriyani

 

Narahubung:

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)




Pertanyaan / Komentar: