...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Pandangan Komnas Perempuan dalam RDPU DPR Aceh pada Perubahan Pembahasan Qanun Hukum Jinayat Nomor 06 Tahun 2014

Siaran Pers Komnas Perempuan

Tentang Pandangan Komnas Perempuan dalam RDPU DPR Aceh pada Perubahan Pembahasan Qanun  Hukum Jinayat  Nomor 06 Tahun 2014 

 

Pengaturan Perkosaan dan Pelecehan Seksual merupakan Pengaturan khusus di Tingkat Nasional, yang Tidak Bisa Diatur Berbeda di Daerah

 

Jakarta, 24 November 2022

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi dan mendukung upaya Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk melakukan  perubahan Pasal Qanun Hukum Jinayat sebagai bagian dari upaya mendorong perlindungan terhadap anak dan perempuan. Salah satu langkah strategisnya adalah dengan mengeluarkan pasal tentang perkosaan dan pelecehan seksual dari Qanun Hukum Jinayat. 

 

Komnas Perempuan mengapresiasi DPRA yang memberikan peluang kepada Lembaga Hak Asasi Manusia yaitu Komnas Perempuan memberikan pandangan secara khusus pada upaya perubahan tersebut. Secara khusus Komnas Perempuan telah dimintakan untuk menyampaikan pandangan kami dalam pembahasan perubahan Qanun Hukum Jinayat melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) oleh Komisi 1 DPR Aceh pada hari Kamis, 10 November 2022 lalu. 

 

Komnas Perempuan menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan Aceh sebagaimana dituangkan pada Pasal 231 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Komnas Perempuan juga mendorong bahwa penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh menempatkan situasi pemenuhan HAM perempuan sekurang-kurangnya sesuai dengan standar nasional. Oleh karenanya agenda utama perubahan Qanun Hukum Jinayat perlu bersifat koheren dan menegaskan terobosan-terobosan di tingkat Nasional. 

 

Komnas Perempuan menegaskan bahwa pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual merupakan satu bentuk tindak pidana yang telah mempunyai pengaturan khusus di tingkat nasional, antara lain di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta  KUHP. Perbaikan pengaturan tentang perkosaan juga tengah berlangsung melalui Rancangan KUHP, termasuk memasukkan pidana perkosaan sebagai bentuk kejahatan terhadap tubuh. 

 

Komnas Perempuan mencatat beberapa persoalan serius terkait pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual dalam Qanun Hukum Jinayat terhadap situasi perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak di Aceh, antara lain:

1.      Adanya hambatan akses keadilan bagi korban dan peluang impunitas pelaku, karena adanya kewajiban sumpah dan beban pada korban untuk menunjukkan bukti permulaan serta adanya ancaman kriminalisasi melalui qazhaf ketika korban tidak dapat menghadirkan bukti sehingga berpeluang  memberikan hukuman cambuk bagi korban (Pasal 52 Qanun Hukum Jinayat). Hal ini akan melahirkan reviktimisasi terhadap korban perkosaan atau pelecehan seksual. 

2.      Pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual sebagai bentuk tindak pidana disamakan dengan bentuk pelanggaran jarimah atau pelanggaran lain di dalam Qanun Hukum Jinayat, khususnya perzinahan. Hal ini berisiko memosisikan perempuan dan anak  korban kekerasan seksual sebagai pelaku pelanggaran. Padahal secara teori hukum Islam perkosaan dan pelecehan seksual berbeda dengan perzinahan. Dalam perzinahan kedua keduanya diperlakukan sebagai pelaku, sedangkan dalam kasus perkosaan dan pelecehan salah satunya pelaku dan yang lain korban. Meletakkan kasus perkosaan, pelecehan seksual dalam satu rumpun berakibat menjadikan korban perkosaan dan pelecehan sebagai pelaku.

3.      Pengaturan tersebut memberikan dampak pada bentuk penyiksaan sebagaimana tercantum dalam Konvensi CAT (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 28 September 1998 melalui UU No. 5 tahun 1998. Konvensi ini memiliki unsur pokok: timbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa, oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat-pejabat negara yang berwenang untuk suatu tujuan tertentu, salah satunya sebagai bentuk penghukuman. Maka penyiksaan dalam konteks kekerasan seksual dalam relasi individu dengan negara, korban mengalami penghukuman yang mengakibatkan sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa yang mengakibatkan kerugian, jatuhnya martabat dan penderitaan seseorang.

4.      Adanya pengaturan yang meniadakan rujukan hukum nasional untuk upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan bagi korban, di mana perkosaan dan pelecehan seksual telah ada pengaturannya di UU Nasional (UU TPKS,  UU Perlindungan Anak, dan KUHP, serta RKUHP ) 

5.      Ketidakpastian jaminan pelindungan hukum bagi korban mengingat bentuk hukuman menghadirkan kerentanan baru atau ancaman baru terhadap korban, karena pelaku bisa saja segera kembali ke komunitas pasca eksekusi yang singkat.  

6.      Minimnya upaya memastikan ketidakberulangan karena bentuk hukuman yang dipilih dan ketiadaan proses pembinaan terhadap pelaku.

 

Komnas Perempuan memandang penting Pemerintah dan DPR Aceh untuk mendengarkan respon positif dari berbagai lembaga layanan, aparat penegak hukum, serta ulama dan tokoh perempuan di Aceh yang menyuarakan dampak pengaturan Qanun Jinayat berbasis  pengalaman perempuan korban perkosaan dan pelecehan seksual.   

 

Oleh karenanya, atas penjabaran persoalan serius di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan;

 

1.      Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum HAM berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh (Gubernur dan DPR Aceh) untuk memastikan pada pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual yang telah mempunyai pengaturan khusus di tingkat nasional, dikeluarkan dari pengaturan di dalam Qanun Jinayat.

 

2.      Pemerintah Aceh dan Aparat penegak hukum di Aceh agar mengacu dan menggunakan UU TPKS dalam proses hukum atas pelaporan kasus perkosaan dan pelecehan seksual.

 

3.      Organisasi masyarakat sipil di Aceh terus mengawal proses pembahasan perubahan Qanun Hukum Jinayat di DPR Aceh, untuk memastikan terpenuhinya jaminan perlindungan perempuan dan Anak di Aceh.

 

 

 

Narasumber:

1. Imam Nahei 

2. Maria Ulfah Anshor 

3. Mariana Amiruddin

4. Andy Yentriyani

 

Narahubung: 0813-8937-1400


Pertanyaan / Komentar: