Memastikan Hak Korban Pasca Peluncuran Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat di Pidie Aceh
28 Juni 2023
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi pemerintah dan sejumlah pihak yang berkomitmen untuk menyelesaikan secara Non-Yudisial pelanggaran HAM Berat di masa lalu. Dalam penyelenggaraan komitmen ini, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya pelibatan substantif komunitas korban dan integrasi pengalaman perempuan, dengan perhatian khusus pada perempuan korban kekerasan seksual.
Hal ini disampaikan Komnas Perempuan di Jakarta, 4 Juli 2023, sebagai pengingat dari tindak lanjut peluncuran program di Rumoh Geudong di Aceh pada tanggal 27 Juni 2023 lalu. Program ini merupakan bagian dari pelaksanaan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Mekanisme Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Komnas Perempuan mencatat bahwa persiapan peluncuran program, di Rumoh Geudong di Aceh minim pelibatan substantif, utamanya komunitas korban dan pendamping yang selama ini secara mandiri melakukan upaya memorialisasi di sana. Akibatnya, muncul kegaduhan terkait kekhawatiran bahwa akan ada penghancuran semua sisa bangunan Rumoh Geudong yang merupakan salah satu “saksi bisu” pelanggaran HAM Berat saat Aceh berstatus Daerah Otonomi Militer (DOM), termasuk penyiksaan seksual. Atas desakan bersama, tugu memoralisasi, tangga, dan sumur masih ada pada saat peluncuran.
Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan, menegaskan bahwa isu memorialisasi perlu dipahami bukan sebagai sebuah ruang untuk menoreh luka lama.
“Memorialisasi adalah ruang merawat komitmen bersama mencegah keberulangan dan pemulihan korban, pelibatan semua pihak utamanya korban. Karenanya, keluarga dan pendamping penting dalam merencanakan dan merealisasikan program memorialisasi. Bangsa ini pada waktunya berniat akan menggelar Pengadilan HAM Berat, penghilangan situs sama halnya dengan penghilangan bukti, dan ini tidak sejalan dengan kebijakan dibentuknya Tim PP HAM,” imbuh Mariana.
Dalam peluncuran program di Rumoh Geudong, Presiden juga menyampaikan sejumlah bantuan beasiswa dan peralatan untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta berjanji untuk menjamin hak-hak dasar pendidikan, kesehatan, reparasi, dan pemulihan ekonomi para korban. Komisioner Alimatul Qibtiyah yang hadir langsung di dalam perhelatan tersebut menemukan bahwa ada sejumlah isu kritis yang perlu diperhatikan.
“Dari penggalian informasi dengan sejumlah anggota komunitas korban, ada kekhawatiran bahwa inisiatif dukungan bagi korban ini hanya bersifat formalitas semata dan mungkin menimbulkan ketegangan baru di masyarakat karena hanya sebagian saja dari korban yang mendapatkan bantuan,” jelasnya.
Kekhawatiran lainnya adalah perempuan korban tertinggal atau tidak ditangani secara khusus. Menurut Alimatul, perspektif korban dan keadilan gender sangat penting untuk memastikan hak korban atas kebenaran, keadilan dan reparasi penuh yang efektif atas penderitaan yang mereka alami benar-benar dapat diwujudkan.
Bagi Komnas Perempuan, upaya penyelesaian non yudisial telah didorong sejak lama. Di Aceh, upaya ini dilakukan dengan mendukung komunitas korban mengajukan Rumoh Geudong sebagai situs ingatan dan melalui kerja sama dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh untuk pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban.
Dalam konteks lainnya, Komnas Perempuan memfasilitasi pendirian Prasati Mei 1998 di taman makam umum (TPU) Pondok Rangon Jakarta melalui kerjasama dengan pemerintah daerah DKI Jakarta dan komunitas korban Tragedi Mei 1998. Komnas Perempuan juga mengagas upaya mengembangkan “pusat pembelajaran perdamaian” dengan menarik pembelajaran dari berabgai inisiatif serupa di berbagai daerah dan sejak tahun 2021 telah diujicobakan di Aceh dan Maluku.
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menerangkan bahwa situs ingatan pelanggaran HAM Berat di masa lalu seperti Rumoh Geudong juga ada di berbagai daerah. Situs-situs ini perlu dilestarikan dan dimaknai melalui perumusan bersama guna memastikan tercapainya tujuan memorialisasi untuk pemulihan korban dan mencegah keberulangan.
“Karenanya, Komnas Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil pendamping korban pelanggaran HAM Masa Lalu akan terus melakukan pemantauan upaya Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat di Indonesia,” pungkas Veryanto.