Tetap Dukung Korban Kekerasan Seksual dalam Mendapatkan Keadilan dan Pemulihan
Jakarta, 12 Februari 2022
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencermati perkembangan kasus terkait dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh GH. Pada 11 Februari 2022 telah beredar sebuah video berisi pernyataan S, korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh GH, yang memberikan informasi berbeda mengenai kejadian yang dialaminya. Menanggapi pertanyaan publik mengenai video tersebut, dan berdasarkan komunikasi dengan para pendamping, Komnas Perempuan menyampaikan ajakan untuk menghentikan polemik terkait dengan video tersebut, sekaligus menyerukan pentingnya untuk menghormati keputusan korban dan saaat bersamaan terus membangun solidaritas terhadap korban kekerasan seksual dan para pendamping korban.
Komnas Perempuan menyampaikan apresiasi dan solidaritas kepada LBH APIK Jakarta dan Safenet yang telah mendampingi para korban dan menerbitkan pernyataan publik. Sebagai pendamping, LBH Apik Jakarta dan Safenet telah memberikan informasi langkah-langkah pendampingan yang telah dilakukan untuk membantu korban dan memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan. Komnas Perempuan mencatat bahwa kerja-kerja pendampingan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga layanan merupakan kerja yang kompleks dan sistematis. Kerja-kerja tersebut mulai dari mengurai kasus, mengklarifikasi, memverifikasi dan pada saat yang sama terus melakukan pemulihan pada korban karena tidak jarang korban mengalami goncangan mental saat proses penanganan. Dalam proses ini, prinsip pemberdayaan dan penghormatan terhadap korban merupakan bagian fundamental dari pendampingan.
Berkaitan dengan itu, Komnas Perempuan juga menyerukan kepada para korban dan penyintas kekerasan seksual untuk terus saling menguatkan di tengah polemik dari video tersebut. Komnas Perempuan perlu menegaskan kembali bahwa kekerasan seksual dalam berbagai bentuknya adalah kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Kekerasan seksual berakar dari ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang kerap menempatkan perempuan sebagai bagian dari ‘obyek kuasa’ dan penundukan secara seksual. Relasi kuasa tersebut kerap berlapis dengan bentuk kekuasaan di antaranya popularitas. Ironisnya, hukum kerap tidak dapat menjangkau pelaku karena hukum sendiri termasuk aparatnya belum sepenuhnya berpihak pada korban ditambah dengan sikap menyalahkan korban yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sikap-sikap ini yang kemudian melahirkan ‘budaya perkosaan’ atau rape culture, suatu budaya yang menganggap normal sebuah kekerasan seksual. Sistem pembuktian hukum pidana menjadikan satu-satu pengakuan ada tidaknya kekerasan seksual. Padahal sistem pembuktian dan pilihan penyelesaian pidana terhadap korban serupa ini justru menjadi salah satu yang menyebabkan kondisi korban mengalami reviktimisasi. Dalam kondisi ini, polemik dari video tersebut dapat berdampak pula pada korban dan penyintas kekerasan seksual dalam berbagai kasus.
Komnas Perempuan juga mengenali bahwa pendampingan adalah kebutuhan sangat penting bagi perempuan korban kekerasan seksual. Berdasarkan pengalaman pengaduan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, Komnas Perempuan mencatat bahwa korban dan keluarga korban kerap berada dalam tekanan publik. Apalagi dalam kondisi penggunaan perkembangan teknologi dan informasi hari ini. Terutama ketika pelaku adalah seorang selebritas atau tokoh. Saat terjadinya kasus hingga kasus diproses dan kemudian diketahui publik, seluruhnya tampil di dalam pemberitaan media dan menjadi bahan perbincangan media sosial. Tekanan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental korban dan keluarganya yang kemudian berimplikasi pada pengambilan keputusan oleh korban. Dengan adanya pendampingan, korban dan keluarga dapat dikuatkan. Namun, memahami kompleksitas permasalahan korban kekerasan seksual terutama yang beririsan dengan popularitas sebagai bentuk kekuasaan, Komnas Perempuan menghormati putusan dan keluarganya untuk mengambil jarak dari seluruh situasi dan implikasi yang melingkupinya.
Sementara itu, untuk mengatasi hambatan korban kekerasan seksual dalam mengklaim keadilan dan pemulihan ini, Komite CEDAW untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 35 yang menekankan pentingnya kekerasan terhadap perempuan berbasis gender ditanggapi secara sistemik, bukan individual, sebab telah menjadi “alat sosial, politik dan ekonomi yang fundamental untuk menempatkan perempuan dalam posisi subordinat”. Upaya penanganan kasus kekerasan seksual juga merupakan perwujudan dari tanggung jawab Konstitusional, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tanggung jawab untuk pengakuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, khususnya atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum dan atas rasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D Ayat 1 dan 28G Ayat 1 UUD NRI 1945.
Berkaitan dengan kasus ini, Komnas Perempuan:
Mengajak masyarakat untuk bersolidaritas dan mendukung korban kekerasan seksual dan para pendamping korban, termasuk dengan menghentikan polemik berkaitan dengan video tersebut di atas;
Mengajak masyarakat memahami kompleksitas situasi yang dihadapi para korban kekerasan seksual sehingga menghargai keputusan korban dan tetap mendukung korban.
Menyarankan media massa dan para influencer di media sosial untuk membantu memperkuat pemahaman tentang kompleksitas situasi yang dihadapi para korban dan pilihan penyelesaian kasusnya.
Memberikan dukungan kepada para pendamping dan korban kekerasan seksual yang bersuara dan mengklaim keadilannya dan pemulihannya.
Narasumber
Theresia Iswarini
Siti Aminah Tardi
Rainy Hutabarat
Andy Yentriyani
Narahubung
Media Komnas Perempuan: 0813-8937-1400