...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peringatan 26 Tahun Reformasi

“Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan” 

Jakarta, 13 Mei 2024

Selama hampir 26 tahun, Komnas Perempuan bersama komunitas korban pelanggaran HAM masa lalu, pendamping korban, dan masyarakat luas secara berkelanjutan membangun memorialisasi sebagai ruang perjumpaan bersama untuk merawat ingatan atas Tragedi Mei 98, termasuk pendekatan secara intensif dengan pemerintah daerah, rentetan peristiwa Mei 98 terjadi diantaranya di Medan, di Solo dan Surabaya.  Peringatan Mei 98 pada tahun 2024 mengangkat tema “Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan”. Dengan tema ini Komnas Perempuan kembali mengingatkan dan sekaligus mendorong upaya Negara untuk menuntaskan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, baik secara yudisial maupun non yudisial.

“Ini menjadi momentum krusial di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan janji nawacita yang salah satunya adalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar Veryanto Sitohang Komisioner Komnas Perempuan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa pada 11 November 2023 lalu Presiden telah menyatakan penyesalannya terhadap terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dua belas kasus tersebut antara lain; peristiwa 1965-1966; peristiwa Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985; peristiwa Talangsari Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; dan peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Kemudian, peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999; peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; dan peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999. Lalu, peristiwa Wasior Papua 2001-2002; peristiwa Wamena Papua 2003; dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Komnas Perempuan memandang bahwa penerapan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Mekanisme Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat masih belum maksimal. Seluruh langkah pemulihan hak korban perlu dibangun dalam kerangka hak asasi manusia dengan menggunakan instrumen HAM nasional dan Internasional dan dengan melibatkan korban secara bermakna. Komnas Perempuan berharap agar Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) yang Berat dapat diperpanjang waktunya, termasuk untuk periode kepemimpinan Indonesia berikutnya. Dengan ketersediaan waktu yang panjang, proses penyelesaian tersebut dapat dilakukan tanpa terburu-buru dan lebih banyak ruang untuk melakukan pendekatan kepada korban. 

Dalam menentukan langkah-langkah yang dilakukan oleh negara dalam hal pemulihan korban pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, perlu pelibatan semua pihak secara luas, sistematis dan terstruktur, dan menunjukkan kesungguhan negara dalam melakukannya. Dalam proses meminta dan mengumpulkan data korban, diharapkan tidak menimbulkan trauma ulang, memastikan adanya perlindungan saksi dan korban khususnya memastikan jaminan keamanan bagi  korban utamanya korban kekerasan seksual.

“Sosialisasi atas pelaksanaan pelbagai program pemerintah dalam memberikan restitusi kepada korban dan keluarga korban sangatlah penting. Misalnya bantuan untuk mengakses layanan kesehatan. Sebagian korban masih mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak mengetahui  program bantuan “khusus” tersebut. Hal ini menghambat proses pemulihan bagi korban dan keluarganya,” terang Bahrul Fuad Komisioner Komnas Perempuan.

Pada peringatan Tragedi Mei 98 tahun ini, Komnas Perempuan menggelar serangkaian kegiatan yang dimulai dengan mengadakan Napak Reformasi, menyusuri titik-titik lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tragedi Mei 98 di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2024. Dilanjutkan dengan Seminar dan Konsolidasi Nasional melibatkan komunitas korban, pendamping korban, komunitas penggiat sejarah, anak muda, media dan pemerintah daerah. Mitra Komnas Perempuan di daerah seperti Pemerintah Kota Solo juga menyelenggarakan kegiatan serupa, sebagai bentuk dukungan pemenuhan hak korban atas pemulihan, perlindungan dan jaminan ketidakberulangan. 

“Dalam beberapa konteks kasus pelanggaran HAM yang berat, perempuan korban memikul dampak yang lebih berat seperti pengalaman kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya yang membuat kondisi mereka menjadi lebih rentan. Oleh karena itu kesetaraan substantif diperlukan untuk memastikan agar pemulihan memiliki dampak yang tepat bagi korban.  Negara dalam memberikan pemulihan korban perlu didasarkan pada pemahaman penuh tentang sifat gender, konsekuensi dari kerugian yang diderita, serta mempertimbangkan ketidaksetaraan gender yang ada untuk memastikan mekanisme pemulihan yang ada tidak diskriminatif,” tutur Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan.

Narahubung: Elsa Faturahmah (0813-8937-1400)


Pertanyaan / Komentar: