“Memastikan Pemenuhan Hak Kesehatan Tanpa Stigma, Diskriminasi dan Ketidaksetaraan pada Perempuan dengan HIV dan AIDS”
Jakarta, 5 Desember 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa hak atas kesehatan adalah hak asasi yang harus dijamin bagi setiap individu termasuk orang dengan HIV dan AIDS. Hak atas kesehatan di antaranya hak atas layanan kesehatan yang baik, pendidikan, informasi, ekonomi tanpa diskriminasi berdasarkan gender hingga status kesehatan. Sejalan dengan tema peringatan Hari AIDS Sedunia 2024 “Take The Rights Path: My Health, My Rights” dan Tema Nasional “Hak Setara untuk Semua, Bersama Kita Bisa”, maka setiap orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, termasuk perempuan secara umum dan perempuan korban kekerasan yang hidup dengan HIV dan AIDS, memiliki hak yang setara untuk mendapatkan layanan-layanan yang dibutuhkan.
“Pemenuhan hak atas kesehatan bagi orang dengan HIV dan AIDS, terutama perempuan, haruslah dibarengi dengan upaya menghapus stigma, diskriminasi, dan ketidaksetaraan sehingga menciptakan layanan dan penanganan kesehatan yang inklusif. Upaya tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak warganya sebagaimana janji konstitusi kita,” kata Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan.
Laporan temuan awal Implementasi 25 Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) Tahun 2024 yang disusun oleh Komnas Perempuan, KHAM, LPSK, ORI, KPAI dan KND (tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan - KuPP) memberikan catatan penting terkait stigma HIV/AIDS. Pertama, stigma masyarakat mengenai penyakit HIV/AIDS sebagai akibat dari kehidupan seks yang berganti-ganti pasangan atau pengguna narkoba suntik berdampak pada perlakuan diskriminasi, merendahkan, perlakuan kasar, dan pembiaran baik di dalam keluarga, lingkungan sosial maupun pelayanan kesehatan.
Kedua, stigma dan diskriminasi yang dialami oleh ODHA tidak saja dilakukan oleh masyarakat, keluarga, negara, tetapi juga petugas medis yang berkewajiban memberikan layanan kesehatan. Ketiga, stigma mempengaruhi akses perempuan dengan HIV/AIDS yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi serta pengobatan atas adiksi narkoba.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa hingga saat ini stigma dan diskriminasi terhadap perempuan dengan HIV masih terjadi dan mempengaruhi hak-hak mereka sebagai manusia. Perempuan dengan HIV sering kali menghadapi diskriminasi ganda, yaitu diskriminasi karena status HIV mereka dan diskriminasi karena gender mereka.
“Perempuan mengalami stigmatisasi dari keluarga, teman, dan bahkan tenaga medis yang seharusnya memberikan perawatan dan dukungan yang pada akhirnya dapat menghalangi akses mereka ke perawatan medis yang memadai, dukungan sosial, dan pekerjaan,” tambahnya.
Hal ini juga menunjukkan adanya persinggungan antara antara isu kekerasan terhadap perempuan dan HIV/AIDS. Data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2019 memperlihatkan bahwa perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan tertular HIV dari pasangannya, sementara National Plan of Action (NACA) di tahun 2019 mencatat bahwa perempuan positif lebih rentan 4 kali lipat mengalami kekerasan seksual dan perempuan positif 6 kali lipat rentan kekerasan fisik di masa kehamilan. Data ini diperkuat dengan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2023) yang menunjukkan perempuan dengan status menikah dengan HIV lebih banyak mengalami kekerasan yaitu 32 korban, belum menikah berjumlah 22 korban dan 8 orang dengan status cerai dengan pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami.
Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan menekankan pentingnya pendekatan khusus dalam menyikapi situasi ini. “Pendekatan berbasis hak merupakan langkah mendesak yang harus segera ditempuh oleh para pemangku kebijakan melalui layanan terintegrasi di setiap layanan kesehatan yang saat ini belum tersedia di semua wilayah bagi perempuan dan perempuan korban kekerasan yang hidup dengan HIV dan AIDS karena memiliki kerentanan berlapis dan lapisan pemulihan yang lebih kompleks”.
Upaya ini penting didukung Negara melalui kebijakan terutama untuk memastikan bahwa setiap orang termasuk perempuan, di mana pun, memiliki hak atas layanan perawatan kesehatan yang bermutu dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah memandatkan pada Pasal 167 bahwa layanan HIV dan AIDS merupakan bagian dari layanan tingkat pertama atau layanan primer yang harus tersedia mulai dari puskesmas, klinik paratama, dan praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan. Hal ini sejalan dengan Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 24 yang menyatakan bahwa negara pihak berkewajiban diantaranya menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) melalui layanan bagi ibu hamil (motherhood service) dan bantuan prenatal (prenatal assistance) yang aman, termasuk perempuan yang hidup dengan HIV dan AIDS. Upaya pencegahan melalui kampanye dan pendidikan publik juga wajib dilakukan karena mencegah lebih baik daripada mengobati.
“Selain layanan kesehatan berupa perawatan lanjutan, akses pada obat-obatan, edukasi kepada masyarakat juga harus intensif dilakukan baik di semua sektor karena masih terbatasnya pemahaman tentang HIV dan AIDS tersebut, seperti alur penularan sebagai ruang pencegahan sekaligus tanggung jawab bersama dengan bingkai hak asasi manusia,” tutup Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)