“Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun”
Jakarta, 10 Oktober 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia (HAM) paling mendasar dan absolut bagi manusia yang seharusnya diberikan jaminan pelindungan dan penghormatannya oleh negara. Oleh karena itu, Komnas Perempuan menyampaikan agar Hakim untuk tidak lagi menjatuhkan vonis pidana mati atas alasan apa pun termasuk lewat justifikasi isu keamanan negara dan masyarakat karena sejatinya hukuman mati tidak memberikan perlindungan pada siapa pun.
Hal itu sejalan dengan tema Hari Anti Hukuman Mati Internasional 2024 yang mengambil tema The Death Penalty Protects No One: Abolish It Now (Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun: Hapus Sekarang). Tema ini berupaya untuk mengatasi tantangan kesalahpahaman atau miskonsepsi bahwa hukuman mati dapat memberikan rasa aman pada orang dan masyarakat pada umumnya. Komnas Perempuan memandang bahwa momen ini menjadi penting untuk merefleksikan kembali berbagai pandangan mengenai hukuman mati terutama di Indonesia.
“Seyogyanya pemerintah tidak melakukan eksekusi pidana mati
Menurut Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, hukuman mati terkesan sangat dibutuhkan dalam praktik sistem hukum Indonesia karena diasumsikan bahwa praktik hukuman mati dapat memberikan efek jera sehingga dapat mengendalikan dan menumpas habis kejahatan tertentu yang dihasilkan lewat praktik hukuman mati. Bahwa dengan mendasarkan pada asumsi ini, maka hukuman mati seolah akan membawa situasi dan rasa aman yang lebih baik di dalam masyarakat dan negara. Isu keamanan memang isu yang sangat krusial di dalam masyarakat, namun perlu direfleksikan kembali apakah hukuman mati dapat menjadi solusi yang benar-benar efektif dalam mengatasi berbagai masalah keamanan di dalam masyarakat.
“Negara harusnya melaksanakan tanggung jawab secara sistemik dengan mengatasi akar penyebab utama masalah keamanan, serta mengutamakan pendekatan terhadap keamanan yang berbasis pelindungan hak asasi,” tambah Veryanto.
Di samping itu, praktik tersebut tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana dimana pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal paradigma dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice) yang berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi atas kerugian dan kerusakan akibat tindak kejahatan tertentu terhadap korban, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan. Paradigma yang lebih menekankan upaya untuk mengatasi akar masalah dan dampak di segala aspek.
“Pemantauan pada Perempuan Terpidana Mati di lapas yang dilakukan Komnas Perempuan juga menemukan bahwa proses hukum yang tidak selalu adil dan sempurna turut menyebabkan pentingnya refleksi atas praktik pidana mati. Pemantauan dilakukan Komnas Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil menemukan terjadinya berbagai kesalahan dalam proses hukum yang menghasilkan putusan pidana mati,” kata Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.
Dalam kasus perempuan terpidana mati, bahkan terdapat berbagai kekerasan berbasis gender (KBG) sebagai penyebab melakukan tindak pidana tertentu, hingga kekerasan dalam proses hukum yang dijalani, sehingga perempuan terpidana mati menjadi korban berlapis atas penyiksaan dan pelanggaran HAM, baik atas KBG yang dialami, putusan pidana mati, dan proses deret tunggu yang menjadi praktik penyiksaan tersendiri. Komnas Perempuan berpandangan bahwa praktik hukuman mati merupakan bentuk penyiksaan serta puncak diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
“Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan agar penerapan komutasi dalam KUHP baru juga dapat diterapkan untuk mengatur mekanisme pengubahan pidana mati yang saat ini telah mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan berada dalam masa tunggu eksekusi, mengingat terdapat para perempuan terpidana mati ini telah menjalani pidana kurungan dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) dalam jangka waktu hingga 22 tahun, melebihi maksimal hukuman penjara di Indonesia yaitu 20 tahun, “ pungkas Tiasri Wiandani.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)