Siaran
Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Memperingati Hari Bahasa
Isyarat Internasional, 23 September 2021
Penting Ketersediaan Bahasa Isyarat
Sebagai Pemenuhan Hak Komunitas Tuli atas Informasi dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
Jakarta, 23 September 2021
Pengakuan
terhadap keberadaan bahasa isyarat sebagai salah satu bahasa di antara
bahasa-bahasa sedunia khususnya bahasa lisan menunjukkan pengakuan akan
keberagaman umat manusia di dunia
termasuk keberagaman disabilitas. Pengakuan ini juga merupakan bentuk
pemenuhan dan pemajuan hak penyandang disabilitas khususnya komunitas tuli.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Bahasa Isyarat Internasional
berdasarkan Resolusi A/RES/72/161.
Perayaan Hari Bahasa Isyarat Internasional memupuk harapan terhadap
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendukung identitas linguistik dan
keragaman budaya bagi komunitas tuli maupun pengguna bahasa isyarat lainnya
secara global. Secara definitif, bahasa isyarat adalah bahasa non-lisan yang
sebagian besar digunakan orang-orang tuli untuk berkomunikasi. Bahasa isyarat
ini berbeda secara struktural dan kultural dari bahasa lisan. Dari sejarahnya,
sebagaimana umumnya kemunculan bahasa lisan, bahasa isyarat terbentuk secara
alami menurut konteks-konteks budaya
komunitas atau masyarakat masing-masing.
Federasi Tuli Sedunia mencatat, terdapat sekitar 70 juta penduduk mengalami
tuli di seluruh dunia. Lebih dari 80% tinggal di negara berkembang dan
menggunakan bahasa isyarat beragam. Menurut PBB, di seluruh dunia dewasa ini
terdapat sekitar 300 bahasa isyarat. Di
Indonesia terdapat dua jenis bahasa isyarat yang sering digunakan dalam
berkomunikasi di kalangan tuna rungu, yaitu Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI)
dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Penerapan SIBI ini diresmikan dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 dan dibakukan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada 30 Juni 1994. Hingga sekarang, SIBI masih digunakan sebagai
bahasa pengantar komunikasi dalam kurikulum Sekolah Luar Biasa (SLB).
Pemantauan
Komnas Perempuan mencatat, perempuan tuli termasuk kelompok yang paling rentan
terhadap kekerasan seksual. Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 Komnas Perempuan
mencatat 8 perempuan tuli menjadi korban kekerasan seksual. Pada analisa CATAHU
tersebut ditemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan mereka mengalami
kekerasan adalah keterbatasan akses informasi terhadap seksualitas dan
pencegahan kekerasan. Kondisi ini diperburuk dengan ketidakpekaan Aparat
Penegak Hukum terhadap cara komunikasi perempuan tuli korban kekerasan.
Sementara itu, hak bahasa isyarat tidak selalu dipenuhi dalam berbagai kegiatan
webinar. Di masa pandemi COVID-19, informasi terkait kesehatan maupun kebijakan
pencegahan penularan COVID-19 lainnya, belum tersedia dalam bahasa isyarat.
Padahal pemenuhan hak berbahasa isyarat berdampak luas terhadap pencegahan
penularan COVID-19, kesehatan komunitas tuli, pencegahan kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan tuli. Komnas Perempuan juga mencatat,
organisasi-organisasi pengada layanan belum mampu menyediakan fasilitas bahasa
isyarat bagi perempuan tuli yang menjadi korban kekerasan.
Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak atas (1) aksesibilitas (2) pelayanan publik, (3) hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat, (4) berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dalam konteks perlindungan perempuan disabilitas dari kekerasan, UU No. 8/2016 Pasal 5 ayat 2 menyebut hak-hak khusus yang diberikan kepada perempuan dan anak perempuan disabilitas, yakni mendapat perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis serta perlindungan lebih dari tindak kekerasan termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Hak Berbahasa Isyarat juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bahwa “Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu (Pasal 39 ayat3). Pemenuhan hak berbahasa isyarat merupakan bagian dari perlindungan perempuan dengan disabilitas khususnya dari kekerasan dan eksploitasi melalui akses kepada informasi dan pengetahuan serta partisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sosial.
Dalam perayaan
Hari Bahasa Isyarat Internasional, Komnas Perempuan merekomendasikan:
n Pemerintah
RI cq Presiden RI untuk memperkuat
koordinasi lintas kementerian/lembaga negara untuk (a) pemenuhan hak berbahasa
isyarat di lembaga-lembaga pemerintah mulai dari pusat hingga daerah; (b)
memperkuat pemahaman ASN dan Aparat Penegak Hukum tentang komunitas tuli.
n Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk memperkuat kapasitas
penyedia layanan dalam penyediaan bahasa isyarat dan meningkatkan literasi dan
pemahaman tentang budaya tuli bagi keluarga dengan anggota tuli.
n Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk memperluas pendidikan inklusi dengan
menyediakan bahasa isyarat di sekolah dan lembaga pendidikan di seluruh
Indonesia.
n Komisi
Penyiaran Indonesia untuk terus mendorong stasiun - stasiun televisi non
pemerintah menyediakan bahasa isyarat sebagai pemenuhan hak atas informasi bagi
pemirsa tuli.
n Pemerintah
daerah agar melakukan harmonisasi kebijakan-kebijakan daerah seturut dengan
mandat UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
n Kepolisian
Republik Indonesia untuk menyediakan layanan Juru Bahasa Isyarat atau
Penerjemah Bahasa bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
n Mahkamah
Agung untuk menyediakan Juru Bahasa Isyarat atau Penerjemah Bahasa bagi
penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan.
Narasumber:
Rainy Hutabarat
Bahrul Fuad
Veryanto Sitohang
Siti Aminah Tardi
Olivia Ch. Salampessy
Narahubung
Chrismanto
Purba (chris@komnasperempuan.go.id)