...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Peringatan Hari Sindrom Down Sedunia 2023: Perempuan dengan Sindrom Down Berhak Memberikan Persetujuan dan Pengambilan Keputusan

Siaran Pers Komnas Perempuan

Tentang Peringatan Hari Sindrom Down Sedunia 2023

   

Perempuan dengan Sindrom Down Berhak Memberikan Persetujuan

dan Pengambilan Keputusan

Jakarta, 20 Maret 2023

 

“Bersama Kami Bukan untuk Kami” (With Us Not for Us) merupakan tema Hari Sindrom Down Sedunia 2023 yang setiap tahunnya diperingati 21 Maret. Tema ini menegaskan kembali pendekatan berbasis hak dalam penyikapan kepada penyandang sindrom down dan penyandang disabilitas umumnya. Pendekatan berbasis hak ini, di antaranya pelibatan bermakna perempuan dengan sindrom down dalam berbagai kehidupan sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Perempuan dengan sindrom down juga berhak atas pendidikan, pekerjaan, terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengembangan budaya.  Karena itu hak penyandang sindrom down adalah hak-hak asasi manusia. 

Komnas Perempuan mencatat, penyandang disabilitas intelektual termasuk sindrom down di dalamnya, rentan terhadap kekerasan seksual. 

“Kendati pengaduan ke lembaga layanan yang dicatatkan dalam CATAHU 2023 terdapat  tiga kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual namun angka tersebut merupakan puncak fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan sindrom down yang tidak dilaporkan karena berbagai faktor sosial, budaya dan ekonomi. Tak jarang kekerasan baru terungkap setelah kekerasan berlangsung lama. Satu kasus terhadap anak perempuan disabilitas intelektual (16 tahun), baru diketahui setelah korban diperkosa sebanyak 10 kali. Fakta ini menunjukkan, terdapat hambatan untuk mengetahui pertama kalinya terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas psikososial,” jelas Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati.      

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengingatkan, “CATAHU 2023 mencatat penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi menjadi pola penyelesaian terbanyak dalam penanganannya, yaitu 312 kasus. Menarik kembali kasusnya/gugatannya tercatat di urutan ketiga (242 kasus), sementara di urutan kedua korban menghentikan kasusnya dari lembaga layanan (383 kasus). Pemantauan Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa mekanisme sosial berupa perdamaian dengan ganti rugi, denda adat, mengawinkan korban dengan pelaku  merupakan bentuk-bentuk penyelesaian di luar pengadilan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan dilakukan tanpa pelibatan korban secara bermakna.” 

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kemudian menegaskan, “Mengawinkan korban dengan pelaku sudah termasuk Tindak Pidana Pemaksaan Perkawinan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun atau denda Rp 200.000.000,-. Dalam konteks penyelesaian di luar pengadilan ini, perempuan korban khususnya dengan disabilitas tidak dilibatkan, melainkan diwakilkan kepada orang tuanya atau atau keluarganya.  Mereka dipandang tak layak dalam berhadap dengan hukum karena kondisi disabilitasnya, dan kesaksiannya tak dapat dipercaya. Stigma bahwa perempuan sindrom down tak dapat memahami kasus yang dialaminya, mitos bahwa tidak mungkin perempuan sindrom down mengalami kekerasan seksual karena anggapan mereka tidak memiliki hasrat seksual (aseksual) atau dinilai sebagai penyebab kekerasan seksual karena tak mampu menjaga atau mengontrol dirinya.” 

Prinsip “bersama kami bukan untuk kami” berarti negara harus memastikan ketersediaan pendamping sesuai dengan kebutuhan khususnya, yang dikenal baik dan mendapat persetujuan korban. UU TPKS telah menjamin hak pendampingan bagi korban penyandang disabilitas (Pasal 27) dan kekuatan hukum yang sama dengan saksi/korban non-penyandang disabilitas untuk keterangannya (Pasal 25 ayat 4). Jaminan tersebut adalah perwujudan pelaksanaan, Konstitusi dan UU Penyandang Disabilitas atas akses keadilan dan pengambilan keputusan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang dialaminya sebagai bagian dari hak sipil politik. Untuk pencegahan kekerasan seksual, perempuan dengan sindrom juga berhak atas pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi,

Komnas Perempuan merekomendasi agar: (1) Kemen-PPPA melibatkan organisasi-organisasi penyandang disabilitas khususnya sindrom down dalam percepatan penyusunan peraturan pelaksana UU TKPS dan memperluas pendidikan publik dan keluarga tentang kesetaraan dan keadilan gender yang tautannya dengan hak-hak penyandang disabilitas khususnya perempuan sindrom down; (2) POLRI, Kejaksaan dan MA memperkuat kapasitas aparaturnya dengan perspektif disabilitas dan kesetaraan gender, dan membangun sistem rujukan dengan lembaga-lembaga layanan untuk memenuhi kebutuhan pendampingan khusus untuk penyandang disabilitas; (3) Media massa membangun pemberitaan yang membantu meluruskan mitos tentang perempuan dengan sindrom down. 

 

Narahubung: 0813-8937-1400


Pertanyaan / Komentar: