...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Terkait Kasus Pemaksaan Busana dengan Identitas Agama

Siaran Pers Komnas Perempuan

Terkait Kasus Pemaksaan Busana dengan Identitas Agama

 

Langkah Sistemik Pemerintah yang Mendesak Untuk Penanganan dan Pencegahan Berulang-ulangnya Kasus Pemaksaan dan Pelarangan Busana dengan Beridentitas Agama

 

Jakarta, 19 Agustus 2022

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merasa prihatin atas peristiwa berulang dugaan pemaksaan busana terhadap siswi SMA dan SMP Negeri di Kab. Bantul, Yogyakarta, yang menjadi pemberitaan media massa daring dan warganet. Komnas Perempuan telah mengkonfirmasi secara langsung kepada pendamping mengenai peristiwa tersebut. Apresiasi disampaikan atas gerak cepat Pemerintah Daerah Provinsi dan Kementerian Pendidikan dalam menangani siswi korban dan keluarganya agar memperoleh pemulihan  serta memproses dan menindak tegas jika ditemukan pelanggaran yang dilakukan pihak sekolah baik berbentuk kebijakan sekolah maupun tindakan kekerasan berupa pemaksaan. 

 

Komnas Perempuan mencatat, peristiwa serupa terus berulang dan banyak dialami oleh siswi maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai daerah sepanjang 2014 hingga saat ini, ditandai tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan  terhadap  penggunaan busana dari ajaran agama tertentu  oleh pihak sekolah. Pemaksaan busana berdasarkan ajaran salah satu agama di sekolah berkaitan dengan lahirnya kebijakan di daerah (perda dan perkada). Dikhawatirkan masih banyak lagi kebijakan mewajibkan penggunaan busana berdasarkan ajaran agama tertentu dan berlaku umum maupun khusus pemeluk agama tersebut di lingkungan pendidikan, lembaga pemerintahan, yang disertai sanksi dan berpotensi terus berulang. 

 

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa kebijakan daerah berdasarkan agama tertentu bertentangan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan lain-lain. Hingga tahun 2021, masih ada 62 kebijakan yang efektif berlaku terkait pengaturan busana yang memuat unsur diskriminasi, termasuk di antaranya pada 2021 Komnas Perempuan mencatat 13 daerah yang menerbitkan aturan yang mewajibkan PNS mengenakan seragam berdasarkan ajaran agama tertentu, yang hingga kini masih berlaku. Sebaliknya, ada beberapa fakta pelarangan penggunaan busana karena keyakinan agamanya. 

 

Komnas Perempuan menemukan fakta-fakta traumatis berkepanjangan, ketakutan, hilangnya rasa aman dan perlindungan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi yang disampaikan korban akibat pemaksaan busana. Hal ini juga terjadi pada anak-anak sekolah. Dikhawatirkan, banyak korban yang tidak melaporkan tindakan pemaksaan dan pelarangan tersebut, karena merasa takut dan tidak aman.  Di sisi lain, peristiwa berulang serupa yang terjadi sebelumnya mencerminkan masih kuatnya praktik politik identitas di tengah-tengah masyarakat yang berkorelasi dengan praktik diskriminasi. 

 

Komnas Perempuan telah mengupayakan advokasi para korban pemaksaan dan pelarangan busana beridentitas agama tertentu seperti terjadi di kota Padang dan Kabupaten Bantul, di antaranya dengan melakukan koordinasi dengan Kemendikbud, Ombudsman Sumbar, dan Komnas HAM Padang yang menghasilkan SKB Tiga Menteri. Pasca penolakan SKB Tiga Menteri, Komnas Perempuan melakukan koordinasi ulang dengan Kemendikbud.  Di sisi lain, BPIP telah menyanggupi untuk memfasilitasi pertemuan lanjutan soal penyikapan busana namun sampai sekarang belum terlaksana. Komnas Perempuan juga telah merekomendasikan kepada KPPPA tentang perubahan 18 kebijakan yang memuat pengaturan busana dan pertemuan lintas kementerian dan lembaga, termasuk dengan Kemendagri, Kemenkumham, KPPPA, Kemendikbud, Kemenag dan Komnas Perempuan. Selain itu, Komnas Perempuan juga melakukan kampanye nasional mempromosikan keberagaman tutup kepala Nusantara menjadi agenda penting Komnas Perempuan pada 2021 dan tahun ini mengusung kampanye busana-busana daerah. 

 

Komnas Perempuan juga mengapresiasi semua pihak yang turut mendukung upaya penanganan korban dan keluarga atas tindakan pemaksaan dan perundungan untuk menggunakan atau tidak menggunakan busana/seragam berdasarkan ajaran agama tertentu, termasuk melaporkan dugaan kasus serupa ke media massa maupun lembaga-lembaga otoritatif. Langkah-langkah ini akan menguatkan upaya pelaksanaan tanggung jawab negara dalam memajukan dan menegakkan hak-hak dasar warga sebagaimana dijamin dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945, yakni hak bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28I Ayat (2)), hak untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2)), memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya  (Pasal 28 E Ayat (1) dan Pasal 29), serta untuk bebas dari rasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28 G Ayat (1)). Busana juga terkait-paut dengan kebebasan berekspresi sebagai hak konstitusional. Ketika korban pemaksaan dan atau perundungan mengalami trauma berkepanjangan dan tak mau bersekolah, maka haknya atas pendidikan terhambat. Dalam kasus di lingkungan pendidikan, pemaksaan busana terkait identitas agama juga menghalangi penikmatan hak konstitusional anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B Ayat (2)).

 

Bertolak dari keprihatinan tersebut di atas dan momentum peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus, Komnas Perempuan  mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Agama, Kantor Staf Presiden, Kemenkopolhukham, Bappenas, Pemerintah Daerah, DPRD dan Masyarakat untuk segera mengambil langkah sistemik bagi pengaturan/kebijakan baik yang dikeluarkan Pemerintah Daerah, Sekolah Negeri atau lembaga negara yang memberlakukan pemaksaan busana/seragam didasarkan pada ajaran agama tertentu. 

 

 

Komnas Perempuan merekomendasikan:

  • Kantor Staff Presiden, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan 
    • Melakukan Koordinasi mendesak dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Riset, Teknologi dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta melibatkan lembaga nasional Hak Asasi Manusia (HAM) antara lain Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak untuk memberikan penyikapan secara sistemik pasca putusan Mahkamah Agung Nomor 17P/HUM/2021 mengenai penggunaan pakaian seragam pengaturan busana di lingkungan pendidikan negeri dan kantor pemerintahan.
    • Meneguhkan Kelompok Kerja Khusus untuk penanganan kebijakan diskriminatif untuk menyusun perencanaan sistemik dalam mengupayakan percepatan penanganan dan pencegahan kebijakan diskriminatif.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk: 
    • Mensosialisasikan dan mengawasi secara meluas larangan diskriminasi dan tindakan kekerasan atas dasar apa pun sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
    • Memperluas layanan dan informasi pengaduan di lingkungan pendidikan yang dapat di akses oleh siswa dan orangtua siswa yang mengalami bentuk diskriminasi dan tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan.
  • Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    • Meninjau ulang secara menyeluruh kebijakan di daerah, termasuk kebijakan yang dikeluarkan sekolah negeri untuk memastikan langkah koreksi pada praktik diskriminatif 
    • Mengupayakan promosi bagi pemenuhan HAM, penghormatan pada kebhinnekaan dan semangat kebangsaan, serta penghormatan HAM dan prinsip non diskriminasi   
  • Masyarakat 
    • Memanfaatkan mekanisme keluhan yang telah disediakan oleh kementerian/lembaga terkait, termasuk hotlineyang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk keluhan tentang kebijakan dan praktik diskriminatif di sekolah  untuk mendorong  perubahan, maupun layanan pengaduan yang disediakan oleh lembaga hak asasi manusia antara lain Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia 
    • Memperkuat pemahaman mengenai prinsip non diskriminasi dan tentang kebangsaan dan kebhinnekaan serta mendukung upaya korban untuk mengungkapkan pengalaman dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan,
    • Mengawal upaya mengatasi dan mencegah kebijakan diskriminatif dengan menggunakan mekanisme e-perda elektronik, judicial review, atau langkah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

    Narasumber:

    1.      Imam Nahe'i

    2.      Rainy Hutabarat

    3.      Veryanto Sitohang

    4.      Dewi Kanti

    5.      Alimatul Qibtyah

    6.      Andy Yentriyani


    Narahubung: +62 813-8937-1400


    Pertanyaan / Komentar: