...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Terkait Putusan MK Nomor 24/PUU-XX/2022: Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Potensial Memperkuat Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan yang Menikah Beda Agama

Siaran Pers Komnas Perempuan

Terkait Putusan MK Nomor 24/PUU-XX/2022


Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Potensial Memperkuat Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan yang Menikah Beda Agama


Jakarta, 6 Februari 2023



Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyesalkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 yang menolak permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada 31 Januari 2023.  Permohonan uji materiil yang diajukan oleh E. Ramos Petege ini merupakan kali kedua. Sebelumnya Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra juga mengajukan uji materiil ketentuan yang sama (Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014), yang menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menjadi permasalahan sosial dan hukum warga negara. Kedua putusan tersebut tidak mendasarkan pada berbagai masukan para pihak termasuk dari Komnas Perempuan. 


Komnas Perempuan memiliki perhatian khusus pada keberlakuan UU Perkawinan yang telah berlaku sepanjang 48 tahun sejak diundangkan di tahun 1974. Pengaturan usia perkawinan, pencatatan, pencegahan dan pembatalan perkawinan, dan putusnya perkawinan melalui pengadilan memberikan kontribusi signifikan pada upaya pemajuan HAM perempuan. Namun, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa pengaturan sejumlah pasal memuat diskriminasi baik secara langsung dan tidak lansung pada perempuan, disabilitas, serta kelompok minoritas agama, termasuk administrasi perkawinan beda agama. Pentingnya mempertimbangkan hak konstitusional perempuan dan dampak keberlakuan UU Perkawinan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, Komnas Perempuan dalam uji materiil ini telah menyampaikan pendapatnya dalam bentuk keterangan tertulis (ad informandum) kepada Mahkamah Konstitusi.  (Pendapat Komnas Perempuan dapat diakses di sini)


Pertimbangan Hakim mencakup penafsiran terhadap hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1), pembatasan hak kebebasan beragama dalam bidang perkawinan, dan pemaknaan pasal 35 UU No. 23 tahun 2006 jo UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, pada perkawinan beda agama (Par.3.2.4). Terhadap pertimbangan tersebut, Komnas perempuan menilai bahwa Hakim Konstitusi telah mengabaikan realitas perkawinan beda agama di Indonesia dan penyelundupan hukum yang dilakukan agar perkawinan dapat dicatat. Asumsi bahwa perkawinan beda agama tidak melahirkan tujuan perkawinan dan membahayakan dengan mengutip peryatakan satu kelompok dengan mengabaikan pandangan kelompok-kelompok lain, merupakan sikap yang tidak berhati-hati. Karena tidak tercapainya tujuan perkawinan dipengaruhi berbagai faktor dan dapat terjadi pada perkawinan seagama sekalipun. Hakim Mahkamah Konstitusi juga mengabaikan tafsir keagamaan yang memperbolehkan perkawinan beda agama, dan hanya merujuk pada tafsir keagamaan mayoritas. 


Komnas Perempuan menyayangkan  Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan Pandangan Komnas Perempuan yang telah memberikan keterangan tertulisnya (Ad Informandum) yang diserahkan kepada Mahkamah konstitusi pada 7 November 2022, dengan tanda terima no.17-39/PUU/PAN.MK/AP3. dan  telah menyampaikan kepada Publik dalam  rilis yang disiarkan pada 24 November 2022, bahwa pandangan Komnas Perempuan telah disampaikan kepada Mahkamah konstitusi secara resmi. Oleh karenanya, Komnas Perempuan menyayangkan ketiadaan pertimbangan hambatan administrasi perkawinan bagi perempuan yang menikah beda agama dengan pasangannya.    


Komnas Perempuan tetap pada pendapat bahwa frasa “membentuk keluarga” dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan bentuk realisasi atau pelaksanaan dari “setiap orang berhak” dan tindakan “membentuk keluarga” adalah pada kehendak bebas (free consent) warga negara sebagai pemegang hak dasar (right holder) yang secara asasi masuk dalam ranah hukum privat atau keperdataan. Oleh karena itu, kehadiran hukum negara dalam proses “membentuk keluarga” adalah bersifat komplemen dan pada posisi bertindak secara pasif untuk menghormati terhadap hak sipil kewarganegaraan. Sekalipun tidak ada pelarangan secara eksplisit terhadap pihak-pihak untuk melakukan perkawinan antar agama, namun intepretasi agama mempengaruhi cara bekerja dari aparatur negara untuk membatasi perkawinan beda agama. Di sisi lain, Komnas Perempuan berpendapat bahwa perkawinan beda agama juga beririsan dengan hak dasar kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi RI.  


Komnas Perempuan mencatatkan bahwa perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama. Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukan bahwa perempuan yang menikah beda agama  dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga. Kekerasan yang dilakukan oleh keluarga antara lain berbentuk memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan.


Dengan demikian, perempuan dalam posisi subordinat baik secara sosial maupun tafsir keagamaan, kondisi itu sangatlah diskriminatif dan penyebab kekerasan terhadap perempuan. Pertimbangan Hakim MK mendorong dan membakukan: (i) Negara melegalkan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas, termasuk untuk mempertahankan agama/keyakinannya; (ii) Negara melegalkan kekerasan terhadap perempuan untuk melakukan perkawinan dan berkeluarga; dan (iii) Negara melegalkan kekerasan terhadap anak, baik anak laki-laki maupun perempuan yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak ada kepastian hukum. Komnas Perempuan mengingatkan bahwa dalam  Sidang Siklus IV Universal Periodic Review, Indonesia juga mendapat rekomendasi yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu memastikan adanya kebijakan/ perundang-undangan yang melindungi dari diskriminasi atau penindasan atas dasar etnisitas, agama, gender, orientasi seksual dan lain-lainya (Rekomendasi 6.70) 


Berdasarkan hal tersebut diatas Komnas Perempuan menyampaikan:

  1. DPR dan Pemerintah melakukan kajian yang lebih mendalam dan kompheresif tentang realita perkawinan beda agama, dan dampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Dialog konstruktif dengan melibatkan banyak pihak termasuk para perempuan yang mengalami hambatan administrasi perkawinan karena berbeda agama, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada semua warga negara.

  2. Merekomendasikan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan saran dan masukan dan Lembaga Negara Hak Asasi Manusia (Komnas HAM, Komnas Perempuan,KPAI dan KND) dengan memanggil sebagai pihak terkait dan/atau Ahli untuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan penghormatan, pelindungan dan  pemenuhan hak asasi manusia khususnya perempuan.



Narasumber:

  1. Veryanto Sitohang

  2. Imam Nahe’i

  3. Theresia Iswarini

  4. Siti Aminah Tardi

  5. Rainy M. Hutabarat

  6. Olivia Ch. Salampessy


Narahubung: 0813-8937-1400



Pertanyaan / Komentar: