Siaran Pers
MEMPERINGATI HARI INTERNASIONAL MENENTANG HUKUMAN MATI
HAK HIDUP MERUPAKAN HAK TERBERI:
BERIKAN GRASI BAGI PEREMPUAN TERPIDANA MATI
Jakarta, 10 Oktober 2020
Tanggal 10 Oktober merupakan peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati yang dimulai sejak 2003 sebagai upaya menyuarakan penghapusan pidana mati terus-menerus di seluruh dunia. Pada peringatan tahun ini Komnas Perempuan kembali menegaskan sikap bahwa hak hidup adalah hak asasi paling fundamental yang tidak boleh dikurangi sedikit pun dalam situasi apa pun. Hak hidup merupakan hak terberi, sebagai prasyarat utama penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia lainnya. Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan berpandangan bahwa praktik hukuman mati merupakan puncak dari kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang berlapis dan berinterseksi dengan sejumlah isu lain, seperti feminisasi kemiskinan, stigma, perdagangan orang, sistem hukum yang tidak berpihak pada perempuan korban serta pelanggaran hak atas peradilan yang adil.
Menurut Koalisi Internasional Menentang Hukuman Mati (2020), di tingkat global tercatat tren menghapuskan hukuman mati. Setidaknya 106 negara telah menghapus secara total hukuman mati, 8 negara menghapus hukuman mati untuk pidana biasa, 28 negara mengakui tetapi tidak menerapkan hukuman mati. Sedangkan 56 negara, termasuk Indonesia masih menerapkan hukuman mati.
Hukuman mati memiliki dimensi yang khas dalam pengalaman perempuan. Komnas Perempuan memantau, baik yang terjadi di dalam negeri maupun perempuan pekerja migran Indonesia di luar negeri terhadap perempuan pekerja migran Indonesia, hukuman mati itu berangkat dari lapisan kekerasan berbasis gender yang dialami sejak dari rumah mereka sendiri dan yang terus berakumulasi hingga ke tempat kerja dan ruang-ruang sosial lainnya. Hal tersebut terjadi baik terhadap mereka yang dihukum mati terkait pidana pembunuhan maupun perdagangan narkoba. Pengalaman kekerasan berbasis gender yang berlapis tersebut kemudian berkelit-kelindan dengan persoalan pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil, serta sistem hukum yang belum berpihak pada perempuan; antara lain pelanggaran hak untuk mendapat bantuan hukum yang efektif dan berkualitas, hak didampingi penerjemah di setiap tahap pemeriksaan, hak untuk mendapatkan informasi dan memahami isi dakwaan, serta hak untuk bebas dari penyiksaan. Kondisi tersebut juga diperburuk dengan tidak diadopsinya analisis gender dalam pembuktian persidangan sehingga kekerasan berbasis gender yang dialami terdakwa yang berujung pada tindak pidananya yang disidangkan itu tidak menjadi pertimbangan dalam memutus perkara perempuan berhadapan dengan hukuman mati.
Komnas Perempuan secara khusus menyoroti interseksi antara perdagangan orang dan kejahatan narkoba. Terdapat bentuk eksploitasi baru dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu untuk tujuan penyelundupan narkoba yang belum dikenali oleh sistem hukum kita. Akibatnya, sejumlah perempuan yang sebetulnya adalah korban perdagangan orang harus berhadapan dengan hukuman mati. Lebih jauh, pemantauan Komnas Perempuan juga menunjukkan peran perempuan dalam sindikasi kejahatan narkoba berada di lapis paling luar dan lemah (powerless), namun seringkali dipaksa atau dimanipulasi melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang berisiko langsung untuk tertangkap dan berhadapan dengan hukuman mati. Hal ini tampak dari kasus terpidana mati Mari Jane Veloso (MJV) dan Merry Utami (MU). MJV ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010 setelah ditemukannya 2,6 kg heroin di dalam koper yang dibawanya dari Malaysia. MJV dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman pada 22 Oktober 2010. Berbagai upaya hukum diajukan hingga PK, tetapi hukuman tersebut belum berubah. Hasil Pencarian fakta oleh Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa MJV adalah korban dari TPPO dan pada 29 April 2015 MJV mendapatkan penangguhan eksekusi di menit-menit terakhir. Pada 2019, Mahkamah Agung Filipina memberikan kesempatan kepada MJV untuk menyampaikan kesaksian tertulis untuk pengadilan atas dugaan tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh Christina P. Sergio dan Julius L. Lacanilao. Kesaksian MJV diharapkan dapat mengonfirmasi bahwa ia adalah korban perdagangan orang dan oleh karena itu tidak dapat dipidana. Namun, sampai saat ini pemberian kesaksian MJV belum terlaksana. Untuk kasus MU, ia divonis pidana mati karena kedapatan membawa heroin 1,1 kilogram di dalam tasnya saat tiba di Bandara Soekarno Hatta, sepulang dari liburan bersama Jerry pacarnya di Nepal. Tas yang dibawanya merupakan titipan untuk disampaikan kepada Jerry yang memilih pulang terlebih dulu. Pengalaman Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami MU dalam perkawinan sebelumnya, menyebabkannya Jerry memanipulasi harapan dan perasaan MU. Kini MJV dan MU tengah menanti putusan Grasi dari Presiden RI, Joko Widodo.
Masa menunggu pelaksanaan pidana mati merupakan bentuk penyiksaan yang telah menyebabkan para terpidana mati mengalami gangguan kesehatan mental. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai bentuk penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. MJV dan MU pun sudah menjalani pidana lebih dari 10 tahun sehingga menjadi penting untuk mengabulkan grasi sebagai komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun.
Berkaitan dengan hal di atas dan dalam peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2020, Komnas Perempuan menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Pemerintah RI dan DPR RI perlu melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sembari meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan adil;
- Presiden RI segera memberikan Grasi kepada dua terpidana mati perempuan yaitu Mary Jane Veloso dan Meri Utami yang merupakan korban dari sindikat perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi perdagangan narkoba;
- Pemerintah dan DPR RI perlu melakukan reformasi kebijakan anti hukuman mati sebagai bentuk komitmen negara dalam melaksanakan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan;
- Kementerian Luar Negeri terus meningkatkan layanan bantuan hukum dan psikososial terhadap perempuan pekerja migran Indonesia yang berhadapan dengan hukuman mati di luar negeri;
- Jaksa Agung RI dan aparat terkait perlu mendukung dan memfasilitasi pengambilan kesaksian MJV sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini juga menjadi wujud komitmen Indonesia pada perjanjian internasional Protokol Palermo yaitu Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, selain Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 2009;
- Organisasi masyarakat sipil perlu terus menyuarakan dan mendukung penghapusan hukuman mati di Indonesia seturut mandat UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia.
Kontak Narasumber:
Tiasri Wiandani
Siti Aminah
Andy Yentriyani
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)
Silahkan mengunduh
Siaran Pers
Sumber ilustrasi:
https://web.facebook.com/habibiecenter/photos/a.10150253456715627/10159404012500627/?type=3&theater