Siaran Pers
Peringatan 16 Tahun Pembunuhan Munir
Perkuat Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM dan Perlindungan Pembela HAM
Jakarta, 7 September 2020
Peringatan 16 Tahun Pembunuhan Munir memiliki dua signifikansi penting bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, menjadi pengingat untuk memajukan upaya penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, untuk menguatkan jaminan perlindungan bagi pembela HAM, dengan perhatian khusus pada kerentanan Perempuan Pembela HAM (PPHAM).
Munir Said Thalib dikenal sebagai sosok Pembela HAM yang berintegritas tinggi dalam memastikan hak-hak korban diakui dan dipenuhi. Ia kokoh dalam membela HAM, terlebih bagi masyarakat kecil dan dimarginalkan, seperti dalam kasus penggusuran, perburuhan serta petani. Juga, memiliki pemahaman mumpuni pada kerentanan-kerentanan khusus yang dihadapi oleh korban, termasuk perempuan. Kasus Marsinah, seorang aktivis buruh perempuan yang dibunuh dan kemudian dibela oleh Munir menjadi bukti betapa tingginya komitmen Munir pada penegakan hak asasi perempuan. Demikian juga dalam kapasitasnya sebagai anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Timor Timur maupun dalam advokasi tentang pelanggaran HAM di berbagai wilayah, terutama pernah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), yaitu Aceh dan Papua. Munir adalah laki-laki aktivis yang pertama dan selalu mengangkat pengalaman khas perempuan dalam situasi konflik bersenjata, mengemukakan keterhubungan tindak kekerasan terhadap perempuan dengan kekerasan negara, dan sebagai bagian dari strategi penundukan dan kemenangan. Salah satu pernyataannya Munir terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah, “Hak asasi manusia dalam konteks solidaritas kemanusiaan telah menciptakan bahasa universal dan setara yang melampaui ras, gender, sekat-sekat etnik atau agama.” Kematian Munir, karenanya, merupakan kehilangan yang besar bagi gerakan perempuan di tanah air.
Selama 16 tahun, keluarga dan gerakan masyarakat sipil tak henti memperjuangkan pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Upaya ini terutama dilakukan dengan mendorong pemerintah untuk segera menindaklanjuti rekomendasi dari Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. Namun, laporan TPF Munir sempat diberitakan hilang. Karenanya, salah satu rekomendasi TPF agar pemerintah mempublikasi hasil pencarian fakta itu belum ditindaklanjuti. Sementara, rekomendasi untuk pemeriksaan sejumlah nama yang teridentifikasi di dalam kasus tersebut pun tertunda. Di tengah situasi ini, upaya lain yang dilakukan adalah pendidikan publik tentang berbagai pelanggaran HAM yang belum dituntaskan. Istri alm Munir, Suciwati, menjadi motor sekaligus inspirasi banyak keluarga dalam menyikapi stagnansi dari kasus yang mereka alami. Aksi Kamisan yang menjadi ruang solidaritas lintas komunitas korban dan masyarakat serta aktivitas kampanye di Omah Munir menjadi saksi tentang kegigihan perjuangan yang penting ini.
Peringatan 16 tahun pembunuhan Munir juga mengingatkan agenda perlindungan dan dukungan bagi Pembela HAM, yang kondisinya hingga kini juga belum banyak perubahan. Kasus-kasus kriminalisasi masih dihadapi, demikian juga dengan berbagai intimidasi. PPHAM menghadapi kerentanan yang khas karena gendernya, seksualitasnya atau identitas lain yang melekat pada dirinya sebagai perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2019 sekurangnya terdapat 7 (tujuh) pelaporan oleh PP HAM, dimana 3 (tiga) orang menghadapi kriminalisasi, dan bahkan 2 (dua)orang kemudian dipidana karena aktivismenya. Intimidasi khas yang dihadapi termasuk pelecehan seksual dan ancaman yang diarahkan dalam kapasitasnya sebagai istri ataupun ibu. Intimidasi ini terjadi baik di ruang luring maupun daring, dan tetap dihadapi di masa pandemi. Kondisi ini tentunya bertentangan dengan jaminan Konstitusi, khususnya Pasal 28C Ayat 2 mengenai hak untuk memperjuangkan hak dan Pasal 28 G Ayat 1 tentang hak untuk jaminan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. Secara internasional, PPHAM mendapatkan perhatian melalui Deklarasi Marakesh yang disepakati oleh negara-negara anggota PBB pada Oktober 2017. Deklarasi Marakesh memandatkan kepada negara anggota untuk terus mempromosikan HAM dan peran PPHAM.
Menyikapi Peringatan 16 Tahun Pembunuhan Munir ini, Komnas Perempuan mendorong agar:
- Pemerintah segera menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir dan juga menyegerakan penuntasan segala tindak pelanggaran HAM di masa lalu dengan memberikan perhatian khusus pada kebutuhan pemulihan perempuan korban dan keluarganya.
- DPR RI dan Pemerintah membentuk payung hukum yang meneguhkan jaminan hak konstitusional untuk memperjuangkan hak korban dan keluarganya, termasuk dengan memberikan pengakuan akan pentingnya kerja-kerja dan kepemimpinan pembela HAM dalam penegakan HAM di Tanah Air.
- Kepolisian RI untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Pembela HAM dan sebaliknya memberikan perlindungan dalam aksi-aksi damai perjuangan pembelaan hak, dengan memperhatikan kerentanan khas yang dihadapi oleh Perempuan Pembela HAM, serta menyelidiki dan menghukum siapa pun pelaku berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan pembela HAM sebagai bagian dari perlindungan bagi perempuan pembela HAM.
Kontak Narasumber
Andy Yentriyani
Theresia Iswarini
Rainy Hutabarat
Kontak Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)
Sumber Ilustrasi:
https://www.qureta.com/post/munir-dan-perppu-no-2-tahun-2017