Siaran Pers Peringatan Hari Buruh Internasional 2020
Pastikan Penyikapan Khusus pada Kerentanan Pekerja Perempuan
dalam Penanganan Pandemi Covid-19
Jakarta, 1 Mei 2020
Perempuan pekerja Indonesia baik di sektor formal, informal maupun di luar negeri, perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi. Pada setiap sektor, perempuan pekerja memiliki kerentanan yang khas karena gendernya maupun kebutuhan khusus karena ia perempuan. Namun hingga kini, jaminan perlindungan hukum yang tersedia masih kerap dilanggar, sementara jangkauan perlindungan pun masih mengabaikan sejumlah jenis pekerjaan. Kerentanan perempuan pekerja semakin tinggi terutama terkait potensi eksploitasi, diskriminasi, kekerasan dan pengabaian di masa pandemi yang memiliki dampak kompleks termasuk di aspek ekonomi, politik dan sosial budaya.
Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei 2020 ini diperingati di tengah-tengah pandemi COVID-19. Dampak pandemi ini dirasakan seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia, termasuk pekerja perempuan baik di sektor formal maupun informal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2019 sebanyak 133,56 juta orang. Dari angka tersebut, partisipasi angkatan kerja masih didominasi oleh laki- laki yakni sebanyak 83, 13% dari total populasi laki- laki usia kerja. Sementara itu, partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51,89%. Data juga menyebutkan bahwa lebih dari separuh angkatan kerja atau 70,49 juta atau 55,72% bekerja pada sektor informal di mana 61% adalah pekerja perempuan. Selain jurang partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki yang cukup lebar, perbedaan upah dan diskriminasi juga mempertajam jurang berbasis gender.
Pekerjaan sektor informal yang banyak diampu pekerja perempuan seringkali masih dianggap sebagai pekerjaan yang bernilai ekonomi dan berketrampilan rendah. Termasuk di dalamnya pekerjaan yang bersinggungan dengan pekerjaan pengasuhan (caring-work) dan rumah tangga. Akibatnya pekerjaan sektor informal masih minim pengakuan dan perlindungan hukum dan seringkali dipinggirkan dari pasar tenaga kerja. Dalam situasi bencana pandemi, perempuan pekerja di sektor ini semakin rentan dalam hal keselamatan kerja serta keberlanjutan status kerja yang berdampak pada kondisi ekonomi dan kehidupan mereka. Kementerian Tenaga Kerja mencatat, per tanggal 9 April 2020 sebanyak 160.067 pekerja (termasuk pekerja perempuan) telah mengalami PHK pada masa pandemi ini. Mereka potensial kesulitan mengakses bantuan sosial selama masa pandemi akibat kartu pra kerja yang tidak inklusif dan tidak sesuai kebutuhan mereka.
Pandemi COVID -19 juga berdampak serius terhadap kehidupan ribuan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Bentuk-bentuk kerentanan di saat pandemi ini merupakan kelanjutan dari kerentanan yang sudah berlangsung selama ini, antara lain minimnya fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja, diskriminasi dan pengabaian yang berkaitan dengan status pekerja migran yang bukan warga negara dan cara pandang bahwa pekerja migran adalah pekerja sekali pakai, sehingga dapat dideportasi dan diperlakukan semena-mena. Pada masa bencana pandemi, kerentanan ini bertambah dengan risiko terpapar di tempat kerja dan menjadi pemapar COVID-19 saat kembali ke daerah asal. PRT migran juga menghadapi beban kerja tambahan dan kerentanan kesehatan fisik dan mental akibat kebijakan pembatasan sosial, ancaman kelaparan akibat kesulitan mengakses kebutuhan pangan, ketiadaan bantuan sosial dan kemungkinan tidak bisa pulang akibat pembatasan gerak lintas negara.
Sementara itu, Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 mendokumentasikan sejumlah kasus diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh pekerja perempuan sepanjang tahun 2019. Kasus-kasus tersebut setidaknya melibatkan empat (4) perusahaan yang melanggar hak maternitas pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan. Bentuk pelanggaran yang dialami antara lain, pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan, serta perampasan hak cuti haid.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa pemenuhan dan perlindungan hak maternitas adalah bagian dari pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara dalam hal ini pekerja perempuan sebagaimana termaktub dalam UUD NKRI tahun 1945 Pasal 27 Ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28D ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Perlindungan hak maternitas juga telah ditegaskan pada Konvenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang RI No. 11 tahun 2005. Pasal 10 ayat (2) Kovenan ini menyebutkan “Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka waktu itu para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai”. Hak ini juga dijamin dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 5, 6, 76, 82, 83, 84, 93, dan 153 yang mengatur tentang perlindungan dari diskriminasi, cuti melahirkan, hak menyusui, melahirkan atau keguguran, dan larangan pemutusan hubungan kerja saat cuti. Perlindungan hak-hak ini di masa wabah sejalan dengan Rekomendasi Umum Konvensi Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) 37 yang menyatakan agar pemerintah memberi kepedulian khusus terhadap kelompok rentan, di antaranya perempuan pekerja, di masa darurat bencana.
Berkaitan dengan kondisi di atas, maka pada peringatan Hari Buruh Internasional 2020 yang berlangsung pada masa pandemi, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi agar:
- Pemerintah memberi perhatian khusus terhadap kerentanan pekerja perempuan semasa pandemi ini, termasuk dengan menyediakan skema bantuan sosial khusus pekerja perempuan lintas sektor dan lintas negara dalam program jaring pengaman sosial;
- Pemerintah pusat dan daerah memastikan penyediaan layanan bagi pekerja migran Indonesia baik yang masih bekerja di luar negeri, maupun yang sedang atau sudah dalam proses repatriasi untuk keselamatan dan kesehatan mereka selama pandemi Covid-19 ini;
- Pemerintah dan penegak hukum untuk memenuhi perlindungan hak maternitas pekerja perempuan dan pencegahan diskriminasi dan kekerasan, termasuk dengan melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar hak maternitas;
- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI segera meratifikasi Konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Hak Maternitas, Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT, Konvensi ILO 177 tentang Kerja Rumahan dan Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja, serta RUU untuk perlindungan pekerja rumah tangga.
Kontak Narasumber Komisioner:
Tiasri Wiandiani
Rainy Hutabarat
Theresia Iswarini
Nara Hubung:
Yulita (08562951673)