Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Industri Film Nasional: Sebuah Kemendesakan
Jakarta, 30 Maret 2022
Mengembangkan mekanisme pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual adalah kebutuhan mendesak di berbagai sektor,
termasuk di industri film nasional. Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian
korban untuk mengungkapkan kasusnya dan mendukung langkah-langkah yang telah
diinisiasi oleh komunitas film untuk mengembangkan ruang aman bagi korban
kekerasan seksual, khususnya perempuan, untuk mengungkapkan pengalamannya dan
memperoleh dukungan pemulihan.
Apresiasi dan dukungan Komnas Perempuan
ini disampaikan dalam rangka peringatan Hari Film Nasional. Presiden B. J.
Habibie meresmikan Hari Film Nasional pada tanggal 30 Maret 1999 melalui
Keputusan Presiden (Keppres) No.25 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 33 Tahun
2009 terkait revisi UU No. 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman. Peringatan ini
dibuat sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri, memotivasi para insan
film Indonesia serta meningkatkan
prestasi film Indonesia yang terus berkembang di tingkat regional, nasional dan
internasional. Hari Film Nasional merupakan momentum untuk mengapresiasi
seluruh pihak dalam dunia perfilman yaitu
segala elemen yang berhubungan dengan proses produksi, distribusi, eksibisi,
apresiasi, pendidikan, dan pengarsipan film.
Industri dan komunitas
film Indonesia mencatat adanya kekerasan terhadap perempuan pekerja film. Dalam
beberapa tahun terakhir, para korban mulai mengungkapkan peristiwa kekerasan
seksual yang dialaminya dan ini mengindikasikan adanya kondisi kerja bidang
perfilman yang dapat berkontribusi pada kerentanan perempuan pada diskriminasi
dan kekerasan seksual. Pengungkapan korban tidak mudah; ia bisa berada dalam
situasi yang membuatnya merasa terintimidasi, dengan ancaman langsung, dikecam
publik atau pendukung (fans) pelaku dan diadukan balik oleh pelaku
dengan tuduhan pencemaran nama baik, tidak dilibatkan dalam proyek atau
kegiatan perfilman, dan dikucilkan. Padahal ia juga harus menghadapi dampak
kekerasan seksual yang dialami, seperti rasa malu, menyalahkan diri sendiri, takut
dan gangguan kesehatan mental yang berkelanjutan dan mempengaruhi pekerjaan dan
kehidupannya. Dalam kondisi ini, korban
kerap kemudian menarik pelaporannya dan/atau menutup diri.
Berdasarkan catatan
tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis gender
terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat
50% jika dibandingkan tahun 2020. Kasus kekerasan seksual termasuk yang relatif
masih tinggi.
Kekerasan Seksual di
ranah personal sebanyak 1.149 kasus (25%), sementara di ranah
komunitas kasus kekerasan di dunia siber
menempati urutan tertinggi yaitu berjumlah 875 kasus (69%), dan kasus
kekerasan di tempat kerja berjumlah 108 kasus (8%). Kasus kekerasan seksual
yang terjadi di industri perfilman merupakan bagian dari kasus kekerasan yang
terjadi di tempat kerja. Sayangnya belum ada data pasti mengenai kekerasan
terhadap perempuan pekerja film hingga saat ini.
Budaya patriarki dan
timpangnya relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadi faktor penyebab
sulitnya korban bicara mengingat pelaku, selain dari rekan kerjanya, bisa jadi
berasal dari kalangan elit perfilman yang sulit disentuh hukum sehingga
menyulitkan proses penanganan. Sementara itu, akses perlindungan, keadilan dan
pemulihan korban tidak terpenuhi secara optimal karena tidak didukung sistem
hukum yang komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Di dalam industri dan
komunitas film, pemahaman atas kekerasan seksual juga masih rendah, sehingga
belum ditanggapi secara serius dan sistematis. Sesungguhnya, sebagai bagian dari industri film
yang terikat dalam kerjasama bisnis, penghormatan terhadap hak asasi manusia
(termasuk hak asasi perempuan) merupakan syarat mutlak yang harus
diimplementasikan.
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah lembaga negara hak asasi
manusia yang memiliki mandat untuk menciptakan situasi yang kondusif untuk
upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, sesuai dengan Peraturan
Presiden No.65 Tahun 2005. Melalui siaran pers ini, Komnas Perempuan menyatakan
apresiasi terhadap keberanian korban kekerasan seksual untuk mengungkap
kasusnya, termasuk yang di lingkungan perfilman . Dalam kesempatan yang sama,
Komnas Perempuan sekaligus ingin mengapresiasi para pelaku di industri dan
komunitas film yang memberikan dukungan terhadap korban dan mendorong adanya
kode etik berkarya serta mekanisme pencegahan kekerasan seksual dan penanganan diskriminasi di lingkungannya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2011
mengeluarkan Panduan PBB mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
menempatkan korporasi (bisnis) sebagai aktor baru untuk mengemban peran dan
tanggung jawab dalam pemajuan HAM. Kerangka bisnis dan hak asasi manusia dalam
panduan tersebut menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak
asasi manusia termasuk dari pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok
bisnis. Perusahaan bertanggung jawab
untuk tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan
menghindari, mengurangi atau mencegah dampak negatif dari operasionalisasi
korporasi dan menekankan pentingnya aspek pemulihan yang efektif melalui
mekanisme yudisial maupun non yudisial.
Selain itu, Komnas Perempuan dalam
kajiannya terkait Konvensi ILO (KILO) 190 dan Rekomendasi 206 tentang kekerasan
dan pelecehan di dunia kerja menekankan bahwa kewajiban negara untuk menghapus
diskriminasi dan kekerasan berbasis gender termasuk pelecehan seksual terhadap
pekerja perempuan di dunia kerja. Sayangnya, hingga saat ini Pemerintah
Indonesia belum meratifikasi KILO 190 dan Rekomendasi 206 sehingga jaminan
perlindungan dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pekerja dan di
tempat kerja belum dapat diwujudkan. Ratifikasi ini akan berdampak terhadap
kenyamanan dan keamanan perempuan dalam bekerja, termasuk di industri
perfilman.
Untuk itu, dalam rangka
memperingati Hari Film Nasional tahun 2022, Komnas Perempuan merekomendasikan:
- Pemerintah
(Presiden RI dan DPR RI) agar
mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan meratifikasi KILO 190 dan Rekomendasi 206.
- Badan
Perfilman Indonesia membuat kebijakan pencegahan dan penanganan kasus
kekerasan seksual di industri film dengan mengacu pada kerangka bisnis dan
hak asasi manusia.
- Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Ditjen Kebudayaan mengintegrasikan perlindungan
perempuan secara khusus dari tindak kekerasan seksual di setiap kegiatan
kebudayaan dan perfilman.
- Kepolisian
Republik Indonesia dan jajarannya melindungi perempuan korban kekerasan
seksual di komunitas dan industri film, dengan melakukan terobosan hukum
mengungkap kasus kekerasan seksual dan memprosesnya termasuk tidak
melakukan kriminalisasi terhadap korban yang dilaporkan balik oleh
tersangka.
- Komunitas dan industri film, media dan lembaga layanan terus memberikan dukungan termasuk pemulihan untuk korban kekerasan seksual di lingkungannya
Narasumber:
- Veryanto
Sitohang
- Theresia
Iswarini
- Satyawanti Masudi
- Andy
Yentriyani
- Olivia Chadidjah Salampessy
Narahubung: 0813-8937-1400