Siaran Pers Komnas Perempuan
Tentang Kasus Kekerasan Seksual terhadap 13 Santriwati dan Pidana Mati bagi Pelaku
Apresiasi atas Keputusan Pengadilan Bandung dalam Pemenuhan Hak-Hak 13 Santriwati Korban Kekerasan Seksual dan Mendorong Pidana Penjara Seumur Hidup
Komnas Perempuan terus memantau
kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati
pondok pesantren di Bandung
dengan pelaku HW, guru pesantren, yang menjadi sorotan publik sejak
kasusnya disiarkan di berbagai media massa di Tanah Air pada 2021. Kasus kekerasan
seksual 13 santriwati merupakan bagian dari fenomena gunung es terkait
kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama. Kasusnya
sendiri sudah berlangsunng sejak 2016 dan baru terungkap pada 2021. Sembilan
bayi lahir akibat kekerasan seksual tersebut.
Sejak kasus-kasusnya
terungkap, wacana hukuman mati muncul seiring tuntutan publik untuk pemenuhan
hak-hak 13 santriwati korban kekerasan seksual. Wacana tersebut tak hanya
bergulir di media massa, juga menjadi topik perbincangan dalam berbagai
webinar. Komnas Perempuan menerima
permintaan wawancara dari berbagai media dan menjadi narasumber yang
diselenggarakan lembaga pendidikan tinggi dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam pemantauan Komnas
Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama
tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuan
juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan seksual. Pertama, relasi kekuasaan berlapis
antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki
pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, publik
yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat.
Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun
posisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan
mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual
yang dialaminya. Di tengah-tengah kerentanan-kerentanan ini, Komnas Perempuan
mengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya untuk bersuara serta pendamping
yang setia memfasilitasi agar kebenaran kasus terungkap.
Atas putusan pidana
mati, sejak semula Komnas Perempuan telah menyampaikan pandangannya melalui
media massa dan webinar yang didasarkan prinsip dan norma hak asasi manusia
(HAM) internasional dan perundang-undangan nasional. Hak untuk hidup merupakan
norma dasar dalam instrumen HAM internasional maupun nasional. Penghormatan
terhadap hak atas hidup adalah komitmen global untuk menghentikan segala bentuk
penghilangan nyawa manusia di seluruh dunia, seperti pembunuhan, honour
killing, femisida, genosida dalam konteks perang dan atau konflik sosial
bersenjata dan penghukuman mati. Atas putusan pidana
mati terhadap HW dan di tengah-tengah tuntutan publik agar HW dihukum mati, Komnas
Perempuan mendorong pengadilan untuk mempertimbangkan sanksi hukuman penjara
seumur hidup seturut dengan prinsip dan norma HAM internasional. Menolak
hukuman mati bukan berarti tidak mendukung korban. Deklarasi Universal HAM Pasal
3 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan
sebagai individu” (UU No. 39/1999 tentang HAM); Pasal 9 berbunyi, “Setiap
orang berhak untu hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.” Pasal 33 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.” Juga Kovenan Hak
Sosial Politik. (a) Pasal 6: “Setiap
manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya”. (b) Pasal 7. “Tidak
seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia”.
Komnas Perempuan mengapresiasi
putusan Pengadilan Bandung menyangkut hak atas pemulihan, restitusi dan hak para
korban dalam memberikan persetujuan untuk perawatan dan pengasuhan anak. Hakim
banding mengoreksi bahwa restitusi adalah hak para korban dan merupakan kewajiban
pelaku untuk memulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami para korban, dengan
biaya yang bersumber dari kekayaan pelaku dan bukan negara. Dengan mengoreksi
sebagai hak korban dan bukan pidana tambahan maka putusan maksimal dapat ditetapkan sebagai pemenuhan kewajiban
membayar restitusi. Demikian juga halnya untuk perawatan dan pengasuhan
anak-anak, menjadikan persetujuan korban dan keluarganya sebagai prasyarat
sebelum anak-anak yang lahir dari pemerkosaan/kekerasan seksual diasuh oleh negara.
Restitusi akan digunakan untuk memenuhi biaya hidup anak-anak korban dan biaya
pendidikan hingga mereka dewasa. Putusan ini sejalan dengan amanat RUU Tindak
Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tentang
pemulihan dan restitusi dan berkontribusi pada perumusan restitusi dalam UU TPKS
yang disahkan pada 12 April 2022 yang lalu.
Narasumber:
1.
Rainy
Hutabarat
2.
Veryanto
Sitohang
3.
Siti Aminah Tardi
Narahubung:
0813-8937-1400