Komnas Perempuan bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berdialog mengenai Laporan Pemantauan Penerapan Mekanisme Keadilan Restoratif dan Sejenisnya pada Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Rabu (6/12/2023).
Hadir dari Kemenkumham Gusti Ayu Putu Suwardani, Direktur Diseminasi dan Penguatan HAM dan didampingi oleh Novie Soegiharti selaku Penyuluh Hukum Ahli Madya, Bertha E. S, Penyuluh Hukum Ahli Madya, Nur Fitriyati, Penyuluh Hukum Muda, Lia Mariani-Penyuluh Hukum Muda. Sementara dari Komnas Perempuan hadir Theresia Iswarini, Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan, Maria Ulfah Anshor, Anggota Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, serta 3 (tiga) orang Badan Pekerja.
Theresia Iswarini menyampaikan bahwa pemantauan ini dilaksanakan di 9 provinsi, 23 kabupaten/kota dan melibatkan 499 narasumber dari berbagai unsur, seperti Aparat Pengak Hukum (APH), lembaga layanan pemerintah dan masyarakat, hingga korban. Institusi Penegak Hukum (IPH) seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan memiliki regulasi masing-masing mengenai keadilan restoratif. Tetapi dari regulasi yang sudah ada, belum ada yang menaruh perhatian spesifik terhadap pemulihan korban termasuk pengawasan pasca putusan. Selain itu, temuan pemantauan menunjukan terdapat kasus kekerasan seksual yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif, dan jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS bahwa perkara tindak pidana kekerasa seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.
Maria Ulfah Anshor melanjutkan bahwa perlu ada penguatan kapasitas bagi petugas penerima pengaduan di lembaga layanan pemerintah karena salah satu fungsi UPTD PPA yaitu pelayanan mediasi.
“Mediasi ada keserupaan dengan keadilan restoratif, tetapi sebetulnya berbeda,” tegas Maria.
Penyelesaian kasus dengan mekanisme keadilan restoratif dipilih karena dianggap lebih cepat. Untuk lembaga layanan masyarakat penting juga memiliki kapasitas untuk memahami mana kasus yang dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif dan mana kasus yang harus diselesaikan dengan sistem peradilan.
Sementara di lembaga adat/sosial/agama memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan kasus dengan mekanisme adat. Padahal mekanisme penyelesaian adat belum sepenuhnya berpihak pada korban, bahkan impunitas pelaku. Maka dari itu, Komnas Perempuan berharap hasil pemantauan dapat dijadikan pijakan penyusunan kebijakan dan basis untuk penguatan kapasitas bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga layanan.
Menanggapi Komnas Perempuan, Gusti Ayu Putu Suwardani menyampaikan bahwa keadilan restoratif bukan hal baru di Indonesia tetapi implementasinya beragam karena masing-masing instansi penegak hukum memiliki regulasi internal. Harapannya, ketika diimplementasikan pada tahun 2026, mekanisme keadilan restoratif semakin baik dan semakin berpihak pada korban. Ia juga menyampaikan bahwa keadilan restoratif adalah salah satu isu tematik yang akan diangkat oleh Kemenkumham dan laporan pemantauan ini harus menjadi fokus dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kemenkumham. Selain itu, Kemenkumham melalui Direktorat Jenderal Diseminasi dan Penguatan HAM berharap dapat bekerjasama dengan Komnas Perempuan, untuk; menyusun kebijakan dan penguatan kapasitas APH dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender dengan mekanisme keadilan restoratif, dan bersama-sama mendorong terbitnya regulasi mengenai pengawasan pasca putusan kasus dengan mekanisme keadilan restoratif.
Dalam pertemuan tersebut Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi, di antaranya:
a. Menyelenggarakan pendidikan HAM berbasis gender untuk lembaga adat dan lembaga sosial/keagamaan atau lembaga serupa tentang keadilan restoratif dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender;
b. Menyusun rumusan peraturan pelaksanaan hukum adat untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender sehingga complementary dengan sistem peradilan pidana, merujuk pada pasal 96 dan 97 Undang-Undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Menyiapkan prosedur penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan mekanisme keadilan restoratif yang lebih proper dan berpihak kepada korban;
d. Menyusun modul pelatihan penguatan kapasitas HAMBG untuk internal, pemerintah, instansi penegak hukum, dan masyarakat;
e. Mendorong untuk menggunakan konsep SPPT PKKTP dalam penguatan kapasitas APH dan lembaga layanan;
f. Mengadopsi modul penerapan Undang-Undang TPKS untuk APH dan lembaga layanan.