...
Kabar Perempuan
Berkontemplasi Merdeka dari Kekerasan, RUANITA dan Komnas Perempuan Selenggarakan Workshop Seni Kolase


Para perempuan dari berbagai belahan dunia berkumpul dan berbincang. Mereka menggunting gambar dan menyusunnya menjadi sebuah ilustrasi visual utuh, yang menyiratkan gagasan dan pesan tentang perempuan yang merdeka dari kekerasan. Aktivitas tersebut dilakukan dalam Workshop Seni Kolase yang diselenggarakan pada 4 dan 11 November 2023 oleh Ruanita dan Komnas Perempuan.

Workshop yang mengusung tema “Merdeka dari Kekerasan” ini menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani sebagai narasumber dan Seniman Kertas Putri Ayusha sebagai pelatih Seni Kolase. Workshop ini sengaja diselenggarakan secara daring agar dapat diikuti oleh masyarakat lintas wilayah, baik mereka yang berada di dalam maupun luar negeri. Melalui pendaftaran online, sebanyak 14 orang terpilih mengikuti kegiatan ini.

Kolase berasal dari bahasa Perancis "coller" yang artinya merekatkan. Seni kolase menjadi sarana bagi para pegiat seni yang ingin menyuarakan ide atau gagasan selain secara verbal maupun tulisan sehingga dapat mengekspresikannya melalui gambar. Konsep kolase pertama kali dipopulerkan oleh sejumlah seniman dunia, di antaranya Pablo Picasso dari Spanyol, Georges Braque dan Henri Matisse dari Perancis, dan Hannah Höch dari Jerman. Untuk bisa membuat kolase, peserta perlu mempersiapkan bahan seperti gambar yang mendukung pesan atau gambar yang ingin dihasilkan, serta alat seperti gunting, lem kertas dan lain-lain. 

Putri Ayusha menjelaskan kolase adalah karya yang subjektif. Karya tidak dinilai benar berdasarkan anggapan benar atau salah dalam menyampaikan suatu pesan. Isu yang diangkat juga tidak dibatasi. Ilustrasi kolase bisa merupakan hasil perenungan dan pengalaman pribadi, ataupun inspirasi dari fenomena di sekitar kita, baik di dalam maupun luar negeri. Selama karya yang dihasilkan memiliki representasi dari isu yang diangkat, maka itu cukup merefleksikan tujuan dari suatu karya kolase. 

“Inspirasi dalam membuat kolase sangat penting. Peserta harus berani berekspresi dan keluar dari zona nyaman dalam berpikir,” ujar Putri Ayusha, sambil memperagakan memotong gambar. 


Misalnya saja, kolase dengan tema merdeka dari kekerasan yang ia buat Sebagai contoh, Putri Ayusha menempelkan potongan gambar tangan mengepal dan laki-laki yang sedang menimbun tanah. Di bawahnya, gambar akar pohon yang telah tumbang ditempelkan bersamaan dengan gambar sepasang kaki perempuan. Selain menggunakan kertas, peserta juga bisa menambahkan elemen lain seperti tali, koran, atau tumbuhan kering.

Yenik Wahyuningtyas, salah satu peserta workshop berbagi pengalamannya saat pembuatan kolase. Ia menggambarkan hak perempuan yang terampas dalam reproduksi, yaitu isu pemaksaan kehamilan. Menurutnya kolase yang ia sedang buat merepresentasikan fakta pemaksaan kehamilan yang masih terjadi, serta suara perempuan maupun anak yang sebagai korban. 

Selain Yenik, peserta lainnya turut mempresentasikan karya mereka yang memuat berbagai pesan seperti perempuan terbebas dari adanya belenggu patriarki, kekerasan verbal, hubungan toksik dalam suatu pernikahan, hak reproduksi perempuan Palestina maupun kekuatan dari adanya dukungan para perempuan.

Kolase Untuk Mendukung Korban Kekerasan

Selain menjadi ruang kontemplasi para peserta tentang merdeka dari kekerasan terhadap perempuan, karya terpilih dari workshop ini akan ditayangkan di media sosial. Karya kolase merupakan medium kampanye yang kreatif untuk menyuarakan ajakan kepada masyarakat untuk menciptakan kemerdekaan dari kekerasan, terutama perempuan yang berpotensi menjadi korban. Pesan kolase juga diperuntukan untuk mendukung korban kekerasan. 

“Workshop ini juga sebagai upaya Komnas Perempuan untuk mendorong partisipasi masyarakat agar terus menyuarakan bahwa kekerasan bukanlah persoalan personal, atau aib seseorang, namun merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Khususnya disuarakan pada momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan #16HAKTP pada 25 November s.d. 10 Desember 2023. Masyarakat dapat terus mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan untuk menghapus berbagai akar penyebab lahirnya kasus kekerasan terhadap perempuan seperti subordinasi maupun patriarki,” ujar Tiasri Wiandani.




Pertanyaan / Komentar: