Pada Rabu, 23 Juli 2024, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan dialog dengan perwakilan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pematangsiantar untuk membahas penguatan layanan pemulihan berbasis masyarakat di gereja.
Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan, Theresia Iswarini, menyatakan dukungannya terhadap inisiatif HKBP dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender. "Kami mendukung apa yang dilakukan karena banyak penanganan kasus dan rumah aman yang memerlukan sumber daya berkelanjutan," ujar Theresia.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi pendamping korban. Hal ini sejalan dengan kewenangan Komnas Perempuan dalam melakukan pendidikan publik dan menjalin kerja sama dengan mitra-mitra yang berpengalaman.
Keterbatasan mandat yang dimiliki oleh Komnas Perempuan dalam menangani kasus Kekerasan terhadap Perempuan mendorong Komnas menjalin kerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL) yang tersebar di sekitar 72-75 wilayah pendampingan di Indonesia. Komnas Perempuan dapat menghubungkan HKBP dengan FPL, dan apabila HKBP ingin menjadi anggota atau memiliki keperluan berkoordinasi dalam penanganan korban.
Nurhayati Silalahi, yang telah melayani di bagian Gender Justice Policy (GJP) sejak 2022 di HKBP, menyampaikan bahwa kebijakan GJP sudah ada sejak 2017 dan telah melakukan berbagai kegiatan, termasuk seminar, Training of Trainer (ToT), dan operasional rumah aman HKBP. "Kami menangani kasus dari berbagai daerah karena rumah aman hanya satu-satunya di Tapanuli," jelas Nurhayati. Ia berharap Komnas Perempuan dapat berkolaborasi dengan HKBP melalui distrik.
Sementara itu, Sandra Sidabutar dari HKBP menyatakan bahwa masih terdapat keterbatasan dalam penanganan kasus di Jakarta, terutama terkait budaya patriarki yang kuat di komunitas Batak. "Kami membutuhkan penyuluhan dan pelatihan khusus, serta kerja sama untuk menyelesaikan kasus yang di luar jangkauan kami," ujar Sandra.
Menanggapi hal ini, Suraya Ramli, Koordinator Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan, menegaskan pentingnya penguatan infrastruktur dan SOP dalam layanan pemulihan. "Pendampingan tidak hanya oleh UPTD PPA tetapi juga oleh masyarakat sipil. Gereja punya peran penting dalam menjangkau dan mendampingi korban kekerasan," jelas Suraya.
Komnas Perempuan juga bekerjasama dengan Ikatan Psikolog Klinis untuk membantu penanganan psikologis korban dan menyediakan saksi ahli. Psikolog klinis sangat penting dalam penanganan kekerasan. Hal yang dimungkinkan adalah mendata kembali jemaat HKBP yang berprofesi sebagai psikolog klinis untuk memperkuat layanan penanganan dan pemulihan terhadap korban di gereja.
Saat ini, Komnas Perempuan juga tengah membangun modul DPA (Dukungan Psikologis Awal) untuk membantu lembaga layanan yang tidak memiliki psikolog klinis. Modul ini bisa memperkuat pendamping korban sehingga mereka bisa menjadi survivor dan defender.
Ketua Subkomisi Pemantauan, Bahrul Fuad,mendorong kerja sama lintas agama dan gerakan, serta menyediakan dokumen rujukan yang bisa diunduh gratis di situs web Komnas Perempuan. "Setiap tahun, Komnas Perempuan menerbitkan Catatan Tahunan di Bulan Maret pada Hari Perempuan Internasional. Kami juga mempunyai program kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP)."