...
Kabar Perempuan
Disabilitas Bagian Dari Keragaman Yang Perlu Perlindungan Dan Rasa Aman Sebagai Bentuk Upaya Kesetaraan Pemenuhan Hak Asasi Manusia (3 Desember 2021)

Dalam rangka memperingati hari disabilitas internasional yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Komnas Perempuan bekerjasama dengan UNFPA Indonesia menggelar talkshow yang bertajuk “Kekerasan Seksual di Mata Orang Muda Indonesia” pada tanggal 3 Desember 2021. Narasumber yang mengisi diantaranya ada Nurul Bahrul Ulum (Kompaks), Nissi Taruli Felicia (Feminis Themis), Bahrul Fuad (Komisioner Komnas Perempuan), Inaya Wahid (Pegiat Sosial, Seni dan Budaya), serta Faransina Olivia Rumere (Sa Perempuan Papua).

Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan menyampaikan dalam sambutannya bahwa kondisi penanganan kekerasan seksual menjadi cermin dari komitmen negara pada penyikapan persoalan kekerasan seksual sebagai bagian dari pelaksanaan mandat dari konstitusional untuk menjamin hak atas rasa aman, serta untuk perlindungan dan kepastian hukum, karenanya perbaikan kondisi kekerasan seksual perlu menjadi perhatian bagi semua pihak.

Salah satu langkah progresif yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan khususnya perempuan dari kekerasan seksual adalah dengan lahirnya Permendikbud Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, meskipun kehadirannya dibarengi dengan berbagai polemik. Terbitnya peraturan ini sebenarnya memberikan harapan yang besar khususnya bagi korban untuk berani bicara dan memperjuangkan hak-hak para korban. Hal ini menjadi bukti bahwa kaum muda di berbagai kampus semakin kuat bergerak mendukung korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.

Momentum menentang kekerasan seksual menjadi krusial dengan perhatian utama tertuju pada gerak generasi muda mengingat masa depan bangsa Indonesia terletak ditangan pemuda, terlebih pada tahun 2021 ini adalah puncak dari demografi dividen di Indonesia di mana angka penduduk usia produktif akan mendominasi populasi total. Kesempatan ini perlu dimanfaatkan agar generasi muda menjadi motor untuk lahirnya generasi yang sehat di masa depan yang bebas dari kekerasan dan budaya patriarki. Di dalam kerangka tersebutlah, Komnas Perempuan menyambut baik dengan melakukan  survei bersama dengan 600 orang muda di seluruh Indonesia tentang kekerasan seksual di mata anak muda Indonesia yang bertujuan untuk menggali pengalaman anak muda terhadap kekerasan seksual yang lebih jauh.

Neira Budiono sebagai perwakilan dari UNFPA menyampaikan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan oleh UNFPA yang bekerjasama dengan Komnas Perempuan untuk menggali pandangan anak muda di Indonesia terhadap kekerasan seksual, temasuk kepada perempuan disabilitas dan juga dukungan apa saja untuk menghapus kekerasan seksual, dengan jumlah responden 600 responden usia 15-30 tahun, di mana 91,6 % mengatakan pernah mengalami, melihat, atau mendengar secara langsung setidaknya 1 bentuk kekerasan seksual dan sebanyak 60,3 % pernah mengalami kekerasan seksual dan berani menceritakan kepada orang yang mereka percaya, 47% melapor kepada pihak berwajib, hingga 63,4% berani melawan pelaku. Namun sayangnya masih banyak yang memilih untuk bungkam, yakni sebanyak 37,3. Sehingga dukungan anak muda bagi para korban terutama mereka yang memilih bungkam sangat diperlukan untuk melindungi para korban, mengingat 98,1 % responden mengganggap penting untuk kehadiran payung hukum yang komprehensif untuk melindungi korban. Harapan dari hasil survei ini agar dapat menjadi advokasi berbasis bukti untuk melindungi dan mencegah kekerasan seksual khususnya kaum disabilitas.

Tanggapan Bahrul Fuad selaku Komisioner Komnas Perempuan terhadap survei tersebut disampaikan bahwa hal ini menjadi pertanda situasi kekerasan seksual di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Terlebih situasi pandemi yang menjadi faktor kuat terhadap meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Namun sayangnya isu ini masih dipandang belum memiliki urgensitas tersendiri. Padahal jumlah pengaduan yang masuk di Komnas Perempuan hingga Oktober 2021, tercatat lebih dari 4000 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kemudian berdasarkan UPR Komnas Perempuan tahun 2020, tercatat telah menerima 2389 kasus dengan 2134 kasus kekerasan berbasis gender sedangkan sisanya tidak diketahui. Lalu pada tahun 2021, berdasarkan CATAHU Komnas terdapat 79 % atau  6480 kasus terjadi di ranah domestik di mana 50% kekerasan terjadi terhadap istri. Hal yang menjadi sangat disayangkan adalah kekerasan di ranah private mayoritas tidak dilaporkan.

Kemudian, kasus yang paling tinggi yaitu kekerasan seksual dengan bentuk yang variatif. Termasuk kasus KBGO, di mana Komnas Perempuan mencatat terdapat kenaikan yang signifikan hingga mencapai 300%, dari sebelum pandemi jumlah KBGO sebanyak 87 kasus, menjadi 383 kasus di masa pandemi. Hal ini diakibatkan oleh interaksi masyarakat khususnya perempuan dan anak menjadi sangat intensif di masa pandemi, namun tidak diimbangi dengan literasi digital yang baik, sehingga hal ini menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus KBGO.

Komnas Perempuan dalam merespon urgensitas ini sedang mengembangkan kajian dan pemetaan terkait dengan layanan kesehatan disabilitas dan lansia, serta bersama jaringan masyarakat sipil mendorong RUU TPKS serta RUU Permendikbud, untuk memberikan ruang aman, bahkan lingkungan kampus bebas dari kekerasan seksual. Di mana faktor penyebabnya seperti belum adanya sistem yang memadai terkait penanganan kekerasan seksual ataupun dari adanya faktor imbalance power.

Nissi Taruli Felicia dalam tanggapannya menyampaikan bahwa masih banyak kelompok disabilitas yang mengalami kekerasan seksual dikarenakan banyak yang masih menganggap lemah. Mengingat ketika kekerasan seksual ini terjadi, banyak para penyandang disabilitas enggan untuk melapor. Hal ini terlihat dari adanya data yang ditunjukkan yang tidak mencakup semua kasus terhadap disabilitas. Terlebih adanya aturan hukum yang belum secara komprehensif melindungi para disabilitas. Bahkan ketika korban melapor ke aparat penegak hukum, justru malah dianggap sebuah lelucon dikarenakan kondisi disabilitas yang dimiliki. Laporan ini sebenarnya membuktikan bahwa penyandang disabilitas sudah memiliki edukasi yang baik terkait kekerasan berbasis gender untuk melakukan pelaporan. Namun masih menjadi sangat penting untuk memberikan edukasi secara masif, mengingat tidak adanya informasi membuat para disabilitas akan lebih berkali-lipat mengalami kerentanan terhadap kekerasan. Tantangan lain yakni masyarakat yang belum semua memiliki empati untuk mendukung para disabilitas agar mendapat akses yang sama baik dari pendampingan hukum maupun psikologis terutama bagi para disabilitas.

Nurul Bahrul Ulum sebagai perwakilan dari Kompaks, menyampaikan bahwa hampir setiap hari terdapat laporan yang masuk tentang kekerasan seksual, dan hal itu mayoritas terjadi di lingkungan pendidikan, namun para korban tidak selalu memiliki bukti untuk melapor karena payung hukum juga tidak memadai. Padahal kekerasan seksual menjadi pembunuh masa depan anak muda. Mengingat banyak sekali anak muda mengalami kekerasan seksual sehingga menghancurkan masa depan. Sedangkan lembaga pelayanan yang ada masih terbatas, maka perlu untuk memperbanyak shelter maupun payung hukum.

Menyikapi hal tersebut, langkah-langkah yang dilakukan Kompaks selama ini seperti memberikan advokasi baik hukum, psikologis, maupun memberikan training untuk anak muda dalam membangun kesadaran perspektif gender mengingat hal ini menjadi modal untuk melihat realitas kekerasan seksual di Indonesia.

Menyambung dari apa yang disampaikan oleh narasumber sebelumnya, Faransina Olivia menegaskan bahwa untuk mengadvokasi isu-isu kekerasan terhadap perempuan disabilitas membutuhkan adanya kerjasama dengan berbagai pihak termasuk jejaring anak muda. Selain itu pentingnya peran digital dalam memberikan jangkauan terhadap advokasi isu-isu kekerasan serta pentingnya data ataupun fakta untuk melakukan pendampingan maupun konten edukasi tentang kekerasan termasuk terkait kasus kekerasan yang terjadi di Papua. Adanya kendala akses internet menjadikan kaum muda sulit untuk menjangkau kelompok rentan dalam memberikan edukasi maupun melakukan advokasi. Advokasi gender juga terus diupayakan meskipun masih banyak stigma yang menormalisasi kekerasan seksual.

Inaya Wahid menyampaikan bahwa berkaca dari krusialnya isu kekerasan seksual khususnya kepada perempuan disabilitas mengacu pada data yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, hal ini menjadi penguat bahwa Permendikbud No 30 Tahun 2021 penting untuk segera disahkan, terlebih dari adanya fenomena revenge porn yang marak dikalangan anak muda, maka perlunya edukasi berperspektif gender yang baik bagi kalangan anak muda, yakni perspektif inklusivitas, yakni memiliki pandangan bahwa disabilitas merupakan bagian dari keragaman dan juga perlu mendapatkan perlindungan. Saling support inilah yang sangat penting untuk membantu para korban karena dampak dari trauma tersebut sangat besar bagi masa depan korban. Terlebih bagi para penyandang disabilitas karena mereka memiliki ragam identitas. Tidak bisa disamakan dengan disabilitas lain jika mengalami kekerasan seksual. Sehingga pendampingan benar-benar dibutuhkan bagi para korban disabilitas yang disesuaikan dengan kebutuhannya.


Pertanyaan / Komentar: