Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan diskusi guna mendorong terintegrasinya hak asasi perempuan, khususnya perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) dalam RUU tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP) pada Senin, (19/6/2023). Dalam diskusi para peserta melakukan identifikasi peluang pengaturan penanganan PBH dalam RUU HAP dan rencana tindak lanjut advokasi muatan hak asasi manusia, khususnya hak PBH dan RUU HAP.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia C. Salampessy mengatakan dalam sambutannya bahwa RUU HAP menjadi perhatian Komnas Perempuan karena mengatur sejumlah isu yang berkaitan dengan hak PBH, baik sebagai korban, tersangka/terdakwa dan saksi. RUU HAP juga dapat menjadi alat rekayasa sosial dalam memberikan layanan terhadap PBH di setiap tingkat pemeriksaan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan) yang memberikan tindakan khusus bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Karenanya menjadi penting “gender sensitive” sebagai acuan proses perumusan RUU HAP untuk melindungi harkat dan martabat perempuan.
“Perlu dipastikan bahwa rumusan norma dalam RUU HAP mengandung pencegahan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, serta mengatasi hambatan keadilan yang selama ini dialami perempuan,” tegas Olivia.
Urgensi terintegrasinya hak PBH di dalam RUU HAP juga disampaikan oleh Anggota Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI di tengah diskusi. Menurutnya, UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah cukup mengakomodir hak PBH, namun masih diperlukan aturan penunjang lainnya.
“MA sudah ada Perma (Peraturan MA No. 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum) tapi kami harap apa yang diatur dalam Perma ini bisa masuk dalam HAP. Karena kalau bentuknya masih Perma, rekan-rekan APH (aparat penegak hukum) masih menganggap ini berlakunya untuk hakim saja. Jadi terkadang hal ini tidak dijadikan pedoman bagi APH lain,” terang Nirwana.
Nirwana menyampaikan bahwa perlu ada satu persepsi di seluruh APH dalam memberikan perlindungan untuk PBH. Menurutnya, masih ada anggapan bahwa PBH hanya pelaku, padahal PBH itu bisa pelaku, korban, dan saksi.
“MA usahakan agar ada hak, perlindungan khusus, dimana HAP yang sekarang masih orientasinya ke tersangka/terdakwa dan belum ada tentang korban, bagaimana agar hak korban terpenuhi, ini yang perlu kita perhatikan betul,” tegas Nirwana.
Dalam kegiatan, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyinggung terkait konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) yang dikembangkan Komnas Perempuan bersama LBH APIK Jakarta, Derap Warapsari, dan PKWJ UI sejak 2003 lalu, yang dapat diujicobakan baik dalam konteks kebijakan maupun mekanisme koordinasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Konsep SPPT-PKKTP dibangun sebagai upaya untuk mendukung negara agar mampu melakukan kewajiban konstitusionalnya untuk memenuhi hak asasi manusia perempuan berhadapan dengan hukum, terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender,” tutur Siti.
Perlu diketahui bahwa Hukum Acara Pidana disusun sebelum Indonesia meratifikasi berbagai instrumen hukum HAM Internasional sehingga universalitas norma HAM belum diakomodasi, termasuk prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan gender yang diamanatkan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Di sisi lain, kehadiran hukum tindak pidana khusus tersebut menunjukkan bahwa UU Hukum Acara Pidana perlu diperbarui dengan melihat dinamika perubahan pada UU khusus yang ada. [ELS]