...
Kabar Perempuan
Dua Tahun Disahkan, Komnas Perempuan Gelar Diskusi Bahas Perkembangan Pelaksanaan UU TPKS



Setelah disahkan, Komnas Perempuan terus melakukan pemantauan terkait implementasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pelaksanaan UU TPKS memerlukan dukungan perangkat peraturan pelaksana yang akan menjadi panduan  oleh pemangku kepentingan yang mengemban kewajiban dalam pencegahan, penanganan, pelindungan, dan pemulihan Korban TPKS.


"Ketika RUU TPKS disahkan menjadi UU TPKS, kami menyadari undang-undang ini tidak cukup hanya diundangkan, namun juga harus didorong peraturan pelaksananya agar berbagai sarana dan prasarana pemenuhan hak korban dapat optimal dipenuhi. UU TPKS memandatkan sepuluh peraturan pelaksana yang wajib disahkan paling lambat dua tahun sejak UU TPKS diundangkan, yaitu 9 Mei 2024. Dalam prosesnya, yang awalnya sepuluh dikerucutkan menjadi tujuh. Dari tujuh  kini telah dua peraturan yang disahkan," tutur Komisioner Komnas Perempuan saat membuka diskusi "Perkembangan Pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 2024 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual" yang diadakan secara hybrid pada Jumat (3/5/2024).


Adapun aturan pelaksana yang telah ditandatangani Presiden adalah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Perpres Diklat) yang disahkan 23 Januari 2024 dan terbaru yakni Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).


Dalam sambutannya, ia juga menyampaikan pentingnya sinkronisasi UU TPKS dengan aturan lainnya, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).  Ia juga mengungkapkan pentingnya penggunaan UU TPKS saat pemeriksaan dan penanganan kasus kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana terintegrasi dengan sistem layanan pemulihan korban.


Dalam diskusi, Asdep Perumusan Kebijakan Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Agung Budi Santoso menyampaikan bahwa setelah disahkannya Perpres No. 55/2024, pihaknya sedang melakukan persiapan dan diskusi untuk teknis operasionalnya dan yang akan segera dibuat dalam bentuk Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen PPA). 


"Kemudian Perpres Diklat ini telah ditetapkan melalui Perpres No 9/2024 sedangkan yang lain yaitu tiga peraturan pemerintah dan dua peraturan presiden ini masih berproses. Saat ini KemenPPA juga sedang membangun modul dan kurikulum untuk pelatihan TPKS," jelas Agung. 


Lebih lanjut, Kanit PPA Bareskrim Polri AKBP Ema Rahmawati yang hadir secara daring mengungkapkan sejumlah hambatan dan tantangan dalam implementasi UU TPKS yang kerap dihadapi aparat penegak hukum (APH), antara lain terkait pemahaman dan kesepahaman APH dalam menafsirkan setiap pasal/jenis tindak pidana yang diatur dalam UU TPKS termasuk menafsirkan pembaruan alat bukti, upaya pemenuhan perlindungan sementara oleh penyidik, pemenuhan hak atas restitusi, pemenuhan hak-hak korban penyandang disabilitas, dan beberapa hal lainnya. Untuk itu, ia mengatakan Bareskrim Polri aktif melakukan sosialisasi.


"Sejak UU TPKS disahkan, kami sudah memberi petunjuk dan arahan sejak 1 Juni ke wilayah melalui penerbitan juklah dan dan sosialisasi secara online dengan anggota PPA seluruh Indonesia. Dalam sosialisasi, Kejaksaan Agung menjadi salah satu pembicara dan narasumber, dari Mahkamah Agung, UPTD PPA, dan  Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Kami juga melaksanakan focus group discussion terhadap seluruh penyidik yang menerima kasus kekerasan seksual di pidana dan siber," ujarnya.


Ema menambahkan bahwa Bareskrim Polri sedang mendorong disusunnya modul diklat untuk meningkatkan kompetensi dari APH, pendampingnya, maupun unsur lain yang terlibat dalam proses penanganan kasus.


"Lalu agar tidak ada re-viktimisasi kita harus susun format hasil asesmen, implementasi pelayanan terpadu yang terintegrasi, meningkatkan ketersediaan psikolog, psikiater, ahli dan pendamping disabilitas, meningkatkan anggaran dan sarpras," terangnya. 


Pentingnya sosialisasi UU TPKS pada APH juga diamini oleh Jaksa Ahli Madya, Sekretaris Pokja Akses Keadilan Kejaksaan RI Erni Mustikasari. Menurutnya, para jaksa penting untuk diberikan pemahaman bukan hanya terkait teknis tapi juga pemahaman filosofi dan perlindungan terhadap korban.


"Untuk implementasi tadi sebagaimana Ibu Ema ingatkan pada intinya dalam dua tahun terakhir ini adalah data yang betul-betul menggunakan UU TPKS dan tidak semua APH paham UU TPKS ini sudah bisa digunakan. Pada April 2023 itu PN Wonosobo sudah menggunakan kasus TPKS tapi tidak semua Kejaksaan Negeri dan Tinggi yang melaksanakannya. Jawa Barat menjadi propinsi yang paling banyak yang menggunakan UU TPKS. Sementara pada 2024, wilayah yang banyak menggunakan UU TPKS adalah di Sinjai dan Pontianak. Dari segi data, nampak telah terjadi kesadaran untuk menggunakan UU ini," ungkap Erni.


Direktur LBH APIK Jawa Barat Ratna Batara Munti juga mengungkapkan beragam tantangan dari implementasi UU TPKS. Ia menjelaskan masih ditemukan petugas kepolisian yang melakukan penyelesaian penanganan kasus di luar proses peradilan. 


"Jadi kalau dari riset yang lalu tahun 2020 itu memang ada tantangan, sudah diidentifikasi, hanya 19.2% kasus yang diproses hukum sampai tuntas dan sisanya ada yang diselesaikan secara damai bahkan dinikahkan dengan pelaku, dan kami dampingi di Sukabumi kebetulan pelakunya adalah oknum TNI, 10 bulan korban melapor diabaikan karena pandangan yang bias. Korban dewasa dianggap suka sama suka atau kasus perzinahan jadi dianggap tidak ada kekerasan, cuma dianggap melanggar kesusilaan. Hasil riset 2020 ini tidak ujug-ujug terhapus karena ada UU TPKS ya, kondisi ini masih terjadi," tuturnya.




Pertanyaan / Komentar: