Komnas Perempuan menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Memajukan Perjuangan Kita: Memahami Isu Krusial, Tantangan, dan Peluang Bagi Gerakan Perempuan saat Ini” pada Senin (12/11/2023). Seminar ini merupakan bagian dari rangkaian agenda perayaan 25 Tahun Komnas Perempuan, yang berlangsung pada 12-15 November 2023 di Jakarta. Seminar ini bertujuan untuk mengidentifikasi, merefleksikan dan menemukenali isu krusial dan tantangan yang dihadapi bersama, serta peluang kolaborasi dan solidaritas untuk memajukan hak perempuan
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menjelaskan dalam sambutannya bahwa solidaritas diperlukan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di berbagai belahan dunia.
“Indonesia dengan mudah bersolidaritas karena adanya berbagai konflik yang pernah dihadapi, termasuk konflik bersenjata, lintas dekade, yang membuat dampak tersebut menjadi tantangan bagi para perempuan untuk diselesaikan. Selain solidaritas, diperlukan adanya kewaspadaan di tingkat internasional yang mempengaruhi visi suatu bangsa,” jelasnya.
Ia menyebutkan pengabaian, peminggiran, atau halangan dari setiap hak asasi tidak pernah bersifat tunggal, namun akan memiliki efek domino terhadap hak lainnya. Maka, perlu ditelusuri faktor apa saja yang berkontribusi dalam kekerasan terhadap perempuan, serta penting untuk menemukan gagasan dan inisiatif dalam penyelesaiannya.
Berbagai Tantangan Perempuan dan Solidaritas Gerakan
Seminar internasional yang digelar sehari itu menghadirkan beberapa narasumber diantaranya adalah Direktur Association for Women's Rights in Development atau AWID, Eunice Borges. Selaras dengan tema seminar, Eunice menyampaikan tentang bagaimana sistem Konferensi Nasional di Brazil dari tingkat akar rumput hingga nasional bisa meraih partisipasi luas dari masyarakat sipil. Gerakan Perempuan yang kuat dapat menjadi salah satu pencapaian dalam memberikan pemenuhan hak perempuan. Tidak hanya dari segi pemahaman hak perempuan ke masyarakat, namun juga untuk menuntut pertanggungjawaban ke negara. Tantangan terbesar salah satunya yang saat ini dihadapi adalah, bagaimana fokus kepada solusi seperti fokus upaya mengadvokasi, serta memonitoring berbagai tantangan.
“Adanya berbagai tantangan yang kita hadapi saat ini, termasuk bagaimana kita tumbuh, membuat kita memahami bagaimana kerja untuk berjuang dalam inklusivitas dan menyuarakan suara sebagai perempuan untuk mendukung gerakan perempuan. Selain itu, kita perlu memiliki kesadaran bagaimana agar mampu menghadapi tantangan gerakan perempuan secara global, serta bagaimana saling menguatkan dalam berbagai forum seperti CSW (Commission on the Status of Women) dan HRC,” tutur Eunice dalam pemaparannya.
Sementara itu, menurut pandangan Direktur Asia Pacific Forum on Women, Law, and Development, disingkat APWLD, Misun Woo, berbagai krisis multilarisme disebabkan oleh adanya patriarki, kolonialisme, serta globalisme. Gerakan Perempuan harus bertahan di tengah reformasi hukum yang tidak adil. Di sektor ketenagakerjaan misalnya, penurunan upah, adanya praktik eksploitasi para pekerja, pemberhentian pekerja perempuan, serta adanya gap pembayaran berdasarkan gender, tentu menyebabkan adanya ketidaksetaraan dalam perekonomian. Untuk itu, Hak yang diperlukan masyarakat tidak hanya hak atas pangan namun juga memastikan adanya ketahanan dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita tidak hanya perlu memprioritaskan sistem keadilan namun juga mengatasi kekurangan informasi dalam penanganan kasus ketidakadilan, terutama dalam ekonomi, pekerja, hak pangan, dan partisipasi perempuan dalam demokrasi. Rekomendasi dalam mengatasi kekerasan adalah dengan meningkatkan keadilan ekonomi, termasuk hak atas pangan, ekonomi, hak lainnya, serta pentingnya kajian dan pengamatan,” jelas Misun Woo yang turut hadir di Jakarta.
Ketidakadilan dan Kekerasan
Sylvia Tiwon dari University of Berkeley mengungkapkan kemiskinan yang dialami perempuan masih kurang dipahami di masyarakat. Padahal jika kemiskinan diganti dengan kata ketidakadilan mungkin menjadi lebih jelas persoalan yang dihadapi termasuk adanya disagregasi antara laki-laki dan perempuan. Ia juga memberikan masukan kepada Komnas Perempuan untuk memperbaiki ketidakadilan gender yang masih berlangsung dalam bidang pendidikan, tingkat pendapatan, dan lainnya dan ini berdampak bagi perempuan, terlebih sebagai kelompok paling rentan.
“Dari berbagai permasalahan, ketidakadilan gender dalam bidang budaya sangat perlu diperhatikan karena masih banyak kasus yang disebabkan oleh budaya, termasuk tingkat kematian ibu yang tetap tinggi sebagai salah satu kekerasan terhadap perempuan.” jelas Silvia yang hadir secara daring.
Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan menyebut berbagai situasi menunjukkan bahwa gerakan perempuan saat ini menghadapi berbagai isu yang menjadi tantangan tersendiri dalam menyelesaikannya. Salah satunya politik tubuh yang melahirkan banyak hal termasuk regulasi salah satunya Perda diskriminatif serta aturan nasional seperti UU ITE, yang berpotensi mengkriminalisasi tubuh perempuan. Perempuan yang berada dalam kekerasan yang terus berulang menjadi bagian dari penyiksaan namun belum adanya kerangka hukum yang kuat dalam menempatkan penyiksaan dalam kekerasan terhadap perempuan.
“Isu kekerasan terhadap perempuan selama reformasi 1998 - 2023 sebenarnya telah ditempatkan di pusat dalam proses reformasi, namun masih banyak hal yang harus diperkuat karena mempengaruhi kebijakan dan program,” tegas Theresia Iswarini.
Dalam menghadapi berbagai tantangan seperti kurangnya sumber daya manusia (SDM), perlunya penguatan kelembagaan, praktik korupsi, konflik, dan penyiksaan, Komnas Perempuan selalu memiliki peluang salah satunya pemimpin baru yang membuka ruang untuk bernegosiasi untuk hak-hak perempuan.
Kolaborasi yang kuat antara Gerakan Perempuan dan generasi muda yang sadar akan gender dapat diperkuat untuk memelihara jaringan dan melahirkan koalisi-koalisi baru dalam menyelesaikan permasalahan perempuan,” tutur Theresia.