...
Kabar Perempuan
Gotong Royong Mengakhiri Akar Penyebab Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia (7 Desember 2021)

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak dalam berbagai aspek kehidupan terutama pada tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan. Tindakan kekerasan terhadap perempuan pun semakin beragam dan bahkan kerap dilakukan secara berkelompok. Menurut data Komnas Perempuan, terdapat peningkatan hampir 8 kali lipat kasus kekerasan terhadap perempuan selama 12 tahun terakhir terutama kekerasan berbasis gender yang meningkat sebanyak 63% selama masa pandemi COVID-19. Merespon hal tersebut, Komnas perempuan bersama dengan Pusat Kebudayaan Amerika atau At America menyelenggarakan diskusi tentang  “Bagaimana Cara Menghentikan Kekerasan Berbasis Gender (How to End Gender-Based Violence)” pada tanggal 7 Desember 2021. Seminar ini diadakan dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan K16HAKtP, dimana Komnas Perempuan mengajak publik sesuai kemampuannya untuk terlibat aktif dalam mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh, K16HAKtP dimaksudkan untuk menguatkan korban dan penyintas untuk bersuara memperjuangkan keadilan.

Mariana Amiruddin selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan menyampaikan bahwa meningkatnya kasus kekerasan yang terjadi kepada perempuan didominasi oleh kekerasan seksual. Ini menjadi urgensi yang memang harus diperhatikan oleh masyarakat. Kabar baiknya, dalam beberapa tahun terakhir sudah terlihat kesadaran masyarakat akan seberapa pentingnya payung hukum dalam memberikan perlindungan bagi para korban. Namun, kesadaran masyarakat jika tidak diiringi dengan sistem yang kuat untuk melindungi perempuan maka kesetaraan gender akan semakin sulit diwujudkan. Sehingga yang paling diperlukan adalah kesadaran untuk membenahi sistem terlebih dahulu. Baik dalam sistem layanan maupun pendampingan bagi para korban. Untuk itulah, Komnas Perempuan terus memberikan advokasi maupun rekomendasi kepada para pemangku kebijakan untuk terus memprioritaskan pada pemenuhan hak-hak perempuan salah satunya dengan segera disahkannya RUU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual.

Dalam diskusi, telah hadir juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku Imam Besar Masjid Istiqlal memberikan pandangan terhadap perlindungan perempuan melalui sudut pandang agama. Beliau menyampaikan bahwa kekerasan memang tidak hanya terjadi kepada perempuan namun juga kepada laki-laki. Namun perempuan yang justru lebih rentan mengalaminya. Masyarakat maupun pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada akibat dari kekerasan gender namun juga fokus pada apa yang menjadi penyebab dari meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Jika dilihat dari sudut pandang agama islam, sejatinya yang menjadi permasalahan bukanlah apa yang terdapat dalam ajaran agama tersebut. Namun cara pandang atau pemahaman masyarakat terhadap ajaran suatu agama. Sama halnya dengan kitab suci Al-Quran, yang menjadi permasalahan bukanlah ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran namun penafsiran masyarakat terhadap ayat Al-Quran.

Kita bisa melihat apa yang telah dialami Indonesia sekitar tahun 1970. Indonesia pernah menjadi penyumbang terbesar terhadap kematian pada bayi. Faktor penyebabnya adalah tradisi masyarakat kepada bayi yang baru lahir tersebut untuk memakan sesuatu yang telah dikunyahkan oleh salah satu ulama ataupun tokoh masyarakat. Budaya ini dianggap sesuai atau menjadi bagian dari ajaran suatu agama. Padahal jika ditelisik lebih lanjut, makanan tersebut banyak mengandung bakteri yang membahayakan bayi. Penafsiran yang salah terhadap ajaran-ajaran agama inilah yang menjadi akar permasalahan hingga saat ini. Konstruksi sosial memang kerapkali keliru dalam menafsirkan suatu tindakan terutama kepada perempuan.

Budaya misoginis yang terjadi di masyarakat Timur Tengah menjadi tolak ukur bagi masyarakat lain untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama yang mewujudkan bias gender terhadap perempuan. Padahal sejatinya budaya yang dibuat oleh masyarakat bukanlah bagian dari ajaran suatu agama. Sehingga pemahaman masyarakat terhadap agama perlu klarifikasi atau memerlukan penjelasan yang lebih mendalam agar tidak menghasilkan diskriminasi terhadap perempuan. Karena penafsiran apapun jika menghasilkan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditolerir dalam sebuah ajaran agama. Sehingga diperlukan edukasi yang konsisten bagi masyarakat untuk merubah stigma ataupun budaya ketidaksetaraan gender.

Nuraini Hilir selaku perwakilan dari Kantor Staf Presiden juga memberikan pandangan terhadap urgensitas payung hukum untuk melindungi perempuan. Pemenuhan hak-hak perempuan memang menjadi agenda prioritas Pemerintah Indonesia, seperti tercantum dalam Nawa Cita dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2015-2019) yang sejalan dengan tujuan ke-5 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk mengakhiri segala jenis diskriminasi terhadap perempuan di mana pun. Beliau menambahkan, diskriminasi terhadap perempuan yang bersumber dari pemahaman agama yang salah serta patriarki yang juga dialami oleh masyarakat menengah kebawah memang menjadi salah satu hambatan bagi pemerintah dalam meratifikasi aturan-aturan hukum sebagai wujud dari perlindungan maupun pemenuhan hak-hak perempuan.

Dalam diskusi tersebut dihadiri pula Maria Immaculata, seorang penyintas kekerasan seksual sekaligus aktivis yang berjuang dalam isu ini. Maria menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dideritanya beberapa tahun silam. Kejadian yang menimpanya yaitu pemerkosaan dengan jumlah pelaku sebanyak lima orang. Hal tersebut terjadi di sekitar rumah Maria pada tahun 2013. Namun ingatan atas kejadian tersebut sempat hilang dan baru muncul kembali kepingan pertamanya di tahun 2019 akhir. Pelakunya masih berada di sekitar rumahnya sampai tahun lalu ia pindah rumah pun, mereka masih ada. Maria dalam kurun waktu kurang lebih tujuh tahun terus struggle dengan mental health issue, depresi dan gangguan kecemasan. Di tahun 2015 adalah gejala pertama depresi yang kemudian ia melakukan konseling kepada psikolog sampai pada akhirnya di tahun 2019 keluar kembali memori yang sempat hilang itu. Namun, Maria lega karena penyebabnya bisa diketahui.

Maria menuturkan bahwa nilai-nilai kelompok sosial budaya di masyarakat salah satunya mengenai perempuan yang kesuciannya dilihat dari keperawanan saja. Faktanya, yang terjadi di lapangan adalah ada banyak perempuan korban kekerasan seksual. Setelah ditinjau lebih lanjut, kesucian itu tidak dipengaruhi oleh orang lain dan tidak bergantung dengan perlakuan dan penilaian orang lain.

Hal ini juga disetujui oleh Willy Aditya selaku perwakilan dari DPR RI menanggapi bahwa fenomena kekerasan ini tidak terlepas dari dua faktor. Yang pertama ialah faktor sosiologis di masyarakat atau patriarki yang memang telah menjadi budaya di masyarakat itu sendiri. Yang kedua yakni adanya narasi-narasi negatif terhadap aturan-aturan yang akan segera disahkan untuk pemenuhan hak maupun perlindungan terhadap perempuan. Kedua faktor inilah yang memang menjadi kendala utama dalam penyelesaian berbagai diskriminasi terhadap perempuan. Penghambat sosial ini perlu diselesaikan tidak hanya melalui advokasi namun juga secara sosiologis.

 

Seminar ini dapat disaksikan melalui Youtube At America https://www.youtube.com/watch?v=fjgyXthsMf4

 


Pertanyaan / Komentar: