Femisida Tidak Dikenali : Pengabaian Terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan
Berdasarkan
CATAHU Komnas Perempuan, kasus femisida di Indonesia meningkat empat kali lipat
selama Tahun 2017-2021. Dimana kasus femisida paling banyak dilakukan oleh
pasangan (suami/pacar) serta sebaran wilayah terbanyak berada di Pulau Jawa dan
Sumatera. Namun hingga saat ini femisida masih dipandang sebagai tindak pidana
biasa. Padahal berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan melalui media daring
selama 2018-2020 menemukan fakta bahwa femisida merupakan bentuk kekerasan
paling ekstrim dari berbagai isu kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Keterbatasan pengetahuan femisida di Indonesia berkontribusi terhadap ketiadaan
mekanisme pencegahan dan penanganan bagi para korban femisida. Karenanya, pada Tanggal 25 November 2021 menjadi momentum
penting bagi Komnas
Perempuan untuk melaksanakan peluncuran hasil kajian awal dan kertas konsep
terkait femisida di Indonesia sebagai upaya untuk merumuskan definisi dan
pengkategorian femisida sesuai dengan pemantauan situasi pemenuhan hak asasi
perempuan di Indonesia. Serta memberikan rekomendasi kepada para pemangku
kepentingan untuk pencegahan maupun penanganan femisida di Indonesia.
Pada
peluncuran kajian awal femisida ini, Andy Yentriyani (Komisioner Komnas Perempuan)
menyampaikan bahwa kajian femisida bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan sekaligus menguatkan komitmen sebagai
bangsa dalam memastikan jaminan hak konstitusional atas hak hidup bagi
perempuan. Dalam penyusunan kajian ini, tentunya Komnas Perempuan menghadapi
tantangan tersendiri yakni sulitnya melakukan pemantauan putusan dikarenakan minimnya
pemberitaan lebih lanjut tentang kasus-kasus femisida di media daring. Dalam peluncurannya, Komnas
Perempuan menghadirkan perwakilan dari lembaga-lembaga maupun
Kementerian terkait salah satunya yaitu Melissa Alvarado selaku Manager
Organization UN Women. Beliau menyampaikan apresiasi penuh kepada Komnas Perempuan
karena telah meluncurkan
kajian yang sangat strategis ini untuk memberikan perhatian lebih kepada para
perempuan dan juga untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Namun
diperlukan adanya pantauan tentang kesenjangan di dalam mekanisme perlindungan serta
diperlukannya kolaborasi dengan badan-badan ataupun lembaga perlindungan
perempuan guna mengetahui pola-pola femisida yang berbeda-beda di masyarakat.
Risya
Ariani Kori selaku NPO for Gender Program Specialist UNFPA juga menyampaikan
dukungan positif atas diluncurkannya kajian awal ini. Mengingat kekerasan
berbasis gender dan praktiknya ini berbahaya seperti perkawinan anak mayoritas
dialami oleh perempuan. Perkawinan anak inilah yang meningkatkan angka kematian
para ibu karena menghadapi berbagai resiko kehamilan diusia yang sangat muda.
Dukungan
ini juga disampakan oleh dr. Fransiska Mardiananingsih selaku perwakilan dari
World Health Organization (WHO), beliau mengapresiasi atas keberhasilan Komnas
Perempuan yang telah menghasilkan data yang sangat impresif yang dapat
dijadikan dasar untuk membuat langkah-langkah konkrit kedepannya mengenai isu feminisme.
Harapannya kajian awal ini juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa
kesehatan mental bagi anak dari para korban femisida sangat layak untuk
mendapatkan perhatian lebih karena efek dari kesehatan mental akan sangat
mempengaruhi kualitas parenting bagi generasi
selanjutnya.
Dukungan
penuh pun juga disampaikan oleh Usman Hamid selaku Direktur Amnesty
Intenasional Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa kajian dan pendalaman
femisida ini dapat mendorong pembaharuan hukum pidana dikarenakan hingga saat
ini belum terdapat definisi femisida di dalam KUHP termasuk UU PKDRT serta UU
Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis. Selain itu, kajian femisida yang
dilakukan oleh Komnas Perempuan secara teliti mengembangkan norma-norma
Konvensi HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga
dapat dijadikan fondasi para kriminalisasi femisida dalam Hukum Nasional. Usman
Hamid juga menambahkan bahwa masih diperlukannya referensi dari Negara lain
seperti Uni Eropa dalam memberikan gambaran yang lebih lengkap terkait definisi
femisida.
Ema
Rachmawati selaku perwakilan dari Bareskrim Polri juga mengapresiasi langkah
Komnas Perempuan dalam peluncuran kajian awal femisida ini. Dari pengkategorian
femisida yang dilakukan oleh Komnas Perempuan menjadi 9 jenis femisida dapat
membantu Kepolisian dalam memudahkan pendataan tindak pidana pembunuhan.
Mengingat belum adanya data terperinci dari kepolisian terkait jenis-jenis
tindak pidana pembunuhan. Kedepannya dari adanya kajian femisida ini,
Kepolisian berharap dapat mengambil suatu langkah yang komperensif dalam
penegakan hukum femisida di Indonesia.
Apresiasi
kepada Komnas Perempuan tentang penyusunan kajian awal femisida juga
disampaikan oleh Marselino H Latuputty selaku Direktorat Hukum dan Regulasi
Kementerian PPN/BAPPENAS. Namun terdapat beberapa catatan penting yang
disampaikan oleh Marselino diantaranya yakni kedepannya kerangka hukum
kebijakan diharapkan tidak hanya berfokus pada pencegahan namun juga mendorong
pentingnya pemulihan bagi para korban.
Genoveva
Alicia K selaku perwakilan dari Institute For Criminal Justice Reform juga
memberikan catatan penting, meskipun terdapat kesulitan dalam mengakomodasi
definisi femisida dalam konteks sistem peradilan Pidana, hak atas keadilan
terhadap perempuan dapat terus dipenuhi melalui peraturan-peraturan yang
sifatnya lebih rendah daripada Undang-Undang. Selain itu, harapannya kajian ini
dapat meningkatkan kepekaan terhadap keberadaan fenomena-fenomena tentang
femisida yang ada di masyarakat saat ini.