Kampanye Bhinneka
Dialog Lintas Iman: Merawat Keberagaman dan Berkeyakinan di Indonesia
Bandung, 1 Desember 2017
Kampanye Bhinneka adalah salah satu kampanye Komnas Perempuan untuk menyerukan kepada setiap warga bangsa untuk sepenuhnya memaknai dirinya adalah warga negara Indonesia, apapun jenis kelamin, agama, ras, suku bangsa, dan keyakinannya. Pada tahun ini, tepatnya 1 Desember 2017, bekerja sama dengan Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) kampanye tersebut diisi dengan dialog lintas iman untuk merawat keberagaman beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang mengambil tempat di Kantor Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP) Bandung. Mereka yang berpartisipasi antara lain dari Ahmadiyah, Forum lintas Iman, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Kristen, Khatolik, Khonghuchu, Penghayat, IJABI Fatimiyah, dan Baha’i.
Dialog diawali dengan paparan Mariana Amirudin selaku ketua subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan. Dalam paparannya diceritakan latar belakang diadakannya kegiatan ini karena Komnas Perempuan mempunyai tugas mendokumentasikan kebijakan negara baik yang diskriminatif maupun kondusif, tingkat nasional maupun daerah, untuk menemukan apakah terjadi kecenderungan penggerusan hak konstitusional warga, khususnya perempuan. Temuan Komnas Perempuan mencatat terdapat 421 kebijakan diskriminatif, 92 diantaranya berada di Provinsi Jawa Barat. Kriminalisasi masih menjadi pola umum dalam diskriminasi tersebut, jaminan perlindungan rasa aman tidak ada, beribadah terganggu, keyakinan dan kepercayaan dicurigai.
Dialog lintas iman ini dirancang sebagai wadah berbagi pengalaman antar pemeluk agama dan keyakinan tentang cerita sukses dan tantangannya dalam menghadapi bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami. “Aliran kepercayaan sering distigma sebagai aliran sesat, santet, perdukunan karena dalam Bakorpakem (Badan Koodinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) aliran kepercayaan disamakan dengan aliran yang bersifat perdukunan”, ungkap kawan dari Presidium Majelis Luhur Kepercayaan. Cerita lain dari perempuan penghayat adalah perkawinannya yang tidak bisa dicatatkan. Ia sudah mengajukan tuntutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dua kali dan dimenangkan namun saat di Mahkamah Agung kasus tersebut lambat di proses. Akibat perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut maka akte anak hanya atas nama ibu yang kemudian kembali mendapatkan diskriminasi saat mendaftar sekolah karena dianggap anak yang tidak sah.
Oleh sebab itu mereka merekomendasikan Komnas Perempuan yang terlibat dalam Judicial Review administrasi kependudukan saat bertemu dengan Dirjen Adminduk agar menyampaikan bahwa pemutihan yang akan dilakukan pada data adminduk para penghayat dibuat baru saja agar sama dengan yang lain sehingga tidak mengalami diskriminasi lagi. Disisi lain, penganut Baha’i karena keyakinannya dipaksa untuk mengikuti ujian salah satu agama saat masih sekolah demi mendapatkan nilai untuk kelulusannya. Padahal ajaran Baha’i menekankan bahwa Tuhan itu satu dan manusia pada dasarnya baik dan mulia. Ketika manusia menyimpang maka sebenarnya ia sedang terdistorsi dari hakekatnya. Bahkan Kristen pun sebagai salah satu agama yang diakui mengalami diskriminasi dalam pendirian tempat ibadah. “Agama Kristen memiliki tata cara beribadah yang berbeda-beda, baik itu berdasarkan teologi, sosiologis, dan kesukuannya. Oleh sebab itu memerlukan tempat ibadah tersendiri”, ungkap salah satu perwakilan penganut Kristen. Beliau yang juga sebagai dosen salah satu perguruan tinggi memberikan masukan agar kurikulum seharusnya tidak menjadikan mahasiswa kuli, kurang nilai-nilai humaniora. Termasuk tentang logika, ilmu budaya dasar sudah tidak ada. Sehingga kepekaan sosialnya kurang.
Dari dialog ini juga direkomendasikan beberapa strategi merawat kebhinekaan dikalangan anak muda, antara lain dengan penyampaian yang dikemas melalui hiburan, menggunakan bahasa-bahasa yang sedang trend di sosial media dengan media videografis, diperlukan ruang-ruang perjumpaan untuk menghilangkan stigma dan prasangka. Oleh karenanya penting bagi Negara untuk memfasilitasi dialog-dialog atau pertemuan lintas iman agar tidak timbul kecurigaan atau prasangka antar warga negara karena ketidakpahaman atas keyakinan orang lain.
Di sore hari, kegiatan kampanye Bhinneka dilanjutkan dengan Festival Budaya Bandung di Auditorium RRI Bandung. Festival Budaya Bandung bekerja sama dengan jaringan Jakatarub di bandung dan didukung oleh RRI Bandung. Sebagai Pembuka Bapak Hasto Kuncoro sebagai Dewan Pengawas RRI Bandung mengatakan Radio Televisi RI penting dipertahankan karena sebagai salah satu alat untuk merawat kebhinnekaan. Hal ini juga sejalan dengan isu perempuan dan kebhinnekaan, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan dalam penggalan orasi budayanya menyatakan “Perempuan penjaga perdamaian, pemilik rahim, perempuan banyak berkorban dalam mempertahankan generasi, oleh karenanya kita harus banyak merangkul kelompok-kelompok perempuan dalam ruang-ruang keberagaman”.
Festival Budaya Bandung yang berjudul Bandung Lautan Damai diramaikan oleh berbagai pihak lembaga lintas iman dan kepercayaan, kelompok perempuan di bandung. Diantaranya paduan suara Bale Perempuan yang merupakan kelompok penyintas korban kekerasan, penampilan band dan musik jazz dari jakatarub, penabuhan gendang bersama sebagai simbol merawat kebhinekaan bersama di Bandung, tarian-tarian, pembacaan puisi, dan terakhir pembacaan deklarasi lintas iman dan kepercayaan secara bersama-sama. Disediakan pula bilik-bilik konsultasi dan diskusi dari berbagai lembaga lintas iman dan kepercayaan yang bisa disinggahi oleh pengunjung untuk bertanya-tanya dan berdialog. Di akhir penutup, salah seorang panitia kegiatan dari Jakararub yang akrab dipanggil Kang Wawan ini mengucapkan terima kasih atas keterlibatkan langsung lembaga-lembaga lintas iman dan kepercayaan dalam dialog lintas iman dan festival budaya Bandung dalam merawat dan mengkampanyekan Kebhinnekaan.