Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pada Kamis (9/3/2023) telah melaksanakan Penandatanganan MoU dan Diskusi Publik terkait “Peluang Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu untuk Menguatkan Peran KKR Aceh”. Andi Yentriyani menyampaikan dalam sambutannya bahwa diskusi ini selain menjadi ruang penguat kerjasama antara Komnas Perempuan dengan KKR Aceh, juga sebagai bentuk peringatan Hari Perempuan Internasional serta 25 tahun reformasi. Acara ini ditandai dengan adanya penandatanganan MoUlanjutan antara Komnas Perempuan dengan KKR Aceh yang diharapkan dapat menguatkan peran KKR Aceh, serta mengembangkan daya kepemimpinan perempuan dalam kerja KKR Aceh sehingga ruang perbaikan dan percepatan pemulihan bagi perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu dapat diperkuat.
Dalam diskusi publik ini, Masthur Yahya, ketua KKR Aceh menyampaikan bahwa tujuan pembentukan KKR Aceh adalahmemperkuat perdamaian dengan mengungkap kebenaran terhadap pelanggaran HAM, membantu tercapainya rekonsiliasi, hingga merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM. Sebagai upaya pengembangan pengungkapan kebenaran, KKR Aceh telah melakukan pengambilan pernyataan terhadap 5.264 korban dan/atau saksi yang tersebar di empat belas wilayahkabupaten/kota. KKR Aceh juga merekomendasikan reparasi mendesak terhadap 245 korban pelanggaran ham kepada Pemerintah Aceh, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Gubernur Aceh.
Adapun salah satu peran Komnas Perempuan dalam pengungkapan kebenaran adalah membentuk tim independen pencari fakta terkait kasus dan kondisi penyintas termasuk di wilayah Aceh, Papua, Poso hingga adanya misi bersama untuk menangani kasus Ahmadiyah dan Syiah yang bekerja sama dengan Komnas HAM, LPSK serta KPAI. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini dalam paparannya juga menyampaikan bahwa Komnas Perempuan turut memberikan dukungan pada pembentukan KKR Aceh, serta memberikan pendampingan untuk pengembangan perlindungan saksi dan korban. Hal ini dilakukan mengingat perempuan seringkali menjadi korban diskriminasi, kekerasan, hingga pemiskinan. Untuk itu, penting untuk memastikan agar negara dapat mengakui adanya kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual dalam konflik masa lalu.
Dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, Kemenkopolhukan sejak 2019 telah membentuk tim terpadu yang menangani peristiwa Lampung Timur (Talangsari) hingga Aceh. Rudy Syamsir, Asisten Deputi Koordinasi Perlindungan dan Pemajuan HAM Kemenkopolhukam mengatakan bahwa terdapat kurang lebih 12 peristiwa yang belum diselesaikan secara berkeadilan. Ketiadaan regulasi menjadi tantangan dalam proses penanganan pelanggaran HAM secara non yudisial. Baru pada tahun 2022 pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPPHAM) berdasarkan Keputusan PresidenNo. 17 Tahun 2022. Pemulihan hak korban hingga mencegah adanya pelanggaran HAM berulang dalam hal ini menjadi prioritas dari Kemenkopolhukam. Namun keterbatasan ketersediaan data mengenai korban menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
Presiden Republik Indonesia sendiri telah mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat yang juga telah diselidiki oleh Komnas HAM. Dalam hal ini, KKR Aceh telah melakukan inisiatif untuk menyerahkan data korban pelanggaran HAM. Namun, Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro dalam paparanya menyampaikan bahwa perlu adanya perhatian khusus dari Tim PPPHAM terkait kasus yang akan ditindaklanjuti, mengingat hanya ada 3 kategori kasus di Aceh yang disebutkan dalam laporan Tim PPPHAM, sementara dari laporan KKR Aceh terdapat 5.264 korban dan/atau saksi. KKR Aceh juga perlu memberi rekomendasi kepada pemerintah terkait rumusan konsep reparasi darurat berupa layanan medis hingga bantuan sosial. Adanya reparasi komprehensif seperti pembangunan rumah, pembuatan usaha, dan pemberian beasiswa juga perlu disampaikan kepada pemerintah sesuai dengan konteks kebutuhan dan keadilan bagi korban.