Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah Lembaga Nasional HAM (LNHAM) untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 pada tanggal 9 Oktober 1998, dan diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Salah satu mandat Komnas Perempuan adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.
Komnas Perempuan mendorong demokrasi substantif untuk keterwakilan dan partisipasi perempuan pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang telah berproses sejak tahun ini. Keterwakilan perempuan dijamin dalam konstitusi, sejumlah peraturan dan perundangan lainnya seperti ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pembangunan Pengarusutamaan Gender serta PERPRES No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Veryanto Sitohang (Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komns Perempuan) dan Dewi Kanti Setianingsih (Ketua Subkom Pemantauan Komnas Perempuan) berdialog dengan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada Senin, 15 Agustus 2022. Dialog yang dilakukan di kantor KPU RI dihadiri oleh August Mellaz, Mochammad Afifuddin dan Idham Holik selaku Anggota KPU RI.
Veryanto Sitohang menyampaikan pentingnya strategi yang dilakukan KPU RI untuk mengatasi ketertinggalan perempuan. Pemantauan Komnas Perempuan menemukan bahwa di beberapa kabupaten bahkan tidak ada satupun perempuan yang menduduki posisi DPRD. Keterwakilan perempuan dalam Pemilu harus didukung dan dipastikan lebih akomodatif terhadap kepentingan dan kebutuhan perempuan. Mulai dari proses pencalonan dan seleksi, harus ada mekanisme prakondisi atau aturan yang ketat.
Selain itu, sebagai syarat kelayakan, calon bukanlah pelaku kekerasan terhadap perempuan, terlebih pelaku kekerasan seksual. Pembekalan tentang mekanisme ini diperlukan bagi anggota dan jajaran KPU RI di tingkat nasional dan di dearah, sehingga dapat disosialisasikan ke semua calon dan masyarakat oleh KPU RI.
August Mellaz menerangkan bahwa KPU RI juga memiliki perhatian yang sama. KPU RI memastikan instrumen dalam konteks pendaftaran, verifikasi serta penetapan partai politik mengikuti ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan. KPU juga akan mempersiapkan personel mulai dari komisioner hingga petugas perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu. Instrumen ini nantinya akan menentukan penilaian Pemilu tahun 2024. Masukan dan catatan dari Komnas Perempuan akan menjadi perhatian KPU RI.
Terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan KPU RI bekerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya bekerjasama dengan Forum Pengada Layanan yang dapat memberikan data tentang jumlah dan partisipasi perempuan dalam Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu yang lebih terbuka serta akomodatif terhadap kepentingan dan kebutuhan perempuan, akan mampu menaikkan Indeks demokrasi Indonesia tentang Pembangunan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). [SC]