Foto: Dok. Humas Mahkamah Agung
Senin, (29/1/2024), Komnas Perempuan mengadakan dialog dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membahas laporan dan rekomendasi terkait penerapan keadilan restoratif. Tujuan dari dialog ini adalah untuk mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan yang dapat diterapkan dalam membangun kebijakan yang lebih efektif dalam pelaksanaan keadilan restoratif, terutama dalam konteks kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada kesempatan ini, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, menyampaikan harapannya agarpenerapan keadilan restoratif tidak hanya mampu mengakhiri impunitas pelaku kekerasan, tetapi jugamemastikan proses reintegrasi yang dilakukan tidak melukai korban. Menurut Andy, ini merupakan hal utama untuk membantu proses pemulihan korban secara utuh.
"Kita juga berharap bukan saja pelaku diputus impunitasnya, mengenal tanggung jawabnya, tetapi juga disaat yang bersamaan proses untuk reintegrasinya tidak melukai korban. Itu yang paling utama sehingga membantu proses pemulihan korban dengan utuh," tegas Andy.
Ketua Mahkamah Agung M. Syarifuddin menyambut baik inisiatif Komnas Perempuan dan memberikan apresiasi atas upaya pemantauan yang telah dilakukan Komnas Perempuan.
"Terima kasih, mudah-mudahan pertemuan ini dapat menjembatani apa yang Ibu sampaikan tadi. Menanggapi apa yang sudah ibu sampaikan, pertama-saya mengucapkan apresiasi sudah melakukan penelitian di sembilan provinsi, Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua" ucapnya.
Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan melanjutkan dialog dengan menyampaikan data-data kuantitatif, serta lima ciri utama yang ditemukan dalam pemantauan penerapan keadilan restoratif. Adapun Kelima ciri tersebut adalah pelibatan prosedural bukan substantif, membuka celah impunitas dan keberulangan, mengabaikan pemulihan korban, mengutamakan citra semu harmoni, dan minim akuntabilitas.
Sementara itu, Komisioner Satyawanti Mashudi menyampaikan berbagai tantangan dalam pelaksanaan keadilan restoratif, misalnya meski sudah ada rumah RJ di beberapa wilayah, namun belum secara efektif digunakan. Tantangan lainnya belum ada SOP mediasi di lembaga layanan pemerintah.
Ia juga menyampaikan rekomendasi Komnas Perempuan kepada Mahkamah Agung untuk menerbitkan kebijakan internal tentang mekanisme keadilan restoratif, melakukan evaluasi terhadap putusan pengadilan untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender yang menggunakan mekanisme keadilan restoratif sebagai masukan terhadap penyusunan kebijakan di internal Mahkamah Agung, dan melakukan pengawasan pasca putusan terkait perkara keadilan restoratif untuk kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender.
Menanggapi yang telah direkomendasikan, Sudharmawatiningsih selaku Panitera Muda Pidana Khusus menyampaikan, bahwa saat ini Mahkamah Agung tengah membuat Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang keadilan restoratif yang saat ini sudah dilakukan uji publik dengan melibatkan praktisi dan akademisi. Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tersebut salah satunya mengatur jenis-jenis kasus yang tidak dapat menggunakan mekanisme keadilan restoratif diantaranya yaitu kasus tindak pidana kekerasan seksual, dan kasus yang berkaitan dengan kemanusiaan seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa.
Ketua Umum Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) Nani Indrawati menambahkan, bahwa pengawasan putusan kasus perempuan dan anak dapat menjadi program Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak untuk mengevaluasi putusan-putusan kasus perempuan dan anak, seperti yang telah dilakukan Pokja Lingkungan Hidup dalam mengevaluasi putusan-putusan lingkungan hidup.
Kebijakan yang dihasilkan Mahkamah Agung seringkali menjadi terobosan dan dorongan bagi institusi-institusi lain untuk membuat aturan serupa. Karena itu, Komnas Perempuan mengapresiasi langkah Mahkamah Agung dalam merancang Peraturan Mahkamah Agung terkait keadilan restoratif. Komnas Perempuan juga mendukung tindak lanjut Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan putusan kasus perempuan dan anak melalui Pokja Perempuan dan Anak. Hal ini dinilai penting mengingat pengawasan putusan dapat menjadi bahan evaluasi guna perbaikan kebijakan, utamanya perbaikan kebijakan keadilan restoratif pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.